Bab 11. Pelajaran Hidup

1591 Words
Setelah selesai meeting dengan perusahaan asuransi, kini Kevin dan Rissa tiba di Stasiun Tegalluar, Bandung, dengan semangat yang membuncah. Mereka naik kereta cepat Whoosh menuju Jakarta untuk menghadiri pertemuan penting dengan Julian Anderson di sebuah restoran di Jakarta. Setelah melewati proses boarding yang cepat dan efisien, keduanya menempati kursi masing-masing di first class. Kevin dan Rissa duduk bersebelahan di kursi yang nyaman dengan ruang kaki yang luas. Posisi duduk mereka cukup dekat, memungkinkan sekretaris dan CEO itu untuk berbicara dengan mudah sepanjang perjalanan. Kevin duduk di dekat jendela, sementara Rissa di sebelahnya, di kursi lorong. "Pak Kevin, saya mau tanya deh." Rissa yang merasa penasaran tentang sesuatu pun memilih untuk mengajak bosnya berbincang santai saat kereta melaju cepat untuk menikmati perjalanan singkat mereka agar tidak bosan. "Mau tanya apa?" "Katanya dulu Bapak pernah jadi asistennya Pak Julian di perusahaan pusat yang ada di Surabaya ya?" "Iya, kok kamu tau?" tanya Kevin seraya menatap sekretarisnya yang terlihat penasaran itu. "Dikasih tau sama Pak Jefri waktu saya menjalani serangkaian tes sama Pak Jefri." "Oh iya, benar. Jadi dulu sebelum jadi CEO di perusahaan cabang di Bandung, saya sempat jadi sekretaris pribadi Pak Stefan ayahnya Pak Julian selama satu tahun, sampai akhirnya Pak Stefan pensiun diganti sama anaknya, saya diminta jadi asisten pribadi Pak Julian, baru dua tahun jadi asisten Pak Julian, dia minta saya untuk pergi ke perusahaan cabang di Bandung dan diangkat jadi CEO." Mendengar cerita Kevin barusan membuat Rissa menganga. Ia benar-benar kagum sekaligus penasaran sebaik apa pekerjaan Kevin selama ini hingga bisa menempati kursi CEO. Ia berharap dapat banyak belajar dari Kevin yang sungguh menginspirasi banyak karyawan, sama seperti Rissa yang mulai penasaran, dan ingin tahu lebih jauh bagaimana bisa Kevin sampai di titik ini. "Wah, Pak Kevin hebat banget ya. Pasti Bapak berdedikasi ya untuk perusahaan yang Pak Julian pimpin di Surabaya." "Nggak juga kok, Rissa. Pak Julian itu orangnya memang baik dan pengertian. Dia minta saya pindah ke Bandung karena pengen saya dekat sama keluarga dan dia juga mau saya fokus sama rencana pernikahan saya waktu itu karena kalau saya masih di Surabaya saya nggak akan bisa fokus sama yang lainnya, selain ngurusin kerjaan di sana." Penjelasan Kevin barusan berhasil membuat Rissa terkejut. Ia pun langsung melontarkan pertanyaan selanjutnya dengan mata yang terbuka lebar. "Jadi Pak Kevin udah nikah?" "Nggak, belum! Tadinya mau nikah tapi batal." "Loh kenapa?" tanya Rissa yang semakin dibuat penasaran. "Karena mantan saya minta putus gara-garanya selama lima tahun pacaran saya nggak pernah punya banyak waktu buat dia. Ketemu aja jarang, ditambah LDR Surabaya–Bandung. Dua bulan kita putus, dia udah sebar undangan pernikahan sama laki-laki lain." "Jadi dia selingkuh?" "Ya nggak tau juga," jawab Kevin seraya mengedikkan bahu. "Itu dia pasti selingkuh, Pak. Logikanya aja, masa baru dua bulan putus dia udah punya yang lain, langsung nikah pula. Memangnya selama lima tahun pacaran, Bapak nggak berarti apa-apa buat dia sampai secepat itu move on-nya? Saya aja galau bangat kok putus sama Alex, sering nangis setiap malam, padahal baru dua tahun pacaran, rasanya sedih aja gitu, nggak nyangka kenapa dia bisa berbuat kurang ajar malam itu. Tapi sejahat apa pun dia, saya aja masih cinta kok sama dia. Ini kok mantan Bapak nggak masuk akal banget, baru minta putus, langsung nikah sama laki-laki lain. Apalagi coba kalau bukan selingkuh?" "Ya udah, biarin aja kalau dia memang benar-benar selingkuh." "Kok Bapak biasa aja sih?" tanya Rissa yang kecewa mendengar tanggapan Kevin. "Ya mau di apain lagi? Udah kejadian, mereka juga udah nikah," ucap Kevin yang terlihat benar-benar sudah pasrah akan kisah cintanya yang telah berakhir. "Memangnya Bapak nggak sedih ditinggal nikah sama perempuan yang Bapak cinta selama lima tahun loh, Pak, kalian pacaran, bukan lima bulan!" tanya wanita itu yang terlihat gregetan. "Sedihlah pasti. Cuma ya nggak kelihatan aja." "Kenapa dipendam, Pak? Udah luapin aja. Kalau Bapak mau nangis nggak apa-apa kok, lagian di sini nggak ada yang kenal sama Bapak selain saya, dan saya janji nggak akan cerita ke siapa-siapa." Kevin tertawa mendengar ucapan Rissa yang baru kali ini terlibat percakapan jauh dengan Kevin. Percakapan tentang kisah cinta Kevin yang membuat wanita itu berkomentar banyak, bahkan sampai terlihat kesal mendengar cerita bosnya itu. "Nggak, Rissa. Saya nggak mau menangisi hal-hal yang nggak ada gunanya. Kalau saya terpuruk terus, mau sampai kapan? Apa untungnya buat saya? Masa saya terus-terusan sedih di atas kebahagiaan dia sama laki-laki lain?" "Ah iya, Bapak benar juga sih. Saya jadi heran deh sama mantan Bapak itu, kenapa dia nyia-nyiain laki-laki se-perfect Bapak?" "Jadi menurut kamu saya perfect?" tanya Kevin yang berusaha menahan senyumnya saat dipuji seperti itu oleh sekretarisnya. Rissa langsung menggigit bibirnya. "Menurut saya dan karyawan lain sih begitu nilai Pak Kevin sebagai atasan kita." "Kenapa bisa dinilai seperti itu?" "Mungkin karena Bapak pemimpin yang baik, tegas, dan pintar." "Ah, jadi dari sana dinilainya." "Selain itu, Bapak juga tampan sih." "Kata kamu?" "Bukan. Maksudnya bukan kata saya doang, tapi kata banyak orang. Makanya sayang banget deh mantan Bapak itu, udah mutusin Bapak, dan malah nikah sama laki-laki lain. Jadi penasaran saya, kayak apa sih suaminya sekarang? Apa dia jauh di atas Bapak makanya sampai tega ninggalin Bapak demi laki-laki lain?" Kevin terdengar menghela napas berat, lalu ia tersenyum melihat raut wajah Rissa seperti orang kesal. Rissa malah tenggelam dalam cerita Kevin. Padahal pria itu berharap mereka bisa berbincang tentang hal lain, misalnya membahas soal perjodohan mereka yang kembali dilanjutkan setelah orang tua Rissa mengetahui putrinya sudah putus dengan Alex. "Udah ya, Rissa. Kamu nggak perlu penasaran soal urusan orang lain!" ucap Kevin seraya meletakkan telapak tangan di atas kepala Rissa, lalu mengusapnya sekilas. "Tapi Bapak diundang nggak waktu dia nikah?" tanya Rissa yang seolah tidak bisa menghentikan rasa penasarannya. Ia bertanya seraya menurunkan tangan Kevin dari kepalanya. "Diundang kok, bahkan ayah dan ibu saya juga diundang." "Terus Bapak datang nggak?" Kevin menggeleng lemah. "Saya nggak datang." "Pasti nggak kuat ya, Pak?" Kevin kembali menghela napas berat. Rasanya ia enggan membahas soal Claudia yang sudah menjadi mantannya itu, tetapi Rissa terus saja bertanya, seakan tak ada habisnya. "Pertama itu dan kedua saya pergi ke London waktu dia nikah." "Melarikan diri gitu ya, Pak, biar nggak sakit hati?" "Bukan itu sih alasannya, saya pergi ke London karena harus nemenin Pak Julian ke sana!" jawab Kevin sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. "Oh gitu, saya kira Bapak pergi karena sakit hati sampai akhirnya melarikan diri," ucap Rissa yang merasa lega, lalu ia mengangguk paham. "Kamu nggak ada niat kayak begitu, kan?" tanya balik Kevin yang membuat Rissa menautkan kedua alis, bingung. "Saya? Maksudnya gimana?" "Mungkin kamu kepikiran buat melarikan diri karena sakit hati. Kamu tadi bilang kan kalau kamu galau banget setelah putus dari Alex, bahkan sering nangis tiap malam. Pantas aja ya, matamu sembab setiap pagi!" Mata Rissa membulat saat Kevin menyindirnya. Ia pun kemudian mengerutkan dahi, bibirnya mengerucut, lalu kedua tangannya bersedekap. "Eh, kok jadi bahas soal saya sih, Pak? Kita kan lagi bahas soal kisah cinta Pak Kevin sama mantan." "Ngapain bahas mantan, nggak ada faedahnya. Bikin sakit hati iya." "Bapak pasti kesal ya lima tahun cuma jagain jodoh orang?" Kevin tak kuasa menahan tawa mendengar ucapan Rissa. Ia pun tertawa. Menertawakan dirinya sendiri yang gagal menikah dan ditinggal menikah oleh wanita yang dicintainya. "Kamu benar sekali, Rissa. Saya benar-benar kesal pada awalnya. Tapi sekarang biasa aja sih!" jawab Kevin setelah tertawa singkat dan membuat Rissa pun merasa prihatin. "Yang sabar ya, Pak. Jangan lama-lama sedihnya. Cinta pertama memang nggak selamanya indah, kadang cinta pertama hadir buat jadi pelajaran hidup, bukan tujuan hidup. Bapak tenang aja, Pak Kevin pasti akan menemukan cinta yang lebih baik dari mantan sebelumnya. Haduh, kok saya jadi bahas soal cinta-cintaan sih. Maaf ya Pak Kevin, saya nggak bermaksud mau bikin Bapak menggali luka lama." Rissa mengakhiri kalimatnya dengan sebuah permintaan maaf. Seketika ia merasa bersalah dan berharap Kevin tidak marah padanya. "Nggak apa-apa kok, udah terlanjur." "Bapak nggak kesal kan sama saya?" "Kenapa saya harus kesal?" "Karena saya udah bahas soal mantan Bapak." "Nggak apa-apa kok, kalau kamu tanya ya nggak ada salahnya saya jawab." "Syukurlah kalau Bapak nggak marah, kalau gitu silakan diminum kopinya, Pak!" ucap Rissa yang kemudian mengambil gelas berisi kopi yang ada di meja kecil tepat di hadapannya, lalu menyodorkannya pada Kevin. "Ah iya, terima kasih." Kevin pun kemudian menyeruput kopi yang masih hangat tersebut dan mulai mengalihkan pandangannya ke samping kanan, menatap pemandangan di luar. Sementara kini Rissa telah menyudahi pertanyaannya karena bukan itu tujuan awalnya, bertanya soal kisah cinta bosnya yang ternyata miris, padahal tadinya wanita itu tertarik dengan cerita kesuksesan Kevin, tapi malah menyerempet pada kisah cinta yang dianggap Rissa lebih menarik untuk dibahas. Saat ini keduanya menikmati pemandangan yang melintas cepat di luar jendela, dari perbukitan hijau hingga gedung-gedung tinggi saat mendekati Jakarta. Mereka juga menikmati camilan yang disediakan di kereta, sambil sesekali menyesap kopi hangat. "Pak, saya mau tanya sekali lagi boleh?" "Boleh, mau tanya apa lagi kali ini?" Rissa kemudian mengajukan pertanyaan yang lebih serius dan kali ini ia benar-benar penasaran, bertanya kepada Kevin tentang proyek terbaru yang akan dikerjakannya dengan Julian. Kevin dengan antusias menjelaskan detail proyek tersebut dan Rissa mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan beberapa masukan yang cerdas. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, membuat perjalanan yang singkat terasa lebih bermakna. Ketika kereta mendekati Stasiun Halim, Jakarta, Kevin dan Rissa bersiap-siap untuk turun. Mereka memastikan semua barang bawaan sudah siap dan tidak ada yang tertinggal. Sesampainya di stasiun, Rissa segera memesan taksi untuk menuju restoran tempat mereka akan bertemu Julian. Perjalanan dengan kereta cepat Whoosh tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga memberikan mereka kesempatan untuk lebih dekat dan berbagi cerita sepanjang perjalanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD