4

1717 Words
Jackson Nathaniel melangkah masuk ke dalam kantor milik Papah Rio. Papah dari Brenda itu ingin menyampaikan keinginannya untuk membawa Brenda turut serta dirinya dan sang istri. “Mas..” “Jackson.. Duduk.. Tumben Kamu kesini nggak kasih kabar?” tanya Temy, Papah Rio. Jackson sempat ragu jika besannya itu akan menyetujui permintaannya. Hanya saja, Ia harus mencobanya. Ia tidak akan tenang jika meninggalkan Brenda setelah melihat bagaimana kondisi putrinya terakhir kali kala wanita kecilnya itu menyambangi rumah mereka.  “Ada apa?” tanya Temy yang saat ini sudah duduk disofa bersama dengan Jackson. “Boleh Saya mengambil putri Saya Mas?” tanya Jackson tanpa basa-basi. Alis Temy terangkat satu. Ia tidak menyangka rekan bisnisnya itu akan datang langsung dengan keberanian guna meminta menantunya. “Kamu tahu Rio..” “Mas!” Jackson meremas jarinya karena kesalahannya yang meninggikan suara dihadapan Temy. Temy menghembuskan nafas. “Bicaralah..” ujar Temy meminta Jackson untuk menyuarakan kegelisahan yang tampak diraut wajah besannya itu. “Perusahaan Saya bangkut, Saya sangat berterimakasih pada Mas karena Mas mau membantu Saya memulihkan usaha Saya itu. Mas bahkan membebaskan Saya dari penjara, Saya sangat berterimakasih Mas. Tapi..” “Jack.. Urusan Brenda tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan Kamu yang Saya bantu. Kamu kerabat dekat Saya, makanya Saya bantu. Kamu tahu benar urusan anak-anak kita Jack.” “Mas, Brenda tidak hamil. Pertanggungjawaban itu bisa hanya sampai disini saja Mas.” Temy rasanya ingin sekali berkata ‘Ya’ pada laki-laki putus asa di depannya ini. Andai saja anaknya itu dengan mudah melepaskan menantunya, semua akan mudah. Temy hanya seorang Ayah yang akan melakukan apapun untuk putra semata wayangnya. Ia ingat betul setelah kejadian itu, Rio datang berlari padanya. Anak semata wayangnya itu bersujud di kakinya agar dinikahkan dengan Brenda apapun caranya. Hal itu jelas membuat Temy berpikir berulang kali karena usia keduanya jelas masih sangat muda. Kedua anak itu bahkan baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama mereka. Hingga pada suatu sore Rio mengancam akan mengakhiri hidupnya jika Temy tidak dapat membuat Brenda berada di sisi anak itu. Brenda yang saat itu akan melanjutkan Sekolah Menengah Atasnya dengan Bayu, keponakannya--  di Surabaya harus menggagalkan niatnya karena Jackson- Sang Papah yang tengah terbelit masalah besar. Sebenarnya bukan momen itu yang digunakan Rio sebagai alasan agar orang tuanya mengambil Brenda dari tangan kedua orang tua wanita itu. Sore itu, Hannah Istrinya menangis histeris karena pengakuan anak semata wayang mereka. Anak perempuan yang sudah mereka anggap sebagai anak mereka sendiri ternyata sudah dinodai oleh putra mereka. Dan kemungkinan mengandung penerus keluarga Ardiansyah sangatlah besar mengingat katanya anak lelaki mereka itu tidak hanya melakukannya pada acara wisuda belaka. Hutang-Piutang itu hanya Temy jadikan alat untuk menebus rasa bersalahnya pada keluarga kerabatnya itu. Ia bahkan sama sekali tidak meminta pengembalian apapun pada keluarga menantunya itu. Semua hal itu adalah alat Rio agar Brenda tidak meninggalkannya. “Jack.. Kamu lebih baik fokus pada kesehatan Patricia. Pada pengobatannya. Biar Brenda Saya yang tangani. Anak-anak, serahkan pada Saya.” “Mas.. Brenda datang dengan basah kuyup satu minggu yang lalu. Lalu Rio menyeret paksa putri Saya layaknya binatang Mas…” “Jika masalah hutang, Saya pasti akan bayar Mas. Saya janji.” Ujar Jackson. “Jack.. Jangan begini. Anak Saya tidak bisa kehilangan anak Kamu. Kalau dia pergi bagaimana nanti dengan Rio, Jack? Kamu tahu sendiri dia bahkan pernah mengancam akan membunuh Brenda juga.” Jackson memejamkan matanya. Ya benar, bagaimana ini? Dia Ayah yang tidak bisa melindungi putrinya. Apa yang harus dia lakukan? “Saya janji, jika Rio menyakiti Brenda. Saya sendiri nanti yang akan mengantarkan Brenda padamu.” Janji Temy meski sebenarnya ia sendiri tidak akan sanggup melakukan itu. “Lusa Saya akan berangkat ke Belanda Mas. Boleh Brenda menginap ditempat Saya? Mamahnya kangen.” “Nanti Aku bilang sama Rio biar mereka nginep dirumah kamu Jack..”   ** Brenda berjalan cepat, hampir berlari malahan. Baru saja satpam sekolahnya mengabarinya jika ada seorang pemuda dari Angkasa Jaya sedang menunggunya di depan gerbang sekolahnya. Ia yakin laki-laki itu adalah Rio. Untuk apa Rio pada jam pelajaran begini menghampirinya, batin Brenda. “Yo..” panggil Brenda. “Keluar Lo Bren.” Bentak Rio. “Yo, Lo ngapain ke sekolah Gue jam segini?” Tanya Brenda setelah satpam sekolah membukakan gerbang untuknya. “Naik..” titah Rio yang berada di atas motornya. Brenda mendelik. Yang benar saja batin wanita itu. Ini masih jam sekolah. “Naik Gue bilang Brenda Ardiansyah!” Mau tidak mau Brenda naik ke atas motor Rio sebelum laki-laki itu mengamuk di depan sekolahnya. Tubuh Brenda sempat berjengit karena tanpa aba-aba Rio melajukan motornya dengan kecepatan kencang. Sedangkan Bayu yang tadi mengikuti Brenda yang keluar kelas menatap nanar ke duanya dari lapangan tempatnya berdiri. “Sampai kapan lo mau nurutin keegoisan Rio Bren.” Lirih Bayu. Sampai di halaman rumahnya. Rio yang turun dari motornya segera menarik lengan Brenda agar istrinya itu mengikuti langkahnya. “Loh kalian kok udah pulang?” tanya Hannah kaget yang berada di anak tangga terakhir. Rio hanya melewati sang Mamah dengan Brenda yang terus meronta ingin ia lepaskan. “Sampai kapan Yo kamu mau perlakuin Brenda seperti itu. Mamah kasihan sama Brenda Yo.” Ujar Hannah melihat anak menantunya yang diseret seperti itu. Brukkk… Setelah melempar tubuh Brenda hingga terjatuh diranjang, laki-laki itu mengacakkan pinggangnya menatap Brenda penuh amarah. “Apa yang lo lakuin di belakang Gue’ Hah!” teriak Rio kencang. Brenda yang tidak tahu akan kesalahannya menatap Rio tidak percaya. Terakhir kali laki-laki itu memperlakukannya dengan kejam adalah ketika sore itu dimana semua perihal tentang cintanya pada Rio menjadi suatu hal yang harus logikanya tanyakan berulang kali. “Lo kenapa sih?” tanya Brenda. “Gue kenapa?” sinis Rio menirukan pertanyaan Brenda padanya. “Wah, hebat banget Lo ya nanya Gue kenapa. Sarapan sama laki-laki lain dibelakang suami Lo dengan tenang, terus sekarang Lo tanya Gue kenapa?” Brenda memejamkan matanya. Ya Tuhan, jadi ini soal story i********: yang diunggah oleh Bayu, batin wanita itu. “Kenapa sih? Gue cuman makan dikantin. Banyakan sama anak-anak lain juga Yo. Salahnya dimana?” Apa? Salahnya dimana tanya wanita itu. Salahnya adalah karena wanita itu milik Rio dan Rio tidak suka berbagi momen apapun meski itu hanya persoalan makan bersama. “Salah karena Lo punya Gue!” bentak Rio kencang membuat Brenda tersentak. Laki-laki itu bahkan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk laki-laki itu. “Terus Lo punya Gue bukan?” lirih Brenda membuat Rio tertegun. “Lo punya Gue bukan’ Yo?” Suara deringan ponsel Rio membuat Brenda menghentikan pertanyaannya. Mata Rio yang membulat setelah melihat layar ponselnya, Brenda bisa melihat itu. “Bentar, Gue mau angkat telepon dulu.” Pamit Rio lalu berjalan ke arah kamar mandi dikamarnya. Melihat pintu yang tidak tertutup sempurna, Brenda melangkahkan kakinya ke arah yang sama dimana suaminya kini berada. Hatinya bertanya kenapa untuk mengangkat telepon saja Rio harus menjauh darinya. “Iya Sayang. Aku balik ke sekolah’ kok. Tadi tuh Mamah telepon mendadak aku pikir ada apaan Dir. Ternyata nggak ada apa-apaan dirumah.” “Ini mau balik ke sekolahan Dira Sayang.” Oh ini ternyata.. Lo beneran udah punya cewek baru Yo. Brenda memukul dadanya dengan kepalan tangan kanannya, saat perasaan sesak itu mendera. Ia berharap pukulan itu bisa membuatnya lebih kuat lagi. “Lo bukan punya Gue’ Yo. Itu jawabannya.” Bisik Brenda lirih. Rio yang keluar dari kamar mandi tersentak kaget saat menemukan Brenda yang bersandar dinding di depan kamar mandinya. Mata wanita itu terpejam. “Bren…” Brenda membuka matanya. Ia tersenyum penuh arti pada laki-laki yang menjadi suaminya itu. “Pergi Yo. Dia nungguin Lo. Jangan jadi anak yang nakal. Bolos nggak baik.” Ujar Brenda pelan lalu melangkahkan kakinya hendak meninggalkan kamar Rio. “Brenda..” Rio meraih lengan Brenda membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya. “Ini nggak seperti yang Lo pikir Bren. Gue sama Dira..” “Namanya Dira ya?” tanya Brenda sembari mendorong tubuh Rio pelan. “Dia baik. Dia ingetin Lo buat masuk sekolah. Gadis baik Yo, jangan disakitin.” Rio kembali merengkuh tubuh Brenda ketika Istrinya itu kembali berbicara. Brenda tidak menangis, namun Rio bisa mendengar nafas tidak teratur yang wanitanya itu hembuskan. “Nggak, Lo ngomong apa sih Bren.” Elak Rio. Rio menciumi puncak kepala Brenda memberi wanitanya itu ketenangan agar tidak berpikir hal yang tidak-tidak. “Kali ini Gue harus berperan apa Yo?” tanya Brenda. “Sahabat?” “Teman biasa mungkin?” tambah Brenda karena Rio tidak kunjung menjawab dua pertanyaannya. “Bren, apa sih. Jangan kaya gini.” Brenda terkekeh. Hatinya perih bahkan padanya saja Rio tidak pernah ber- Aku Kamu. Dengan wanita bernama Dira itu Rio terlihat lebih manusiawi dibandingkan dengan dirinya. “Lo cowok paling b******k yang Gue benci Yo.” Kata Brenda sembari memukuli d**a Rio. “Ssssttt, Bren. Jangan kaya gini.” “Gue benci Lo’ Yo” “Gue cinta Lo.” Brenda menengadahkan wajahnya lalu tertawa sumbang. Cinta? Laki-laki di depannya ini berbicara tentang cinta? “Bulshit! Gue Cuma barang Lo yang nggak berharga.” Teriak Brenda. Wajahnya memerah menahan amarah. “Nggak usah ngaco Bren. Lo bukan barang.” “Gadis itu..” “Berapa lama Lo udah jadian sama dia dibelakang Gue? Dia gadis yang sama kan sama yang Lo boncengin seminggu lalu?” Rio memejamkan matanya. Haruskah Brenda membahas hal seperti ini batin Rio. “Bren..” “Jawab Yo. Ah, oke! Gue ganti pertanyaan. Lo kapan ceraiin Gue dan nikah sama dia?” Plakkk… “Jangan sembarangan Lo kalau ngomong. Gue nggak akan pernah ceraiin Lo Bren.” Air mata Brenda mengalir begitu saja. Membuat Rio tersadar dengan apa yang barusan tangannya lakukan pada pipi putih istrinya. Demi apa? Dia menampar pipi Brenda. Menampar istrinya. “Brenda maaf..” ujar Rio ketakutan. Demi apapun dia benar-benar lepas kendali. Dia tidak bermaksud untuk memukul Brenda dengan tangannya. “Pukul Gue Bren.. Pukul Gue.. Jangan tinggalin Gue..” pinta Rio mengangkat kedua lengan Brenda agar memukulnya. Namun tangan itu justru terkulai lemah, kembali menggangtung di sisi ke dua paha Brenda. “Bren, Gue bakal putusin Dia. Gue janji. Jangan nangis, jangan nangis gini Bren.” Bisik Rio ketika ia kembali mendekap tubuh Brenda yang bergetar karena menangis. Pernyataan Rio itu justru membuat Brenda meraung sembari memukuli punggung Rio. Betapa teganya laki-laki itu padanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD