“Tapi, Zi….”
“Gak ada tapi-tapian,” ucapan Zivanna memotong Kezia yang tengah berfikir kalimat apa yang pantas diucapkan. “Gue tahu apa yang mau lo bilang.”
“Gak ada yang gak mungkin, apalagi Krisna itu anak Teknik. Pastilah dia ketemu sama cewek mana aja apalagi kalau musim bapalapan sama Universitas lain. Dan karena Tuhan sayang sama lo, dia bikin semuanya terbongkar sebelum kalian sah jadi suami istri. Penggantinya, lo dikasih Om Hakim yang panas ba- Zi! Tungguin napa!” teriak Kezia kesal, segera menyusul langkah sahabatnya.
Entah berapa jam mereka berjalan kaki dibawah sinar matahari, menemui beberapa mahasiswa Teknik yang sedang sibuk skripsi untuk menanyakan apakah tau dimana Krisna? Atau Krisna deket sama cewek mana pas di fakultas sama bapalapan?
Tapi tidak ada yang tahu.
“Zivanna! Ini udah sore! Udah ayok balik. Kita dari pagi nyari info, gak dapet apa-apa. Ini takdir Tuhan, lo ngerti gak sih?”
“Kez!” Zivanna berbalik dan menatap dengan mata marahnya. “Temen-temannya Krisna aja gak percaya Krisna kayak gitu, sampe ninggalin gue pas hari pernikahan padahal mereka tahu dia bucin banget sama gue. Gue yakin dia dijebak atau apalah yang bikin dia terperangkap sama itu cewek.”
Kezia menarik napasnya dalam, dia mendekat dan mengusap bahu Zivanna. “Oke, sekarang istirahat dulu. Lo sakit nanti gak bis acari Krisna. Oke? Lagian, tugas lo belum selesai. Nanti malah lo kejebak sama situasi dimana mau launching produk baru, tapi tugas belum kelar.”
Zivanna menarik napasnya dalam lalu melepasnya pelan, seperti melepaskan semua ego yang mengering di dasar tenggorokan. Ia akhirnya menyerah pada bujukan Kezia dan melangkah masuk ke bangunan setengah terbuka yang berdiri di sisi timur fakultas, tempat mahasiswa seni biasa mengerjakan tugas akhir mereka. Studio prakarya, begitu biasanya disebut, ruang luas berdinding bata ekspos, dengan meja-meja panjang, tumpukan kanvas, tungku pembakar, dan bau khas tanah liat yang basah di udara.
Suasana di dalam studio sore itu tenang. Hanya ada suara kipas industri berputar lambat di langit-langit dan sesekali bunyi gergaji kecil di pojok ruangan. Zivanna meletakkan tasnya di atas meja lalu menatap patung setengah jadi di depannya, dua figur tanah liat yang dulunya ia pahat dengan penuh cinta: seorang lelaki mengangkat seorang perempuan di bawah payung. Lucunya, Zivanna sempat memberi detail kecil seperti bekas cium di pipi si pria. Kini, patung itu terasa seperti ironi hidup yang menjelma nyata.
“Ziv, lo tahu gak, tugas ini harus kelar minggu ini. Habis itu kita langsung bimbingan skripsi. Kalau lo terus ngerasa patah hati, bisa-bisa yang patah bukan cuma hati lo, tapi juga nilai akhir,” seru Kezia sambil meletakkan palet warna di meja sebelah.
Zivanna tak menjawab. Ia hanya duduk, menghela napas panjang lagi, lalu meraih alat pahat kecil dan mulai melanjutkan detail wajah si laki-laki. Tangannya bergetar, tapi ia paksa tetap stabil. Satu lekukan pipi, satu garis senyum. Seolah ia sedang memahat luka di dalam dadanya sendiri.
Di seberang meja, Kezia memiringkan kepala, pura-pura memandangi patungnya sendiri. Lalu… “By the way, gue mikir, lo tuh sebenernya hoki banget dapet Om Hakim.”
Zivanna mendelik dari balik tanah liat. “Kez.”
“Ganteng, tinggi, gagah, punya jabatan. Oke, emang tua dikit. Tapi kan yang penting rasanya muda!”
“Gue gak nanya rasanya apa.”
Kezia cengengesan, tangannya tetap lincah menyapukan cat ke media lukisnya. “Gue tuh serius, Zi. Coba deh pikir. Banyak banget istri di luar sana yang berharap suaminya seseksi itu, apalagi pas pake baju dinas. Ya ampun. Gue aja yang temenan sama lo, tiap lihat dia pengin nyekek diri sendiri saking iri.”
Zivanna menggeram. “Bisa diem gak sih?”
“Bisa. Tapi sayang. Sayang kalo gue gak bilang. Lo tuh dapet durian runtuh, tau gak?”
“Durian busuk.”
“Gak, Zi. Durian mahal. Yang jatuh pas lo lagi kepleset. Trus gak ada yang liat, jadi lo bisa makan sendiri.”
Zivanna melempar tatapan jengah, lalu menyambar ponselnya dan memutar playlist musik klasik yaitu Debussy, favoritnya kalau sudah jenuh. Alunan Clair de Lune mengalir pelan, menyapu ruangan dengan nada sendu yang kontras dengan omelan Kezia.
Kezia mendecak. “Ih, orang lagi puji-puji Om Hakim malah disambut Debussy. Bukannya peluk potensi rejeki nomplok lo!”
Zivanna tidak menjawab semua kalimat Kezia. Ia diam, hanya menunduk menatap patung tanah liat yang belum selesai, jemarinya gemetar mencubit serpihan kecil yang mulai mengering di permukaan. Sorot matanya kosong, bukan karena letih, tapi karena pikirannya tengah ditarik paksa ke satu momen yang terus menghantui.
Satu bulan lalu.
Hakim Rajani Jagatara. Laki-laki yang selama ini dingin dan kaku dalam setiap kesempatan keluarga. Tapi sore itu, pria itu tak seperti yang selama ini Zivanna kenal.
Ia telanjang d**a, tubuhnya kokoh dan berotot, bergerak dalam irama yang terlalu liar untuk disebut penuh kasih. Sorot matanya tajam dan gelap, seperti hewan pemangsa yang tidak ingin berhenti, sementara lengannya menahan tubuh perempuan yang tak bisa dikenali Zivanna, yang meringkuk pasrah di bawah d******i brutal itu.
Punggung Hakim basah oleh keringat, berkilau terkena cahaya lampu kamar yang hangat. Ia menghantam tubuh perempuan itu dengan hentakan dalam, dalam sekali, membuat suara ranjang berderit pelan namun konstan. Bahkan dari balik celah pintu, Zivanna bisa melihat guratan kekuatan yang membentuk otot-otot pinggang hingga ke garis tipis di bawah pusarnya, garis yang bergerak setiap kali ia menekuk dan mendorong lebih dalam.
Suara perempuan itu tercekat, nyaris seperti terisak. Dan Hakim? Tidak berkata apa pun. Hanya mendesah panjang, dalam, seperti mengerahkan seluruh kendalinya di tubuh perempuan itu.
“Aaarggghhhhhh! SHIBALLLLLL!”
“KENAPA SIHHHH?!” Kezia ikut kaget dan menatap sahabatnya kesal.
****
Zivanna menyelesaikan patungnya, Jemarinya kaku menorehkan detail terakhir pada garis lengan si lelaki. Dulu ia memahat ini sambil tertawa, menyisipkan jejak cinta masa depan yang dibayangkannya indah. Kini, tangannya hanya gemetar pelan, seperti sedang merangkai batu nisan untuk mimpi yang telah mati diam-diam.
Jam dinding di studio prakarya berdenting sekali. Pukul sebelas malam. Udara makin lembap, dan angin malam menerobos lewat celah jendela tinggi yang tak tertutup sempurna.
Zivanna menatap layar ponselnya. Sudah dikirimkannya pesan tadi sore, Aku pulang malam.
Pesan itu cuma dibaca, tak dibalas. Tapi tak apa. Karena memang begitulah ritme rumah tangga mereka.
Tiga jam lalu, Kezia sudah pulang. Menyerah pada lelah dan menyisakan Zivanna sendiri di ruangan berdinding bata ekspos ini. Di sekelilingnya, karya mahasiswa lain berdiri dalam bayang-bayang lampu temaram: patung-patung torso, lukisan basah, sisa-sisa palet warna yang mengering di atas meja semen. Sepi. Tapi justru dalam sepi itu Zivanna merasa bisa bernapas sedikit lebih lapang.
Omong-omong soal Eyang, semenjak seminggu terakhir ia menyampaikan dengan suara yang berat bahwa dirinya akan mencoba hidup bersama Kolonel Hakim Rajani Jagatara. Banyak pihak merasa lega.
Eyang Pandega sudah pulang ke Yogyakarta, sembuh, katanya. Orangtuanya Zivanna pun akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan Oma dan Opa Krisna yang kini anehnya berubah jadi mertuanya sendiri ikut menyatakan dukungan penuh. Mereka bilang, "Mungkin seperti ini takdirnya, kamu bersama Hakim. Tenang saja, Ibu dan Bapak masih mencari dimana Krisna berada."
Dan Hakim...
Mereka tidur terpisah. Hakim jarang pulang, dan jika pulang pun, tak lebih dari sekadar mengganti pakaian dinas dan melepas napas panjang di balkon. Dan ya…. Zivanna sebisa mungkin menghindari pria itu, sebab pikirannya selalu kotor.
Besok, ia harus membiarkan patung itu kering alami selama beberapa hari. Setelah itu baru bisa masuk ke tahap pembakaran di tungku keramik.
Zivanna menarik napas dalam-dalam, menyentuh lehernya sendiri seolah ingin memastikan bahwa dirinya masih berdetak. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan ruangan itu... Dan patung cinta yang kini lebih mirip eulogi.
Namun, selalu ada saja yang membuat kesal, mobil coupe milik Zivanna tiba-tiba tidak bisa dinyalakan.
“Jangan bercanda…” gerutunya, menekan tombol start berkali-kali. Nihil. Panel menyala, tapi mesin hanya mendesah lemas dan mati kembali. “Astaga…” Zivanna memukul stir dengan frustasi, lalu keluar dan menendang ban depan mobilnya dengan kesal.
“Kamu kenapa sih?! Ini udah malem! Aku pusing dan lapar! Jangan bikin ak—”
“Zivanna?”
“Aaaa!” Zivanna hampir melompat dari tempatnya. Ia menoleh cepat, dan mendapati sosok tinggi berseragam dinas lengkap berdiri di belakangnya. Sorot mata tajam itu terlihat lebih gelap dari biasanya di bawah sorot lampu taman. “Om?! Ngapain di sini?”
“Cari kamu. Besok siang Ibu akan berkunjung ke rumah. Jadi malam ini, kamu tidur bersama saya. Ayo, kita pulang.”
Zivanna mengedip pelan, menatap Hakim dengan campuran bingung dan dongkol. “Mobil aku mogok,” gumamnya sambil menunjuk kendaraan kesayangannya yang sekarang hanya jadi pajangan.
Hakim mendekat, membuka kap mesin. Ia menyorotnya dengan senter ponsel, tangannya bergerak luwes dan tegas. “Ini masalah alternator. Aki-nya drop. Kamu paksa terlalu lama hidupkan AC saat mesin mati, ya?”
“Jadi salah aku?”
“Bukan salah. Cuma kebiasaan yang buruk.” Hakim menutup kembali kapnya, lalu menepuk tangannya bersih. “Ayo, naik mobil saya. Mobil kamu nanti saya minta orang derek ke bengkel.”
“Mobil Om parkirnya di mana?”
“Basement, dekat gedung rektorat.”
Zivanna akhirnya mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, menuruni tangga menuju parkiran bawah tanah yang sepi. Hanya ada gemericik air dari pipa-pipa bocor dan dengung lampu neon. Udara makin dingin, dan langkah mereka bergaung di sepanjang lorong beton yang kosong.
Namun, langkah Zivanna mendadak terhenti.
Lampu kecil dari kedai es krim yang masih buka di pojok luar kampus itu menyala temaram. Kedai itu… tempat ia dan Krisna sering bergadang, duduk berdua saat rapat BEM hingga dini hari, berbagi rasa lelah dan rencana masa depan yang kini tinggal puing.
Ia mematung di sana. Wajah Krisna melintas sekilas. Tawanya. Sentuhan lembut di punggung tangan. “Zivanna?”
Hakim yang sudah beberapa langkah di depan menoleh, melihat istrinya diam mematung.
“Aku mau beli es krim dulu,” jawab Zivanna pelan. Namun baru dua detik kemudian…... “Hachoo!”
Tanpa banyak bicara, ia membuka jaket militer abu-abu gelap yang melekat di tubuhnya, lalu menyampirkannya ke bahu Zivanna. Hangat dan berat. Jaket itu masih menyimpan suhu tubuh Hakim, dan aroma yang sangat… pria. Kayu vetiver. Kulit maskulin. Keringat samar. Zivanna menahan napas.
“Aku gak perlu jaket,” tolaknya.
“Kunci mobil ada di saku dalam. Tunggu di mobil,” jawab Hakim pendek sambil melangkah menuju kedai.
Zivanna melirik jaket itu, tapi dia tetap menyampirkannya dan mulai melangkah ke arah parkiran bawah tanah. Mobil hitam gagah berdiri sendirian di tengah lorong, pantulannya tajam. Range Rover Sport SVR. Hitam legam. Maskulin. Sama seperti pemiliknya.
Zivanna membuka pintunya, duduk di dalam, dan langsung disergap aroma yang familiar— aroma Hakim. Maskulin. Bersih. Dingin. Tapi ada sisi panas samar yang tak bisa dijelaskan. Seperti bau logam yang baru saja disentuh matahari, bercampur dengan aftershave dan tubuh lelaki yang terlalu gagah.
Untuk menjernihkan pikirannya, Zivanna membuka ponsel dan menyelami galeri melihat foto-fotonya bersama dengan Krisna. Tapi, hal itu malah membuatnya semakin sesak dan sakit kepala. Zivanna berdecak apa yang harus dia lakukan supaya sesaknya hilang, mana ice cream nya belum juga datang.
“Harus teriak ya?” gumam Zivanna saat membaca artikel yang menyarankan berteriak kencang supaya sesak di daada hilang.
Akhirnya Zivanna keluar dari mobil. Parkiran itu sangat luas, dan Zivanna tahu di pojok sana ada kamar mandi tidak terpakai. Karena Zivanna tidak percaya dan tidak takut hantu, maka dia berniat berteriak disana untuk mengeluarkan semua sesak di daadanya.
Tidak takut hantu bukan berarti berani dengan gelap. Zivanna berdiri di depan pintu kamar mandi yang gelap di pojok itu, dia menarik napasnya dalam dan…. “Aaaaa!”
“ARRGHHHH!”
“AAAAAA!” Jeritan Zivanna lantas semakin kencang ketika ada pria kumal keluar dari kamar mandi dan ikut berteriak dan kini malah mengejarnya.
“MUEHEHEHEHEHE!”
“AAAAA! AAAAA! TOLONGGGG! OMMMMM!”
Larinya semakin kencang ketika melihat Hakim. Dan Zivanna kehilangan akal sehatnya, perempuan itu seketika melompat ke arah Hakim dan HAP! Pria itu menangkapnya. “AAAA! AAAA!” dan Zivanna masih berteriak di telinga Hakim.
Pengang sekali telinganya.
“Heh! Pergi kamu!” teriak Hakim pada pria itu. “Pergi!”
“Huuuu hahahaahah takutttt!” teriak pria itu sambil berlari dan tertawa.
Hakim berdecak. “Kamu apakan orang gila itu sampai mengejar kamu?” Tanya Hakim pada Zivanna yang kini masih erat memeluknya layaknya koala.