Pagi hari saat Zivanna bangun, cahaya matahari menelusup malu-malu dari celah tirai, membias lembut di lantai marmer yang dingin. Ia menggeliat pelan, menyibak selimut dengan helaan napas lelah yang belum benar-benar pergi sejak semalam. Kepalanya masih berat, dadanya masih sesak, namun pandangannya langsung tertumbuk pada satu benda besar di sudut kamar: sebuah koper kulit cokelat, sangat dikenalnya, koper miliknya.
Zivanna bangkit, duduk di tepi ranjang dan memandangi koper itu dengan tatapan kosong beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendesis pelan, lalu terkekeh sumbang.
“Jadi begini, ya?” gumamnya. “Berarti Mama, Papa, dan semua orang... beneran mau pernikahan ini berlanjut.”
Ia bangkit keluar kamar, menyusuri lorong rumah bergaya minimalis dingin itu, lalu turun ke lantai satu. “Hakim dimana?” tanya Zivanna pada salah satu pelayan yang ada di dapur.
“Di belakang, Non. Di gedung gym.”
“Gym?” Zivanna menaikkan alis.
“Ya, di bangunan kecil belakang taman. Bapak memang biasa olahraga setiap pagi.”
Zivanna tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu melangkah menuju arah yang ditunjukkan.
Begitu melewati kolam renang dan taman kecil yang ditata dengan batu-batu alam dan kolam koi di sampingnya, barulah Zivanna melihat bangunan kaca setinggi satu lantai dengan atap datar dan panel hitam di sisi kanan. Di sanalah... Hakim.
Tepat di tengah ruangan gym pribadi itu, pria itu berdiri tegap, berkeringat, hanya mengenakan celana training hitam longgar tanpa atasan. Otot dadanya naik turun teratur, perutnya bersih, terukir dengan abs yang seolah mengukuhkan disiplin hidup militernya. Garis halus rambut di bawah pusarnya terlihat jelas, mengarah ke bawah celananya, dan setiap gerakan yang dilakukannya, entah menekuk lengan atau mengangkat barbel menimbulkan kontras antara tenaga dan ketenangan.
Zivanna spontan menelan saliva, keras.
Ia berusaha melangkah cepat, menunduk, menghindari visual yang mulai menghantui pikirannya. Namun langkah tergesa dan pikirannya yang berantakan justru membuatnya lengah.
Crak!
“Aaaakh!” jerit Zivanna. Tubuhnya limbung. Kakinya terkilir saat salah pijak di batu taman yang agak miring.
Hakim menghentikan latihannya. Sekejap kemudian, ia sudah keluar dari gym dan berjalan mendekat, mengelap leher dan dadanya dengan handuk kecil.
“Ada apa?”
“Jangan dekat-dekat!” bentak Zivanna, menahan sakit sambil menyingkir sedikit. “Aku gak apa-apa!”
“Bohong.” Hakim menatap kaki Zivanna yang sudah mulai memerah.
“Jangan deket-deket, kamu keringatan. Jangan sentuh juga, aku bisa sendiri, Om. Aku— Aaaaaa!”
Terlambat. Tubuhnya sudah diangkat dengan mudah. Kedua lengannya terperangkap di d**a bidang itu, dan Zivanna kembali meronta, panik.
“Om! Turunin! Aku bisa jalan sendiri!”
“Dengan kaki yang begitu? Yang ada jadi suster ngesot kamu?”
“Aku nggak minta tolong kamu! Hentikan—”
Namun Hakim tak menggubris. Ia tetap melangkah tenang, membawa Zivanna seperti tak lebih dari sehelai kain. Mereka melewati taman, masuk kembali ke dalam rumah, dan Hakim menurunkannya di kursi ruang makan.
“Mbak, tolong ambilkan air hangat dan minyak zaitun. Kompresnya juga.”
“Baik, Pak.” Pelayan segera melesat.
Zivanna masih memelototi pria itu. “Aku bisa oles sendiri, aku gak minta dipijetin.”
Hakim tidak menjawab. Ia berjongkok tepat di depan Zivanna, membuka tali selopnya, lalu mulai mengangkat kaki yang cedera dengan gerakan perlahan.
Sentuhan tangannya dingin, namun pijatannya hangat. Jari-jarinya kuat tapi tidak kasar, bergerak teratur menekan titik-titik yang tepat di pergelangan kakinya.
“Aaakh! Sakit! Hei, pelan-pelan dong!”
“Kalau dibiarkan tambah sakit, Na. Diam dulu.”
“Tapi gak gi- Ahhhhh! Ahhhhh!” Zivanna mendengus, “Kamu tuh... haaaaahhh...!”
Satu tekanan lembut membuatnya meringis dan merintih pelan, namun refleks mencengkeram sisi kursi karena... entah kenapa, rasa sakitnya seperti terselip kenikmatan aneh yang menggelitik.
“Jangan ditekan lagi... aaakh!”
Dan selesai. Hakim berdiri ketika Zivanna masih menatapnya dengan kesal. “Kaki kamu akan membaik nanti.”
Zivanna tahan lengan Hakim ketika pria itu hendak melangkah pergi. “Dimana Krisna?” Pertanyaan itu diucapkan dengan nada yang begitu rapuh, manik yang memohon.
“Saya juga tidak tahu, Bapak sedang mencarinya.”
“Bohong. Kalian pasti tahu dia dimana. Kalian dari anggota militer, tidak sulit menemukan seseorang apalagi itu anggota keluarga kalian.”
Hakim terkekeh. “Krisna juga dari keluarga militer, dia pandai bersembunyi.”
“Dia gak mungkin hamilin perempuan lain. Pasti dia dijebak dan juga didesak keaadan. Aku mau bicara dengannya, tolong….” Matanya berkaca-kaca. “Om tahu sendiri bagaimana kami berjuang bersama, dan sekarang dia tiba-tiba hilang? Itu gak masuk akal. Aku mau bicara sama dia, tolong cari dia.”
Hakim memandang Zivanna datar, tapi detik berikutnya pria itu kembali berjongkok hingga mudah bagi Zivanna menatap pria tua tersebut. “Saya juga tengah mencarinya, Zivanna. Kami semua mencarinya. Jika menemukannya, pasti saya akan bilang sama kamu. Oke?”
“Lalu pernikahan ini? Mereka maunya berlanjut, tapi aku gak mau.”
Hakim diam.
“Ayo cerai, kita udah selamatkan pesta kemarin ‘kan? Gak ada alasan kita untuk bertahan.”
BRUK!
Suara jatuh itu langsung menarik perhatian Zivanna dan Hakim, keduanya menoleh bersamaan dan…. “Eyang!” teriakan Zivanna menggema, disana Eyang Pandega jatuh tidak sadarkan diri. sejak kapan pula pria tua itu ada disini?
****
“Eyangmu maksa mau kesana, katanya mau ngobrol bareng kalian. Memang benar, kalau keluarga kita maupun keluarganya Hakim setuju jika kalian melanjutkan pernikahan,” ucap Eyang Laksmi sembari menggenggam tangan Zivanna. “Hakim itu baik, dia punya jabatan dan yang Eyang lihat dia bisa jaga kamu.”
“Gak bisa dipaksakan, Eyang. Bagaimana kalau Om Hakim sudah punya pasangan?”
“Tidak ada, orangtuanya yang bilang, Hakim juga yang bilang. Lagipula kalau Hakim sendiri sih mau menerima Keputusan keluarga, apapun itu. Dia jagain kamu ‘kan di rumahnya?”
Belum sempat Zivanna menjawab, pintu ruangan tempat Eyang Pandega dirawat terbuka perlahan. Seorang dokter pria paruh baya muncul.
“Dok, bagaimana kondisi Eyang saya?” tanya Zivanna cepat.
“Secara klinis, tidak ada serangan akut yang mengancam jiwa saat ini. Namun, dari hasil pemeriksaan laboratorium dan EKG, kami mendapati bahwa kardiomiopati kongestif beliau kembali menunjukkan gejala progresif. Singkatnya, penyakit jantung lama beliau mengalami pemburukan.”
Zivanna menelan ludah. “Jadi... ini serius?”
“Cukup serius jika tidak ditangani dengan benar,” lanjut sang dokter. “Tekanan darahnya fluktuatif, detak jantungnya tidak stabil, dan ada indikasi gagal jantung ringan. Kemungkinan dipicu oleh stres emosional dan kelelahan. Pola hidup beliau harus benar-benar dijaga mulai sekarang, dimulai dari makanan rendah sodium, aktivitas ringan, tidur cukup, dan yang terpenting: jangan diberi tekanan mental berlebihan. Pengobatan rutin dan evaluasi bulanan harus dilakukan.”
“Apakah dia sudah sadar?” tanya Eyang Laksmi.
“Beliau sudah melewati fase sinkop. Akan sadar dalam waktu dekat, mungkin dalam sepuluh sampai lima belas menit ke depan.”
“Kami mengerti, Dok,” jawab Zivanna pelan.
Sang dokter mengangguk, lalu pamit.
Zivanna menatap ke dalam ruangan sebentar, memperhatikan sosok Eyang Pandega yang kini terbaring lemah di ranjang. Tubuh tua itu tampak ringkih di balik selimut abu rumah sakit. Selang infus menggantung di sisi ranjang, monitor detak jantung mengeluarkan bunyi reguler yang mengisi keheningan seperti denting waktu yang menegangkan.
“Monggo, Eyang masuk dulu. Zivanna... nyusul sebentar lagi,” ucap Zivanna sambil menyentuh lembut lengan Eyang Laksmi.
“Kamu mau kemana?”
“Cari Om Hakim dulu.”
Eyang Laksmi mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke ruangan, meninggalkan Zivanna sendiri di lorong rumah sakit yang dingin.
Zivanna menarik napas panjang, lalu berjalan cepat menyusuri lorong, menyusuri aroma disinfektan dan langkah-langkah terburu dari para staf rumah sakit. Tak butuh waktu lama hingga langkahnya berhenti di tepi taman belakang rumah sakit.
Di sana, ia melihat Hakim berdiri mengenakan kemeja biru tua dan celana kain, punggungnya tegap. Di depannya, seorang pria muda berpakaian dinas AU tampak berdiri tegak dengan map di tangan, ajudan, tampaknya.
“…iya, pastikan tim cadangan stand by di Lanud pagi besok. Briefing diulang, dan pastikan semua rute darat diamankan sebelum saya tiba,” ujar Hakim dengan suara rendah dan tajam.
“Siap, Kolonel.”
Zivanna melangkah mendekat, membiarkan langkah sepatunya terdengar ringan di kerikil taman agar Hakim menyadarinya.
“Om Hakim.”
Hakim menoleh, dan Zivanna langsung menyambung dengan mata tajam namun suara datar, “Kita perlu bicara.”
Ajudan memberi hormat dan segera mohon diri, meninggalkan mereka berdua dalam diam yang ganjil. Zivanna menatap lurus ke mata Hakim, mencoba menekan denyut panik dan kemarahan yang masih samar di dadanya. “Ayo. Kita buat kesepakatan pernikahan.”