EMPAT

1490 Words
Bagas mencuci tangannya yang penuh dengan noda tepung dan beberala bahan roti lainnya. Pukul 11 dia baru saja selesai menyiapkan adonan dan bahan-bahan yang akan dibutuhkan karyawannya. Saat sedang istirahat sambil menikmati air dingin salah satu karyawannya yang bernama Tira menghampirinya dengan senyum lebar dan mata yang berbinar. Bagas sangat mengerti arti senyuman dan tatapan itu tapi di berusaha tidak peduli dan bersikap layaknya atasan dan bawahan. “Mas Bagas.” Bagas bersikap senormal mungkin dan membalas senyum lebar Tira yang mampu meluluhkan hati siapa saja, kecuali dirinya yang merasa sudah hampir mati rasa. “Iya Tira, ada masalah?” “Enggak Mas Bagas, jadi ini saya tadi masak terus ingat Mas.” Tira menyodorkan kotak makan berwarna hijau beserta botol bening yang berisi jus jambu kesukaan Bagas. “Tira, jangan repot-repot saya jadi sungkan kalau kamu bawain makan siang terus.” Gadis berumur 22 tahun itu terus mempertahankan senyum cantiknya. “Aku malah senang kalau ada yang makan masakanku jadi aku sama sekali tidak keberatan kalau harus membawakan makan siang atau sarapan untuk Mas Bagas dan Keila.” “Terimakasih banyak Tira, jangan terlalu sering karena saya bingung ingin membalas ini semua dengan apa.” Bagas orang paling sungkanan, jika dia diberi sesuatu sebisa mungkin di harus bisa membalas pemberian itu. Sedangkan Tira, salah satu karywan yang paling muda sangat sering memberikan masakannya. “Cukup terima Tira mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya di sini itu sudah cukup.” Tanpa syarat atau sogokan makan siang Bagas akan dengan senang menerima mahasiswa seperti Tira untuk sama-sama belajar di outlet-nya. Dia tidak ingin memakai ilmunya untuk dirinya sendiri, dia ingin ada penerus yang lebih hebat darinya. Sejatinya jika kita membagikan ilmu yang kita miliki dengan ikhlas insyaallah balasan terbaik dari Alloh akan kita terima. “Ambil ilmu dari sini sebanyak-banyaknya, Tira.” Tira tersenyum dan tersipu, sikapnya sangat menunjukkan jika dia memang sedang menarik perhatian Bagas. Namun sangat disayangkan Bagas belum bisa tertarik terhadap siapapun termasuk gadis cantik yang serba bisa di hadapannya ini. “Kalau begitu saya terima makan siang ini, sekali lagi terimaksih banyak Tira.” Bagas menerima kotak makan itu dan berjalan menuju ruangannya untuk istirahat sambil menikmati masakan Tira. Hari ini tak seribet hari-hari sebelumnya pesanan tidak terlalu membludak dan stok bahan baku juga sudah memenuhi gudang untuk beberapa hari kedepan dia bisa lebih santai sambil memantau perkembangan Kalinda yang masih berada di rumahnya. Selesai makan Bagas mengaktifkan ponselnya, beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya membuatnya sangat cemas. Tanpa berlama-lama dia langsung menelfon balik dan berharap kondisi rumah baik-baik saja. “Halo Ma ada apa?” tanya Bagas to the point. Setelah itu Daris mulai menjelaskan tentang panggilan itu ternyata tidak ada yang mengkhawatirkan hanya Keila yang rewel karena hari ini bukan Bagas yang menjemput di sekolah. Setelah cukup mengobrol dan memastikan kondisi Keila dan Kalinda baik-baik saja Bagas lalu mengakhiri panggilan telfon dengn sang ibu. Bagas membuka foto yang dikirim ibunya lewat aplikasi pesan. Dalam foto itu terlihat Keila sedang memeluk Kalinda yang sedang duduk di atas ranjang dengan pandangan kosong. Bagas sangat takut Keila kecewa berat setelah mengetahui jika wanita yang dia sayang-sayang dan anggap sebagai Mamanya ternyata hanya orang asing yang ayahnya temukan. Bagas mengambuskan nafas berat dan berusaha melupakan tentang hal itu sesaat karena dia harus fokus bekerja. Dia pasti bisa menghadapi kekecewaan Keila seperti bisanya, toh bukan hanya Kalinda yang pernah Keila anggal sebagai Mamanya. “Permisi Pak bos.” Kepala Roni menyumbul masuk ke dalam ruangan karena pintu tidak terbuka sepenuhnya “Silahkan masuk, Ron, maaf ganggu waktu istirahat kamu.” “Tida masalah pak bos, apa ada masalah?” “Tidak ada, saya hanya mau menitipkan outlet sama kamu dan juga tolong nanti siapkan bahan untuk besok karena ada pesanan yang diambil pagi.” Bagas sangat percaya dengan semua karyawannya namun dia lebih condong pada Roni dan sering menjadikannya pengganti jika dia sedang sibuk. “Siap laksanakan.” “Bagus, kalau begitu kamu boleh istirahat lagi.” Roni beepamitan sopan dan segera keluar dari ruangan Bagas karena dia masih memiliki jam istirahat. **** Ketika masuk ke dalam rumahnya hal pertama yang di dengar adalah tangisan Keila yang begitu menggelegar, entah ada masalah apa lagi dengan putrinya. “Assalamualaikum.” “Waalikumsallam, tuh Papa kamu sudah pulang sudah jangan nangis lagi,” ucap Daris aambil menenangkan Keila yang masih terisak. “Kenapa, Ma?” “Minta main ke luar terus, mama bilang nunggu kamu dia malah ngamuk.” Bagas memeluk putrinya dan berusaha membutnya lebih tenang. “Besok setelah pulang sekolah Papa ajak Kei ke mall.” “Kei mau sekarang!” Bagas menangkup kedua pipi Keila dan mengarahkan tepat di depan wajahnya yang terlihat garang dan menakutkan. Dia sangat tidak suka jika Keila membantah dengan nada tinggi. Jika sudah begini Keila langsung terdiam seribu bahasa, meski tidak terucap kata-kata yang lebih keras dari mulut ayahnya tapi dari ekspresinya Keila sudah paham jika ayahnya sedang marah. “Papa nggak suka Kei marah-marah nggak jelas.” Keila menangis tanpa suara karena takut ayahnya semakin marah ketika melihtnya menangis keras. Bagas menarik nafas dalam-dalam dan mulai mengatur emosinya. Keila tetaplah anak kecil yang banyak mau. “Maafin Papa, besok kita jalan-jalan ya.” Bagas mengusap air mata Keila dengan punggung tangannya dan berusaha menarik senyum agar putrinya tidak berfikir jika dia sedang marah. “Kei sayang Papa.” “Papa juga sangat sayang sama Kei.” Bagas menciumi seluruh wajah Keila tanpa terlewat. “Papa, Mama tadi kepalanya sakit telus pintunya sama nenek di kunci.” Bagas menoleh ke arah Mamanya meminta jawaban dan Mamanya mengangguk. “Keila mainnya di luar aja ya, jangan ganggu tante di kamar.” “Keila kan mau temenin Mama. Biasanya kalau Kei lagi sakit kan mau ditemnin Papa terus.” Bagas mulai mencari-cari jawaban yang tepat agar Keila paham dan tidak marah karena dia melarang terlalu dekat dengan Kalinda yang masih belum mendapati kewarasannya. “Keila nggak takut kalau kepala Mama sedang sakit terus bentak Keila?” “Mama nggak begitu, mama teriak tapi enggak marahin Keila.” “Iya papa tau tapi jangan terlalu sering ganggu tante di kamar, biarin tantenya istirahat sendiri.” Keila langsung cemberut karena di sudah merasa memiliki seorang Mama. “Padahal Keila senang waktu peluk Mama.” Bagas tersenyum tipis dan mengangkat tubuh Keila dan berjalan mendekati kamar Kalinda untuk melihat kondisinya. Dari celah pintu yang Bagas buka Kalinda duduk sambil memelik lutunya sendiri. Rasanya sangat ingin sekali dia mengobrol dan memberikan motivasi pada Kalinda, tapi kondisinya masih belum memungkinkan untuk di dekati. “Ayo masuk, Pa.” “Disini saja sayang nanti ganggu tante.” “Sebentar saja ayo kita coba, Pa.” Bagas mempertimbangkan keinginan Keila sebenarnya dia sendiri juga sangat ingin berinteraksi dengan Kalinda. “Yaaudah, tapi sebentar saja ya.” Bagas membuka pintu lebar-lebar dan masuk bersama Keila di gendongannya. “Assalamualikum, Kalinda.” Kalinda masih tidak bersuara tapi dia bisa melihat ekor mata Kalinda tampak sedang memperhatikannya dengan Keila yang tiba-tiba masuk. “Sekali lagi saya ingatkan kalau kami tidak jahat dan tidak akan mengakiti kamu, jadi jangan takut.” Kalinda masih tetap pada posisinya dan tak lagi menatap Bagas dan Keila. “Perkenalkan nama saya Bagas dan ini anak saya Keila.” Sekali lagi Kalinda hanya melirik Bagas tanpa memberikan respon. “Nanti saya undang psikolog kamu bisa curahkan seluruh isi kepala dan hati kamu.” “Saya tidak gila!” Jawab Kalinda untuk pertama kalinya dan itu sedikit membuat Bagas terkejut. “Konseling dengan psikolog bukan berarti gila Kalinda, selama disini kamu hanya diam siapa tahu beban kamu bisa sedikit terangkat setelah berbicara dengan psikolog.” “Saya tidak mau, itu sangat memalukan.” “Okay, kalau kamu tidak mau bicara dengan psikolog coba bicara dengan saya.” “Ini aib tidak ada seorangpun yang boleh tau, termasuk kamu!” “Sebentar, saya bawa Keila keluar dulu.” Bagas mulai tertarik karena Kalinda sudah mau buka suara, tapi dia harus menyingkirkan Keila untuk sesaat karena obrolannya tidak pantas di dengar oleh anak kecil. Untungnya Kalinda tidak mengusirnya ketika dia kembali masuk. “Malam itu saya menemukan kamu pingsan di samping mobil saya, kondisi kamu berntakan dan dan kamu terlihat sangat hancur.” “Dia memang pria jahat sangat amat jahat, keturunan iblis yang menyamar jadi manusia.” “Ya, saya setuju dengan kamu pria seperti itu pantas di sebut sebagai keturunan iblis yang tidak memiliki hati.” Bagas ikut kesal karena karena kakaknya dulu satu nasib dengan Kalinda. “Dunia saya hancur, masa depan saya lebih hancur tidak ada lagi yang mau menerima saya.” Kalinda kembali histeris dan menangis sejadi-jadinya. “Kamu tidak akan tersisihkan Kalinda, jangan berfikir seperti itu tetap jaga kewarasan kamu.” Kalinda menangis sambil menggeleng kuat. “Tidak ada gunanya saya hidup, tidak ada yang menginginkan saya hidup.” “Siapa bilang, saya masih menginginkan kamu hidup dan kembali semangat menjalani kehidupan.” Kalinda langsung terdiam dan untuk pertama kalinya dia menatap wajah Bagas dan saling tatap dengan matany yang terlihat tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD