19

1032 Words
Seperti biasa pagi -pagi sekali Windu setelah melaksanakan ibadah ia langsung menuju dapur. Setiap pagi ia melihat isi kulkas yang penuh dnegan daging, telur dan keju. "Tini ... Mulai pagi ini kalau belanja banyakin buah dan sayur. Atau tukang sayur datang jam berapa? Biar saya pilih sendiri. Setiap hari ya akan masak," ucap Windu pelan. "Tukang sayur jam delapan datang ke halaman rumah Non. Biasanya, Bu Yasinta menyuruh saya banyak membeli daging dan telur lalu memasak steak atau grill untuk setiap sesi makan. "Oke nanti panggil saya ya," titah Windu pelan. Pagi ini sarapannya ikut bahan yang ada saja. Dari bahan daging di buat daging lapis dengan omlete keju. Tidak lupa membuat salad buah. Semua makanan sudah tersaji di meja makan. Kini saatnya, Windu kembali ke atas sambil membawa kopi dan pie buah untuk cemilan pagi. Baru saja sampai di anak tangga paling atas. Sekilas Windu melihat bayangan yang lewat dan menghilang di balik hordeng. Windu diam dan menatap tempat itu ke sekeliling. Dengan sengaja Windu berjalan ke arah hordeng dan berniat untuk membuka agar jendela agar sinar matahari masuk ke dalam ruangan itu. "Argh ..." teriak Windu keras. Mulutnya langsung di bungkam dan tubuhnya di seret ke dalam kamar mandi. Nampan kecil yang ada di tangannya pun terjatuh dan gelas kopi itu pecah dan isinya tumpah berceceran di lantai. Sampai di kamar mandi. Mulutnya masih di sumpal kaos. Lelaki itu tak lain supir pribadi Mbak Yasinta. "Kalau kamu tidak bisa diam. Nyawamu ada di tanganku. Jadi tidak perlu macam -macam," ucap Yoga tegas. Windu hanya mengangguk pasrah menurut dengan ucapan Yoga, sang supir. Yoga pun membuak pintu kamar mandi dan berjalan melenggang keluar kamar mandi dan turun ke bawah melalui anak tangga. Wajah Windu pucat pasi. Ia melepas sumpalan kaos di mulutnya. Kedua matanya sudah berair dan ingin menangis. Baru saja Windu keluar dari kamar mandi umum itu ia melihat Wibisono sudah berada di luar kamar. "Windu? Ada apa ini? Kenapa bisa pad tumpah seperti ini?" tanya Wibisono penasaran. Windu yang masih gemetar pun tak bisa menjawab pertanyaan Wibisono. Ia hanya tertegun takjub dengan yang baru saja terjadi pada dirinya. "Windu kau dengar Mas?" tanya Wibisono pelan. Wibisono pun berjalan menghampiri Windu dan memeluk gadis itu untuk pertama kalinya. Ia tidak tahu apa yng terjadi, tapi hatinya berkata Windu sedang tidak baik -baik saja. "Tini? Tini ...." teriak Wibisono keras hingga Tini pun tergopoh -gopoh berlari menuju lantai duan. "Ya Pak," jawab Tini sopan. "Bersihkan itu semua. Dan ini kaos siapa? Kamu tahu?" tanya Wibisono pelan kepada Tini. "Itu punya Yoga Pak. Supir pribadi Bu Yasinta," ucap Tini pelan lalu membersihkan tumpahan kopi dan makanan yang sudah hancur di lantai. "Yoga?" ucap Wibisono mengulang tak percaya. Ia lalu menatap Windu yang menundukkan kepalanya. Wibisono pun berjalan merangkul Windu menuju kamarnya. Lalu mendudukannya di sofa, dan di beri air minum agar tenang. "Ada apa sebenarnya? Benar tadi Yoga? Mas lihat sebenarnya. Tapi Mas tidak lihat jelas siapa orang itu," ucap Wibisono pelan. "Entah Mas. Dia langsung membekap lalu menyeret Windu ke kamar mandi. Dia hanya mengancam kalau macam -macam maka nyawa Windu tak akan selamat," jawab Windu dengan bibir bergetar. "Kenal sama Yoga sebelumnya?" tanya Wibisono pelan. Windu meggelengkan kepalanya pelan. "Kenal saat Mbak Yasinta menemui Windu." jawab Windu singkat dan jujur. "Mas juga tidak kenal Yoga. Setahu Mas dulu supir Yasinta bukan Yoga tapi Supri, ia sudah tua dan berpengalaman, yang jelas dia sudah lama bekerja di sini. Tapi tahu -tahu sudah ganti dengan nama Yoga?" ucap Wibisono lirih. Wibisono mulai tak nyaman dengan hatinya. Ia mulai merasakan ada keanehan dan seperti ada yang sedang di rencanakan. "Sudahlah Mas tidak apa -apa," ucap Windu pelan. Skip ... Wibisono sudah berada di meja makan. Windu sedang mengambilkan nasi dan lauk pauk di piring untuk Wibisono. Lalu menuangkan s**u hangat putih untuk suaminya. "Di makan Mas," ucap Windu pelan. Dari atas Yasinta menatap kemesraan Windu dan Wibisono. Tatapan Wibisono pun semakin hari nampak berbeda. Ia turun dengan elegan dan menampilkan wajah dengan senyum bahagia. Pelan berjalan menghampiri suaminya dan memeluk dari belakang dan mencium pipi Wibisono baik di sebelah kanan dan di sebelah kiri. "Pagi sayang ... Lagi sarapan? Enak?" tanya Yasinta lembut. "Pagi Yas. Yuk sarapan pagi," jawab Wibisono menyapa Yassinta kembali dan menatap Yasinta yang sudah duduk di meja makan dengan pakaian yang begitu seksi. Yasinta mengambil gelas dan menumpahkan s**u ke dalam gelas lalu di teguknya hingga habis. "Enak banget susunya. Tumben Tini bisa bikin se -enak ini," ucap Yasinta lembut sambil meletakkan gelasnya dan menatap sarapan paginya. "Wah menu baru nih?" tanya Yasinta pelan. Ia langsung menyambar piring dan memasukkan nasi dan lapis daging buatan Windu. "Di makan Mbak. Saya yang masak," ucap Windu sopan. "Oh ... Kamu yang masak. Memang tini kenapa? Lidah saya terbiasa dengan masakan Tini," ucap yasinta sombong. "Windu hanya ingin masak untuk suami. Tapi, kalau Mbak Yas suka dengan masakan Windu ya gak masalaah," jawab Windu pelan. "Makan saja Yas. Enak lho. Kemarin juga ke rumah Windu di masakkin enak sama Ibunya," ucap Wi=bisono pelan. "Ohh ... Sudah mulai kagum sama masakannya. Kaykany ada yang mau menyisihkan saya di sini," ucap Yasinta mulai kesal. "Astagfirullah ... Gak Mbak. Sama sekali gak. Mbak Yasinta itu tidak akan tergantikan oleh apapun. Mas Wibisono itu sangat sayang sama Mbak Yasinta," ucap Windu pelan. "Cukup Windu. Biarkan saja. Mas kecewa dengan kamu, Yas?" ucap Wibisono ketus. "Kecewa? Karena apa?" tanay Yasinta bingung. Tatapannya kini menuduh Windu yang duduk berseberangan dengannya dan kedua mata itu terlihat sangat sinis dan penuh kebencian. "Kenapa kamu mengganti supir tanpa bicara pada Mas?" tanya Wibisono dengan tangan terkepal. Wibisono teringat dengan suara tadi pagi yang ia dengar dari kamar Yasinta. "Supir? Ohh .. Supir baru itu. Dia keponakan Pak Supri, katanya Pak Supri gak bisa kerja lagi dan di gantikan oleh keponakannya," ucap Yasinta dengan jelas. "Pak Supri gak bilang sama Mas? Kalau ingin berhenti, mungkin Mas akan berikan uang pensiun yang pantas," ucap Wibisono pelan. "Yasinta gak tahu kalau soal itu. Lagi pula Yasinta udah kasih lima kali gajinya saat meminta ijin untuk tidak melanjutkan kerja," ucap Yasinta pelan. Wibisono mengangguk pasrah. Ia tidak mau berdebat dengan Yasinta. Apalagi masih pagi dan dalam suasana sarapan bersama bisa -bisa selera makannya hilang seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD