Kevin duduk di kursi tunggu dengan gelisah, matanya sesekali melirik jam dinding yang berdetak pelan. Suara langkah kaki perawat yang mendekat membuatnya semakin tegang.
"Pak Kevin, Ibu Rissa sudah selesai menjalani pemeriksaan dan dokter ingin bertemu Bapak untuk menyampaikan hasilnya," ucap perawat dengan senyuman ramah yang ditunjukkan.
"Baik, Sus."
Pria itu pun bangkit dari duduknya dan bergegas mengikuti perawat menuju ruang dokter. Pintu dibuka, Kevin melangkah masuk dan dokter menyambutnya seraya tersenyum.
"Silakan duduk, Pak Kevin!" ucap sang dokter mempersilakan dan menunjuk kursi di depan meja kerjanya.
Kevin mengangguk dan duduk di kursi tersebut. Duduk berhadapan dengan dokter entah mengapa membuatnya merasa gugup, terlebih yang duduk di hadapannya saat ini bukan dokter yang awal menyambut kedatangannya, melainkan dokter kandungan. Kini Kevin seolah mampu mendengar detak jantungnya sendiri yang berdetak begitu kencang. Ditambah saat suasana hening sejenak ketika dokter membuka map hasil pemeriksaan dan memerhatikannya dengan serius.
"Jadi bagaimana, Dok? Apa Rissa baik-baik saja?" Kevin akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada sang dokter.
"Berdasarkan hasil tes menunjukkan bahwa saat ini Ibu Rissa sedang hamil muda, Pak Kevin."
"A–apa, Dok? Ha–hamil?" tanya Kevin dengan terbata-bata dan ia sungguh tak percaya. Perasaannya seketika berkecamuk tak karuan. Entah ia harus sedih atau bahagia mendengar kabar tersebut karena yang pasti Risa saat ini tengah mengandung benihnya karena kejadian malam itu, malam di mana Kevin merenggut kesucian Rissa.
Dokter tersebut mengangguk dan menggabungkan jemarinya saat hendak menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan Kevin yang tampak syok saat ini.
"Betul sekali, Pak. Saat ini Ibu Rissa sedang mengandung dan mengalami fase awal kehamilan yang biasanya disertai dengan gejala seperti muntah-muntah, mual, dan pusing. Ini adalah hal yang normal pada trimester pertama. Maka dari itu, saya sarankan agar Ibu Rissa istirahat total selama beberapa hari ke depan, dan jangan makan makanan mentah seperti sushi, sashimi, dan yang lainnya karena itu akan berdampak buruk pada janinnya."
Kevin terdiam tanpa kata. Batinnya mulai bergejolak tak karuan.
"Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada Rissa? Apa dia akan menerima kenyataan ini, kenyataan kalau saat ini dia sedang mengandung benihku?" batinnya yang merasa cemas dan khawatir, sehingga tak mampu berpikir.
"Saya resepkan vitamin untuk Ibu Rissa ya, Pak, sekalian obat untuk meredakan gejala pusing," ucap dokter itu kembali saat Kevin tak kunjung mengajukan pertanyaan apa pun soal hasil yang disampaikannya.
"Ini resepnya, silakan Bapak ke apotek yang ada di ujung lorong ya." Dokter pun memberikan selembar kertas yang ukurannya tidak terlalu besar pada Kevin.
Dengan tangan gemetar Kevin menerima resep obat tersebut. "Baik, Dok. Terima kasih."
"Sama-sama, Pak Kevin."
Kevin tampak bingung, tetapi sesaat kemudian ia menemukan hal yang perlu ditanyakan pada dokter yang ada di hadapannya saat ini.
"Dok, apa Rissa sudah sadar?"
"Sudah, Pak. Ibu Rissa ada di ruang rawat jalan, ruangannya ada di sebelah ruang pemeriksaan tadi. Ibu Rissa masih diinfus di sana."
"Apa Rissa perlu dirawat, Dok?"
"Tidak perlu, Pak. Ibu Rissa boleh langsung pulang ke rumah begitu infusannya selesai karena hasil pemeriksaan menujukkan semuanya bagus. Ibu Rissa hanya perlu istirahat, tidak boleh kelelahan, dan jangan sampai stres."
Kevin mencoba mencerna informasi tersebut, wajahnya masih menunjukkan kebingungan. Namun, kemudian ia mengangguk, mengiyakan pesan yang dokter sampaikan padanya.
"Jadi setelah tebus obat dan vitamin, saya boleh langsung ketemu Rissa ya, Dok?" tanya Kevin lagi seakan butuh keyakinan untuk menghadapi kenyataan selanjutnya.
"Betul, Pak."
"Apa Rissa sudah tahu kabar tentang kehamilannya, Dok?" tanya Kevin yang sangat mencemaskan hal tersebut.
"Belum, Pak. Saya sampaikan kabar ini ke Pak Kevin dulu, jadi Ibu Rissa belum tahu. Rencananya setelah ini saya akan menemui Ibu Rissa di ruangannya untuk menyampaikan soal kehamilannya."
"Dok, kalau boleh biar saya saja yang kasih tahu soal kabar ini ke Rissa."
"Kenapa, Pak?" tanya sang dokter dengan alis yang saling bertaut.
"Saya tidak bisa menjelaskan alasannya, Dok. Mungkin saya akan kasih tahu Rissa setelah pulang dari sini," jawab Kevin yang tidak mungkin menceritakan hal yang mengganjal hatinya saat ini.
"Baik, Pak, kalau itu permintaan Bapak. Ini hasil pemeriksaannya, bisa ditunjukkan pada Ibu Rissa, dan dibawa pulang."
Kevin menerima hasil pemeriksaan tersebut yang disimpan dalam map, lalu ia bangkit dari atas kursi, tempatnya duduk. Terakhir ia menundukkan kepala dengan raut wajah yang tampak datar, bahkan pandangannya kosong.
"Terima kasih untuk penjelasannya, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu!" Kevin pun berpamitan, melangkah pergi meninggalkan ruangan dokter.
Kini langkah Kevin menuju apotek, hendak menebus obat dan vitamin untuk Rissa yang tengah hamil. Raut wajah Kevin tampak kacau, perasaannya gelisah, ia bingung harus mengatakan apa pada Rissa soal kabar kehamilan wanita itu.
"Rissa, semoga kamu mau memaafkanku," batinnya lirih dalam hati.
Kevin duduk di kursi tunggu apotek setelah menyerahkan catatan resep dari dokter pada apoteker. Sementara Julian dan Maulia sudah berpamitan pulang karena mereka akan menjemput Alden di sekolah. Ya, sebelum mereka pergi Kevin meminta maaf berulang kali pada Julian karena mereka belum sempat membahas soal bisnis. Namun, Julian sama sekali tak mempermasalahkan hal itu, ia dan Maulia mendoakan yang terbaik, berharap Rissa baik-baik saja, dan menerima apa pun hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter.
Duduk termenung dan tenggelam dalam lamunan membuat Kevin tidak sadar saat nama Rissa dipanggil berulang kali oleh apoteker. Hingga akhirnya orang yang duduk di sebelahnya bertanya dan membuyarkan lamunan Kevin.
"Mas, mau tebus obat atas nama Clarissa Lavioleta bukan? Dari tadi dipanggil tuh!" ucap salah seorang wanita memberitahu Kevin.
Kevin pun terkesiap dan segera bangkit dari duduknya. "Ah iya, Mbak. Terima kasih ya udah kasih tau saya," ucapnya tersenyum dan berlalu pergi menuju loket pengambilan obat.
Setelah pergi meninggalkan apotek, Kevin pun berniat menemui Rissa di ruang rawat jalan. Mengumpulkan keberanian dan menyusun kata-kata untuk sebuah alasan sampai ia siap memberitahukan berita kehamilan Rissa, setidaknya sampai mereka tiba di Bandung.
Begitu tiba di ruangan tersebut, Kevin melihat Rissa masih berbaring di ranjang pasien dengan selang infus yang masih terpasang di tangan kiri. Di sana ada perawat yang berjaga, perawat itu duduk di sudut ruangan dengan pandangan yang menghadap komputer.
Rissa menoleh, menatap kedatangan Kevin yang mulai melangkah mendekatinya. Rissa benar-benar tidak merasa enak karena sudah merepotkan atasannya dan membuat kacau acara pertemuan siang itu dengan Julian untuk membahas proyek kerja sama mereka.
"Pak Kevin, tolong maafin saya ya, Pak." Rissa langsung berucap dan meminta maaf begitu atasannya itu berdiri tepat di samping ranjang.
"Kenapa kamu minta maaf, Rissa?" tanya Kevin merasa bingung setelah berusaha menyembunyikan perasaan gelisahnya.
"Karena saya udah bikin Bapak repot, ditambah bikin kacau pertemuan penting Bapak sama Pak Julian karena saya tiba-tiba sakit." Rissa tampak mengerucutkan bibirnya yang kembali berwarna merah muda, tak lagi pucat seperti saat Kevin menggendong tubuhnya dari toilet sampai klinik.
Kevin tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Rissa. Kamu nggak perlu minta maaf dan jangan mikirin soal itu. Sekarang yang terpenting adalah kamu sehat!"
"Saya udah sehat kok, Pak, saya udah nggak sakit lagi, pusingnya juga udah hilang."
"Syukurlah. Apa sekarang kamu benar-benar udah jauh lebih baik?"
Rissa mengangguk sembari tersenyum.
"Apa ada bagian lain yang sakit?"
Rissa menggelengkan kepala.
"Bagus. Itu artinya kamu udah nggak sakit lagi. Berarti kita bisa pulang ke Bandung hari ini juga."
"Terus gimana sama Pak Julian dan Mbak Maulia, Pak?"
"Mereka udah pulang, mau jemput Alden di sekolah."
"Terus bahas soal proyeknya?"
"Kamu nggak perlu pikirin soal itu, Rissa. Sekarang kesehatanmu jauh lebih penting."
Mendengar perkataan Kevin barusan sungguh membuat Rissa merasa tersanjung. Ternyata atasannya itu benar-benar baik dan memiliki hati bak malaikat karena Kevin sama sekali tidak marah padanya yang sudah mengacaukan pertemuan penting siang ini karena dirinya yang tiba-tiba lemah dan jatuh pingsan.
Tak hanya merasa tidak enak, Rissa pun merasa malu karena tadi ia sempat bertanya pada perawat yang berjaga. Bertanya tentang siapa yang membawanya ke klinik karena seingatnya ia berada di toilet bersama Maulia. Setelah mendengar jawaban perawat yang memberitahu bahwa Kevinlah yang menggendong tubuh Rissa dari lantai 46 sampai ke klinik. Hal itu membuat Rissa terus merutuki diri sendiri karena sudah merepotkan bosnya.
"Oh ya, Pak, kata suster tadi Bapak ke ruangan dokter ya buat dijelasin sama dokter soal hasil pemeriksaan saya?"
Kevin mengangguk dengan d**a yang berdebar kencang.
"Terus kata dokter apa, Pak? Gimana hasil pemeriksaannya? Saya nggak sakit yang aneh-aneh kan, Pak? Soalnya menurut saya kenapa saya bisa tiba-tiba sakit karena sejujurnya saya nggak suka sashimi, mungkin karena cium aromanya saya jadi mual, dan akhirnya muntah-muntah deh."
"Kata dokter semua hasil pemeriksaan kamu bagus kok."
"Jadi saya nggak sakit apa-apa ya, Pak?" tanya Rissa yang membuat Kevin semakin berdebar tak karuan.
"Iya, begitu kata dokter," jawab Kevin yang tersenyum kaku dan terpaksa berbohong, lalu mencoba mengatur napasnya yang mulai tak teratur.
"Ya udah, kalau gitu kita pulang sekarang aja gimana, Pak? Ah tapi, saya belum pesan tiket kereta buat kita pulang, Pak." Rissa menepuk dahinya keras-keras karena ia melupakan hal sepenting itu. Rencananya Rissa memang akan memesan tiket pulang begitu mendekati berakhirnya pertemuan dengan Julian. Namun, sesuatu hal buruk malah menimpanya.
"Nggak perlu, Rissa, kita pulang naik taksi aja."
"Serius? Naik taksi sampai Bandung?" tanya Rissa yang mulai bangkit dari posisi tidurnya.
"Iya, kenapa? Kamu nggak mau ya? Atau kamu mau pulang naik helikopter aja? Tadi Pak Julian sempat nawarin. Kamu mau?" tanya balik Kevin dengan wajah serius.
"Nggak, Pak. Kalau gitu kita naik taksi aja!" putus Rissa yang kemudian meminta perawat untuk melepas infusannya karena ia harus bersiap-siap untuk pulang ke Bandung.
Setelah selang infus dilepas, Kevin diminta untuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh perawat.
"Makasih ya, Sus, untuk bantuannya. Kami pamit dulu!" ucap Kevin pada perawat yang berjaga sebelum berlalu pergi keluar dari ruangan tersebut.
"Sama-sama, Pak Kevin," jawab perawat itu dengan ramah dan kemudian beralih menatap Rissa yang berdiri di samping Kevin. "Dijaga baik-baik ya, Bu Rissa, kandungannya," lanjut perawat itu secara spontan mendoakan.
Namun, perkataan itu berhasil menghentikan detak jantung Rissa selama beberapa saat. Ia terkejut mendengar ucapan perawat yang memintanya untuk menjaga kandungannya.
"Kandungan?" tanya Rissa menatap perawat itu dengan dahi yang tampak mengerut sembari memegangi perutnya. Lalu ia beralih menatap Kevin di sampingnya yang tampak memejamkan mata frustasi.