TUJUH

1426 Words
Bagi Kalinda mungkin hari demi hari yang dia lewati sangat berat seakan waktu sama sekali tidak berjalan. Namun Bagi bagas hari demi hari berganti begitu cepat, sudah hampir tiga minggu Kalinda bertahan di rumahnya dan mulai rutin melakukan terapi dan pengobatan dari dokter pilihannya. Bagas rela melakukan itu semua bukan semata-mata karena memiliki niatan jahat atau niatan lain yang merugikan, tapi karena mendiang kakaknya yang tidak busa dia selamatkan karena keterbatasannya. Sekarang dia sudah dewasa dan memiliki uang bahkan untuk membayar psikolog dia sama sekali tidak keberatan jadi harapannya jangan sampai kejadian seperti kakaknya terulang terlebih Kalinda masih cukup muda dan memiliki masa depan yang cukup panjang. Semenjak Kalinda mulai rutin melakukan perawatan dan mengkonsumi obat dari dokter yang menanganinya dia sudah mulai bisa diajak berkomunikasi meski tidak dengan Bagas secara langsung. Kalinda lebih terbuka pada psikolognya yang tak lain dan bukan adalah Isabella yang di temui di pesta temannya, alhasil hubungan Bagas dengan Isabella semakin dekat karena Bagas membutuhkan banyak informasi tentang Kalinda yang selama ini dia tampung. Bagas tidak serta merta memilih Isabella karena dia sudah pernah bertemu sebelumnya, dia mendapat Isabella karena rekomendasi dari salah satu rekannya dan dia juga merasa cocok setelah melihat profil dari Isabella Putri Hamzah, M.Psi yang bekerja di salah satu rumah sakit elite di tengah kota dan membuka praktek di klinik Dhaha. “Boleh saya bergabung?” Bagas mendongak dan menatap Isabella yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu selalu menarik di setiap pertemuan, terlebih jika jas putih sudah menempel di tubuhnha penampilannya jauh lebih menarik. “Silahkan Isabella saya tahu ada yang perlu kamu bicarakan.” Isabella tersenyum karena Bagas berhasil menebak. “Perkembangan Kalinda cukup baik, tadi dia bercerita banyak tentang adiknya yang seumuran dengan Keila makanya sejak awal hanya Keila yang bisa Kalinda terima bahkan dia menyuruh Keila memanggilnya kakak.” Bagas ikut tersenyum, dari pengamatannya Kalinda memperlakukan Keila sangat baik layaknya seorang adik meski kondisinya tidak baik-baik saja dan dia belum mau kelur dari kamar tapi sering kali Bagas memergoki keduanya sedang mengobrol asik. “Kalau Kalinda sedang bersama Keila sebaiknya kamu dan Ibu Daris menyingkir dulu karena Keila bisa menjadi obat pelipur untuk Kalinda.” “Kadang saya khawatir kalau Kalinda tiba-tiba teringat sesuatu dan mengamuk lalu menyakiti Keila.” Ketika Isabella tertawa lepas sambil menepuk pundaknya Bagas membeku untuk sesaat karena kecantikan Isabel naik 100 persen ketika dia tertawa lepas seperti ini. “Kalinda tidak akan menyakiti Keila, dia sayang Keila dan menganggap seperti adiknya. Jangan terlalu khawatir Bagas, birkan mereka saling berinteraksi.” “Terimakasih banyak Isabel, saya benar-benar tidak salah memilih kamu untuk membandu Kalinda.” Isabella tersenyum dan memandang Bagas penuh selidik. “Maaf kalau saya ikut campur, tapi saya sangat penasaran kenapa kamh sebaik ini pada Kalinda padahal bisa loh kamu membawa dia ke dinas yang melindungi perempuan.” Bagas sebenarnya sudah pernah mengatakan alasannya tapi mungkin Isabel kurang puas dan mencari jawaban lagi. “Almarhum kakak saya dulu senasib dengan Kalinda bedanya kakak saya di jebak dan di pakai ramai-ramai. Saat itu saya masih kecil dan keluarga saya masih keluarga biasa bahkan kamu sering terkena masalah ekonomi jadi untuk melanjutkan kasus itu dan menyewa psikolog kami sama sekali tidak mampu, yang kamu lakukan saat itu hanya melihat kakak saya berteriak kesakitan, dan menutup telinga dari cemooh orang-orang karena kakak saya tidak waras.” Bagas menceritakan itu dengan tangan terkepal kuat dan suara tercekat saking sedihnya. Isabel yang mengerti gerak gerik Bagas mulai mengusap punggung tangannya dan berusaha membuatnya lebih tenang. “Hidup kakakmu memang ditakdirkan sampai disitu Bagas, tenang.” Ketika menyadari bahwa mereka sedang nergandengan tangan baik Bagas atau Isabel langsung melepas dan merasa sedikit canggung. “Oh iya aku tadi nemuin kamu sebenarnya punya tujuan.” “Kamu butuh apa, Isabel?” “Bisa carikan foto keluarga Kalinda? minimal foto ayah dan ibunya.” Bagas terlihat bingung, “untuk apa?” “Agar Kalinda merasa dekat dengan mereka, dan tidak panik ketika suatau saat dia bertemu kembali.” “Kamu tahu kan Isabel kalau Kalinda di usir dari rumah?” “Iya aku paham makanya aku butuh foto untuk media, tenang saja Kalinda aman di tanganku.” Bagas tertawa dan mengakui kehebatan Isabel dalam menghadapi Kalinda yang sebelumnya sama sekali sulit ditemui dan diajak komunikasi. “Akan saya carikan, saya pegang handpone Kalinda hanya saja tidak tahu password.” “Coba buka dengan tanggal lahir, Kalinda tipe orang yang pelupa bisanya orang seperti itu akan menggunakan tanggal penting khususnya tanggal lahir.” Ucapan Isabel masuk akal, nanti dia akan mencoba dengan itu setelah ponsel Kalinda dia charger dan aktif kembali. “Kalau misal tidak bisa terbuka dengan kata sandi itu bagaimana?” “Kamu bisa mencari di sosmed Kalinda pasti ada.” Bagas mengangguk dan akan memenuhi permintaan Isabel. “Pertemuan hari ini cukup sampai disini, setelah ini saya harus kembali ke rumah sakit.” Bagas ikut berdiri dan menjabat tangan Isabella. “Terimakasih banyak, selangkah lagi mungkin kita bisa mengembalikan Kalinda seperti dulu.” “Kamh benar, tapi PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang Kalinda miliki tidak akan enyah begitu saja terlebih jika dia bertemu kembali dengan orang-orang dari masalalunya dan orang jahat yang sudah tega melecehkannya. Dan kamu, kamu juga memiliki itu bukan?” Bagas langsung kelabakan tidak karuan ketika Isabella menebak dengan benar bahwa dirinya memiliki PTSD setelah menyaksikan dengan langsung istri dan kakaknya mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. “Nggak perlu bingung darimana saya tahu Bagas, kamu ingat di pesta Clara istri Randy waktu itu, dimana kita pertama kali bertemu?” Bagas mengangguk pelan kemudian berusaha terlihat baik-baik saja. “Iya, aku takut ketika kamu dekati.” “Bukan cuma aku tapi beberapa wanita yang ingin berhubungan dengan kamu.” Isabella tertawa puas sedangkan Bagas kebingungan merubah ekspresinya. “Itu bisa diaembuhkan Bagas, kamu hanya perlu rileks dan melawan rasa panik itu. Jika kamu terus mengikuti rasa itu kamu bisa menduda selamanya.” “Saya memeng belum menginginkan pernikahan Isabel, bagi saya masih sulit menemukan wanita yang benar-benar cocok dan menerima segala kondisiku.” “Its okay itu masalahmu Bagas. Btw, sorry waktu itu aku sempat memaksa kamu untuk tinggal. Kalau sedang mabuk aku mendadak bar-bar.” Bagas tertawa dan memaklumi Isabella setelah itu dia mengantar Isabella sampai halaman dan menunggu sampai mobil yang dia kendarai keluar. Hari ini ibunya pulang ke Bandung untuk meliht usaha ternaknya, jadi di rumah ini hanya ada dia Kalinda, Keila dan satu pembantu rumah tangga yang baru saja Bagas sewa untuk membantu pelerjaan Mamanya. Bagas tidak merasa talut di grebek oleh lingkungan karena berada satu rumah dengan wanita yang bukan muhrim karena segala izin sudah dia kantongi dan Bagas berani di laporkan jika dia berbuat tidak pantas atau kumpul kebo. Ketua kompleks di saksikan beberapa masyarakan sudah melihat langsung kondisi Kalinda dan mereka percaya dengan Bagas. Televisi hanya dia jadikan alibi untuk lebih dekat dengan Kalinda dan Keila yang sedang duduk bersama di agas kaerpen beludu di ruang tengah. Bagas terus mengamati gerak gerik Kalinda bersama Keila yang tampk sangat akrab. Gadis malang itu berumur 20 tahun akhir karena dua bulan lagi umurnya akan naik ke angka 21. Dia anak kedua dari 3 bersaudara dan dulunya bekerja di sebuah pabrik tekstil dan di letakkan di bagian staff kantor. Dari situlah semua kejadian buruk di mulai, atasan Kalinda sering menggoda dan yang paling parah membuat sandiwara seakan-akan mereka berselingkuh dan melakukan hubungan lebih dalam. Jadi sampai sekarang semua orang tidak ada yang percaya jika Kalinda di setubuhi dengan paksa oleh pria jahat itu, yang mereka tahu Kalinda berusaha menggoda atasannya dan pada akhirnya mereka melakukan hubungan terlarang. Saking jahatnya pria itu ingin menang sendiri dan tidak mau namanya jelek. Jika Kalinda sudah memberi clue lagi tentang pria itu Bagas akan mencari pria itu dan meminta dia tanggung jawab atas perbuatannya. Maksudnya bukan tanggung jawab agar menikahi Kalinda melainkan membersihkan nama Kalinda. “Papa, ada apa?” Bagas langsung tersadar ketika mendengar panggilan Keila. “Kenapa sayang?” “Papa kok lihatin kakak terus.” “Hah, enggak sayang enggak apa-apa lanjut lahi mainnya.” Bagas mengusap wajahnya dan kembali melihag ke arah Kalinda yang hanya diam menunduk. “Kalinda, kamu sudah makan?” Tanya Bagas dengan nada suara rendah. Kalinda menggeleng dan Keila memperjelas dengan suaranya jika dia dan Kalinda belum makan. Bagas berjalan menuju dapur dan menyiapkan makan untuk keduanya. Betapa senangnya dia ketika Kalinda makan dengn lahap bahkan dia sudah seperti orang normal ketika seperti ini. Bagas yakin tidak akan lama lagi Kalinda pasti bisa pulih. Ketika Kalinda benar-benar pulih rasanya Bagas bisa menebus rasa bersalahnya pada sang Kakak yang tidak mampu dia sembuhkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD