Terletak di sudut tenang sebuah hotel berbintang, kafe itu tidak ramai, namun cukup berkelas untuk menjaga percakapan mereka tetap berada dalam ruang privat. Jendela kaca besar membiarkan cahaya matahari mengalir masuk, memantulkan kilau lembut di meja marmer tempat mereka duduk. Tiga cangkir tersaji, kopi hitam untuk Hakim, cokelat panas untuk Zivanna, dan teh melati yang hanya disentuh seperlunya oleh seorang ajudan berseragam rapi yang duduk di sisi kanan Hakim. Di depannya, laptop terbuka, pena mengarah siap, lembar dokumen kosong bertuliskan “Kesepakatan Pernikahan.”
Zivanna dan Hakim sama-sama menuliskannya dulu dalam kertas dan memberikan pada satu sama lain.
Zivanna menahan senyum ketika membaca salah satu poin, “Pihak perempuan berhak mendapatkan tunjangan bulanan dengan jumlah sesuai kebutuhan wajar gaya hidup metropolitan.” Dia mendongak. “Gaya hidup metropolitan? Ini bahasa halus dari ‘uang jajan,’ ya, Om?”
Hakim tidak mengangkat kepala. “Saya cuma menyesuaikan diksi biar terlihat elegan di dokumen. Kamu yang minta duluan.”
Zivanna menjentik kertas. “Oke. Jumlahnya tidak terbatas?”
“Tidak apa selama kamu tidak mempermalukan saya dan menjalani kewajiban menjadi istri yang saya inginkan.”
“Deal.”
Ajudan yang dari tadi mengetik cepat namun penuh ketenangan, hanya menengok sekilas, lalu melanjutkan pencatatan dalam laptop.
"Pasal dua. Peran dan kewajiban sosial,” gumam Zivanna. “Di poin ini aku setuju mendampingi sebagai PIA Ardhya Garini,” ucap Zivanna pelan, menatap Hakim lurus. “Tapi jangan suruh aku pidato. Aku bisa mendampingi ke acara resmi, pakai seragam, senyum, dan jabat tangan. Tapi saya bukan istri politik.”
Hakim mengangguk. “Saya nggak butuh istri politik. Saya cuma butuh kamu tidak mencoreng nama keluarga dan kesatuan.”
“Deal.”
Selanjutnya Pasal 3. Kebebasan personal dan privasi.
Poin ini disusun dengan kalimat netral, namun maknanya jelas:
Kedua pihak tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain, termasuk hubungan, komunikasi, dan kegiatan sehari-hari yang tidak berkaitan langsung dengan kewajiban publik sebagai pasangan suami istri.
Tidak ada kewajiban berbagi ruang tidur.
Tidak ada intervensi terhadap pilihan sosial, selama tidak mencoreng nama keluarga.
Zivanna mencoret sedikit dan menambahkan satu kalimat, “Kecuali jika salah satu pihak secara sadar dan sukarela meminta keterlibatan.”
Hakim sempat melirik. “Boleh.”
Pasal demi pasal dibuat. Bukan dengan cinta, bukan pula dengan harapan, tapi dengan logika dan tekanan. Semua hal dibahas rinci: dari urusan rumah, kehadiran di acara keluarga, hingga peran sosial sebagai suami istri publik. Tapi tetap dengan satu garis tegas di bawah semua itu, mereka hanya akan terlihat harmonis di depan keluarga dan orang luar.
Tidak ada keintiman, tidak ada tuntutan, tidak ada hak atas tubuh atau hati satu sama lain.
Setelah dokumen rampung dan kedua pihak menyetujui redaksinya, Hakim menyandarkan tubuh ke kursi, lalu melirik ke arah ajudannya. “Cetak dua rangkap. Masukkan dalam map khusus, dan siapkan satu salinan digital.”
“Siap, Kolonel.” Letnan Ardian segera berdiri, lalu meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan sopan.
Kini hanya tinggal mereka berdua. Zivanna menyentuh cangkir cokelat panasnya, memutar perlahan, sebelum akhirnya menyeruput sedikit dengan diam.
Sinar siang mulai turun miring, memantul dari kaca besar di belakangnya. Dari sudut tempat duduknya, Zivanna bisa melihat gedung rumah sakit tempat Eyangnya dirawat.
“Aku benci sama kamu,” ucap Zivanna tiba-tiba, pelan namun tegas.
Hakim tidak langsung menoleh. Tapi matanya bergerak, dan jemarinya yang sejak tadi tenang di atas meja kini perlahan mengetuk permukaan.
“Aku benci karena kamu… setuju menikah. Kamu bisa menolak, kamu bisa angkat suara. Tapi kamu nggak lakukan itu,” lanjut Zivanna.
Hakim mengangkat bahu sedikit. “Saya ditekan, Zivanna.”
“Aku tahu,” kata Zivanna cepat. “Aku nggak sepenuhnya menyalahkan kamu. Tapi itu nggak bikin aku bisa berhenti benci.”
Keheningan menggantung sejenak. Zivanna menatap keluar lagi, napasnya berat.
“Tapi aku minta satu hal.”
Hakim akhirnya menatapnya. “Apa?”
Zivanna menoleh. Matanya tajam, tapi ada luka yang masih basah di dasar iris itu.
“Kalau suatu saat aku bertemu Krisna... dan semua ini bisa diselesaikan, aku minta kamu bantu aku urus perceraian. Jangan cuma aku yang berjuang sendiri.”
Suara itu tidak meninggi. Tapi cukup mantap untuk membuat udara di antara mereka seolah menebal.
“Kamu masih mau balik sama dia? Kemungkinan dia bersama dengan wanita pilihannya.”
Zivanna menggeleng pelan. “Aku nggak tahu. Bersama atau nggak, yang jelas aku nggak mau selamanya hidup dalam pernikahan kontrak kayak begini.”
Hakim tidak membalas.
“Aku cuma pengin semuanya tenang dulu buat sekarang,” lanjut Zivanna, suaranya nyaris seperti bisikan. “Baru setelah itu... selesai. Bersih. Tanpa gaduh. Tanpa drama. Dan... maksimal dua tahun.”
Hakim mengangkat alis. “Dua tahun?”
Zivanna menatap matanya, tanpa goyah.
“Maksimal dua tahun aku bisa hidup dengan orang asing.”
Hakim mengangguk sekali. Tak ada janji. Tak ada simpati. Hanya satu tatapan yang seolah berkata, baiklah, kalau itu batasnya... mari kita lihat siapa yang jatuh duluan.
****
Hakim bersandar di dinding koridor, tepat di depan pintu menuju koridor VIP rumah sakit, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru gelap yang digulung hingga siku. Kancing atasnya terbuka satu, cukup untuk menampakkan tulang selangka yang kokoh dan kalemnya aroma aftershave yang baru digunakan.
Zivanna sedang di kamar mandi. Mereka bersiap masuk ke ruangan tempat Eyang Pandega dirawat, katanya orangtua Hakim sudah di dalam, dan orangtua Zivanna, Adnan dan Raras sedang dalam perjalanan.
Keheningan koridor rumah sakit sedikit terusik oleh suara langkah kecil yang mendekat cepat.
Hakim melirik ke arah ujung lorong dan mendapati seorang anak laki-laki berlari tergesa-gesa ke arahnya, mengenakan kaus Spiderman dan celana pendek, wajahnya panik setengah mati.
“Om! Om, tolongin aku!” katanya.
Hakim langsung menunduk. “Minta tolong apa?”
Anak itu tampak gelisah, menengok kiri-kanan, lalu membuka mulutnya dan tanpa peringatan memuntahkan seonggok permen karet kenyal yang sudah kehilangan warna, lengket, dan sedikit mengilap.
“Buangin ini dong! Aku takut Mama marah!” katanya dengan nada putus asa, sambil menjejalkan permen karet itu ke tangan Hakim.
Hakim mendadak lumpuh. Tangannya yang barusan menyentuh map perjanjian sakral pernikahan kini menggenggam… air liur rasa strawberry.
Sebelum dia sempat memprotes atau memanggil si bocah, anak itu sudah berlari pergi begitu saja, seolah tak pernah terjadi apa pun.
Dan saat itulah— Klik!
Pintu kamar mandi terbuka, dan Zivanna keluar dengan gaun midi pastel dan ekspresi penuh misi.
“Kita harus masuk sekarang. Tapi ingat, kita harus terlihat harmonis,” katanya mantap. Lalu, dengan gerakan teatrikal penuh keyakinan palsu, Zivanna meraih tangan kanan Hakim dan menggenggamnya erat.
Squelch.
Detik itu juga, wajahnya langsung mengernyit tajam seperti mencicipi sambal expired.
“Apaan ini?!” desisnya, mencoba tetap tersenyum meski gigi nyaris bergemeletuk.
“Permen karet,” jawab Hakim pelan, seperti jenderal yang baru kalah perang.
“Permen apa?! Kam-”
“Kak?”
Zivanna ingin melepas tangannya, ingin kabur, ingin menyumpal tangan Hakim ke dispenser antiseptik terdekat, tapi sebelum sempat beraksi, terdengar suara berat dari belakang mereka. Keduanya refleks menoleh bersamaan.
Adnan.
Sang ayah Zivanna berdiri dengan wajah dingin. Di sampingnya, Raras melangkah tenang.
Adnan mengangguk tipis melihat tangan mereka yang saling bertaut. “Bagus. Kalian sudah berdamai. Eyang Pandega pasti senang.” Lalu ia menepuk pundak Hakim sekali, kuat dan berat seperti cap “Selamat, Kamu Menantu Saya Sekarang. Ayo. Kita masuk bersama.”
“Tangannya gak usah dilepas, biar Eyang senang,” tambah Raras.
“Iya, tidak usah dilepas. Kalian jalan duluan.”
Dengan situasi yang tidak memungkinkan untuk menjelaskan bahwa di antara tangan mereka ada lendir rasa strawberry, Zivanna dan Hakim terpaksa melangkah beriringan.
Kaki mereka selaras. Hati mereka? Jauh. Tangan mereka saling menggenggam. Tapi di antaranya... ada permen karet bekas.
Satu lengket, satu malu, satu pasrah. Awal yang absurd. Awal yang… luar biasa aneh.