“Aku nggak mau!” teriak Zivanna kuat sembari mendorong pintu yang daritadi tertutup.
Semua orang bilang, Tunggu disini, kita akan mencari jalan keluar. Tapi Zivanna hanya diminta diam sementara keluarga besar Jagatra dan Sastronegoro tengah berdiskusi menentukan masa depannya. Dan ketika Zivanna diam-diam menguping, Keputusan mereka mengarah pada “Hakim akan menikahi Zivanna.”
“Aku nggak mau, Eyang. Aku mohon,” pintanya pada sosok yang ditua-kan disini. Menatap bergantian pada orangtua Hakim, orangtuanya dan juga pada Hakim sendiri, juga pada kedua Eyangnya yang sedari tadi memaksa pernikahan tetap berlangsung. “Aku cuma mau sama Krisna, Eyang. Kita cari dia, tunggu dia.”
“Dia sudah jelas-jelas meninggalkal kamu, Zivanna. Kamu baca suratnya tadi ‘kan? dia lari bersama dengan wanita yang dia hamili,” ucap Eyang Laksmi dengan nada yang lembut.
“Krisna itu orang yang setia, kalian pasti tahu itu. Kehamilan ini pasti bukan hal yang disengaja. Tolong, aku gak mau nikah kalau gak sama dia. Aku mau ngomong dulu sama Krisna.”
“Kepala kamu terbentur batu atau bagaimana?” Pandega lebih sinis. “Dia pergi, tidak ada yang tahu dia dimana. Dan para tamu Eyang menunggu diluar sana, kalau pernikahannya gagal itu bisa mempermalukan keluarga. Dua kali nanti Eyang dipermalukan oleh cucu-cucu.”
Adnan langsung menimpali. “Bapak tidak usah khawatir, pernikahan akan tetap berlangsung. Nak Hakim sendiri sudah bilang mau menggantikan Krisna ‘kan?”
“Mungkin sebaiknya kita beri waktu dulu Hakim dan Zivanna untuk bicara,” ucap Wirya Jagatra. “Biarkan mereka berdiskusi dulu.”
“Dan apapun hasil diskusinya, kalian akan tetap menikah,” tekan Pandega berdiri dibantu oleh tongkatnya dan melangkah pergi dari ruangan tersebut.
Hakim mengangguk pada kedua orangtuanya, maupun kedua orangtua Zivanna sebelum mereka melangkah pergi. Dan satu penekanan diucapkan Wirya sebelum dirinya keluar, “Kamu akan tetap menikah, Zivanna. Jangan mempermalukan keluarga.”
Hingga pintu ruangan terdengar tertutup, mata Zivanna tidak beralih sedikitpun dari sosok jangkung yang memakai kemeja hitam, dia berdiri dan melangkah dengan gagahnya. Sebelum semakin mendekat, Zivanna dengan lantang mengatakan, “Aku gak mau menikah dengan Om. Apapun alasannya, gak ada alasan buat kita menikah.”
“Kalau begitu kamu bicara dengan para orangtua disana, Zivanna.” Tangannya masuk ke saku celana, tatapan setajam elang dilayangkan. “Saya sendiri sulit bernegoisasi dengan mereka.”
“Seorang kolonel susah bernegoisasi? Jangan bohong, kamu punya sejuta alasan buat menolak daripada menikah dengan wanita yang harusnya jadi keponakan kamu!”
“Tapi tidak ada alasan untuk saya menyelamatkan nama keluarga.”
“Itu akal-akalan kamu saja ‘kan?! Biar bisa nikahin aku?!”
Hakim terkekeh dengan sorot benar-benar menertawakan. “Saya gak tertarik sama bocah kayak kamu, jadi mari selamatkan wajah para orangtua terlebih dahulu. Nanti kamu baru kitab isa berdiskusi.”
“Gak mau! Aku mau kabur sekarang,” ucapnya sambil mengangkat kain jarik dan berbalik hendak lari. Namun sebelum langkah cepatnya dimulai, sebuah tangan melingkar di perutnya, menahan supaya Zivanna tidak kabur. Zivanna berbalik, tapi sepersekian detik sudah diangkat ke bahu pria gagah tersebut.
“Aaaaaaaa!” Zivanna berteriak, meronta minta dilepaskan, tapi Hakim dengan mudahnya membawa Zivanna keluar ruangan tersebut.
****
Kebencian, itulah yang dirasakan Zivanna. Bisa-bisanya para orangtua itu tampak bahagia saat dirinya sudah menjadi istri dari sosok yang tidak pernah dibayangkan. Dirinya dipaksa tersenyum, tampak bahagia padahal dia ingin menangis meraung. Tanpa diberi kesempatan bicara, Zivanna dipaksa masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke rumah sang kolonel.
“Kamu disini dulu supaya bisa bicara leluasa dengan Hakim. Papa dan yang lainnya harus bicara juga.”
“Kenapa Zivanna harus ditinggalin disini? Kenapa gak ke rumah atau apartemen aja? Ini pernikahan pengganti, bukan pernikahan yang sebenarnya,” ucap Zivanna mencoba membela diri. Namun ketika satu melawan 6 orang, Zivanna akhirnya tunduk juga, terlebih melihat mata lelah Eyang Laksmi.
“Saya akan jaga Zivanna, kami akan berbicara juga.” Hakim akhirnya bersuara.
“Kamu coba yakinkan dia,” perintah Adnan pada Hakim sebelum mereka pergi.
Meninggalkan Zivanna yang masih berdiri di teras rumah mewah tersebut. Hakim melangkah masuk lebih dulu, dan pengabaian itu benar-benar membuat Zivanna kesal. Dia melangkah cepat, menyusul sambil berteriak, “Mereka mau pernikahan ini berjalan selamanya. Aku gak mau! Dan kamu harus bantu aku ngobrol kalau ini gak bener!”
“Ini hampir tengah malam, Zivanna. Istirahat dulu,” ucapnya sambil menaiki tangga.
Zivanna menyusul dengan cepat, mencoba mengimbangi langkahnya yang begitu besar. Agak sulit sebab perawakan Zivanna kecil, bahkan tingginya hanya sebatas d**a Hakim. “Yang aku mau cuma Krisna. Aku mau dia! Bukan kamu! Jadi apapun hasil pembicaraan mereka besok, kita harus sepakat untuk bercerai!”
BRUK!
“Kenapa tiba-tiba berhenti?!”
“Mbak, antarkan Zivanna ke kamarnya,” ucapnya pada pelayan yang tengah berjalan di koridor hendak membawakan teh.
“Baik, Pak.”
Hakim mengambil nampan teh tersebut, masuk kamar dan menutup pintu tepat di hadapan Zivanna.
“Mari, Non, saya antarkan ke kamar tamu.”
Zivanna menghela napasnya dalam. Kali ini dia benar-benar lelah, butuh waktu untuk kembali melawan mereka yang memaksakan kehendak. Zivanna diajak masuk ke sebuah kamar di ujung lorong, tak jauh dari tangga yang barusan mereka lalui. Pintu kayu berwarna hitam pekat terbuka perlahan, dan sang pelayan wanita menyalakan lampu dinding dengan gerakan halus sebelum membungkuk kecil, memberi ruang pada Zivanna untuk melangkah masuk.
“Ini kamar tamu, Non. Kalau butuh sesuatu, silakan tekan bel di samping meja. Saya pamit undur diri dulu,” ucapnya lembut, lalu menutup pintu dari luar tanpa suara.
Begitu pintu tertutup, Zivanna merasa seperti terkunci dalam dunia yang asing, bahkan terlalu asing untuk disebut sebagai tempat beristirahat.
Kamar itu besar, lapang, dan terlalu sunyi. Lantainya dilapisi marmer abu keperakan, dan dindingnya dicat dalam tone gelap yang nyaris seperti langit malam tanpa bintang. Tirai-tirai hitam pekat menjuntai dari langit-langit tinggi, menghalangi jendela besar. Satu-satunya cahaya datang dari lampu gantung bercahaya redup, menggantung kaku di tengah ruangan seperti patung besi tak bernyawa.
Tak ada bunga. Tak ada lukisan. Tak ada warna-warna hangat atau foto-foto keluarga seperti kamar yang biasa ia temui di rumah kerabat. Semua di ruangan itu... teratur, kaku, dingin. Sama seperti pemilik rumah ini. Bahkan ranjangnya pun tertata sempurna, seolah belum pernah digunakan, dengan seprai abu dan selimut hitam rapi tak berkerut.
Zivanna berdiri beberapa saat, tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya matanya yang menyapu setiap sudut ruangan dengan rasa asing yang menghantui. Kamar ini bukan tempat untuk beristirahat. Ini seperti ruang isolasi... atau penjara emosional yang dilapisi marmer mahal.
Ia melangkah pelan menuju ranjang, dan akhirnya duduk di bibir kasur dengan gerakan lambat.
Tangannya bergerak membuka tas yang ia letakkan di samping, lalu menarik secarik kertas lipat yang sudah mulai lecek. Surat itu. Surat yang ditemukan oleh Papanya, ditempat seharusnya Krisna bersiap sebagai pengantin pria.
"Zivanna...
Aku minta maaf. Aku tahu tidak ada kata yang pantas untuk menjelaskan betapa besar kesalahan ini. Tapi kamu berhak tahu... aku memilih pergi. Aku harus bertanggung jawab atas kesalahan yang kubuat. Ini bukan tentang cinta yang berubah, tapi tentang kesalahan yang tidak bisa kupalingkan wajahku darinya.
Kamu adalah cahaya yang terlalu terang untuk seseorang seperti aku. Terlalu banyak kebohongan yang kupelihara selama ini demi terlihat layak untuk bersamamu. Dan hari ini… aku memilih untuk tidak lagi berbohong. Zivanna, wanita ini hamil anakku. Maaf.
Zivanna, kamu perempuan paling berharga yang pernah hadir dalam hidupku. Tapi bukan aku yang pantas berjalan bersamamu menuju masa depan. Aku tahu aku menghancurkanmu, dan aku akan menyesalinya seumur hidup.
Maafkan aku.
–Krisna
Lembaran kertas itu bergetar di tangannya. Air mata Zivanna akhirnya jatuh, tanpa ledakan isak, hanya diam-diam mengalir, satu-satu. Matanya tak beralih dari tulisan itu, seolah berharap huruf-hurufnya berubah, atau mungkin menghilang. Tapi tidak.
Zivanna menggigit bibirnya, menahan desah sakit yang menggumpal di dadanya. Rasanya seperti tenggelam. Dunia yang ia bangun runtuh perlahan dan ia dibiarkan menyaksikan reruntuhannya sendirian. Krisna... benar-benar pergi? Tidak mungkin. Krisna bukan seperti ini. Dia terlalu lembut, terlalu baik, terlalu... penuh cinta.
Ini pasti ada yang tidak beres. Pasti dia dijebak. Pasti...
"Gak mungkin… aku akan cari kamu, Krisna. Kamu pasti dijebak. Aku akan bantu kamu," bisik Zivanna lirih, nyaris seperti janji yang ia tanamkan pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar saat melempar surat itu ke lantai, lipatan kertas itu terbuka begitu saja, berserakan di bawah lampu kamar yang temaram. Ia menyeka air mata dengan kasar, bukan untuk menghapus luka, tapi seperti ingin mengusir kelemahan yang tidak seharusnya ada di malam seperti ini.
Langkahnya terarah menuju jendela besar. Ia membuka kuncinya, sedikit, hanya untuk membiarkan udara malam masuk dan menenangkan isi kepalanya yang mendidih. Tapi yang ia temukan di balik tirai justru bukan angin atau langit.
Melainkan pemandangan yang membuat tubuhnya menegang.
Di halaman belakang, kolam renang batu alam yang elegan terpantul samar di bawah cahaya kuning lampu taman. Dan di sana… ada sosok yang membuat Zivanna kehilangan napas.
Hakim.
Tanpa atasan. Tanpa suara. Tanpa dosa.
Ia bergerak di dalam air dengan tenang dan mantap, seperti harimau yang sengaja memperlambat geraknya untuk menaklukkan ruang. Kulitnya kecokelatan, bersinar basah di bawah cahaya malam, dan setiap otot tubuhnya seperti diukir dengan tujuan yang sangat spesifik, menciptakan ketegangan di tubuh siapa pun yang melihatnya. Bahu lebar. Punggung bidang yang menyempit ke pinggang ramping. d**a yang naik turun ringan, dan perut yang terukir dengan otot-otot tajam, turun sampai ke garis tipis di bawah pusarnya, garis yang dipagari bulu halus yang basah dan menghitam menempel di kulit.
Zivanna nyaris lupa bernapas. Tubuhnya membeku di balik tirai. Wajah pria itu, dalam diam dan ketenangan malam terlihat sangat tampan, nyaris tak nyata. Rahangnya tegas, matanya menatap ke permukaan air seolah membaca medan perang, dan rambut basahnya menempel acak di dahi.
Ia berenang seperti sedang melakukan sesuatu yang sangat sakral. Dan setiap gerakannya menyulut api kecil yang sejak seminggu terakhir mencoba dikubur Zivanna dalam-dalam.
“Gila...” gumam Zivanna. “Kenapa harus dia?”
Bayangan mimpi itu menari lagi di benaknya. Suara napas Hakim di telinganya. Tubuh itu menindihnya. Gesekan, tekanan, dan—
Zivanna mengumpat cepat, "Sialan." Lalu buru-buru menarik tirai jendela hingga tertutup rapat, jantungnya berdebar tak karuan. Ia bersandar di dinding, napasnya tercekat, tubuhnya kini justru terasa panas padahal semestinya ia tenggelam dalam kesedihan.
Tangannya menekan dadanya sendiri. “Harusnya aku sedih... kenapa malah begini?”