Semalam itu sangat melelahkan. Mengerjakan tugas hingga larut malam, dikejar orang gila di parkiran bawah tanah, dan harus pulang dengan jantung nyaris copot karena kejadian bodoh itu. Maka begitu tiba di rumah, Zivanna hanya sempat menyambar handuk, mandi sebentar, asal bersih lalu pindah ke kamar Hakim. Bukan karena ingin, melainkan karena permintaan mendesak sang Kolonel. Hari ini, Ibu kandung Hakim dijadwalkan berkunjung untuk melihat kehidupan rumah tangga mereka yang “konon” mulai menerima satu sama lain.
Dan Zivanna, dalam balutan piyama satin tipis, langsung menjatuhkan tubuhnya di sisi ranjang yang menghadap jendela. Tidak peduli lagi. Hakim juga sepertinya masih sibuk di ruang kerjanya, jadi Zivanna bisa leluasa.
Namun, pagi itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya enggan terbangun. Ada kehangatan aneh. Terlalu nyaman. Terlalu… mantap.
Zivanna menggeliat kecil. Lalu menyipitkan mata. Ada suara berat yang terdengar samar di atas kepalanya.
"—ya, latihan gabungan Alfa-Bravo tetap dilanjutkan. Pending untuk zona hijau, tapi Sersan Wirsa diminta siapkan skenario darurat. Kalau radar Sipadan aktif, kita rekalibrasi titik pantau dari utara."
Suara itu... Hakim?
Zivanna baru sadar ada yang ia peluk. Lengan dan pipinya menempel pada sesuatu yang hangat dan kokoh. Bukan bantal. Bukan guling. Tapi…
...otot.
Dadanya mulai berdetak lebih cepat. Tangannya— oh tidak, tangannya! bergelung melingkari pinggang seseorang. Kulit yang ia dekap itu terasa panas, sedikit berkeringat, dan ada bulu-bulu halus tipis yang membuat sensasi seperti kapas terbakar.
Pelan. Pelan sekali, Zivanna membuka mata dan mendongak.
Dan di sanalah, duduk bersandar santai pada kepala ranjang, hanya mengenakan celana pendek warna hitam, dengan perut datar dan garis pinggang V yang mencolok dari sisi tempat Zivanna menempel, pria itu tengah menelpon dengan wajah serius dan nada tak tergoyahkan.
"Siapkan juga laporan tambahan untuk Letkol Rendra. Saya butuh overview posisi perimeter minggu depan sebelum briefing ke Kodam. Jangan lupa titik drop ammo dan sirkulasi UAV. Ya. Saya tunggu jam sembilan. Selesai."
Hakim pun menunduk dan mata mereka bertemu.
Tatapan Hakim datar, terlalu tenang untuk situasi yang sedekat dan setelanjang ini. Sementara Zivanna membeku. Detik itu juga, ia ingin menghilang dari permukaan bumi.
Zivanna menelan ludah. Pelan-pelan, tangannya melepaskan lingkaran malu itu dari tubuh Hakim, lalu bergeser turun dari tempat tidur sebelum pria itu selesai menelpon.
Zivanna melenggang dengan wajah terbakar menuju kamar mandi dalam. Begitu pintu tertutup, ia memutar kran bathtub sampai air menabrak porselen dengan suara deras. Lalu menjatuhkan tubuhnya di depan cermin, menatap bayangannya yang masih merah, masih panik, dan masih berusaha mengatur napas.
"ASTAGA…." teriaknya, tapi tanpa suara. Ia menjerit dalam batin. Bisa-bisanya lo peluk dia, Zi! Lo harusnya jauh-jauh dari dia!
Zivanna abaikan dulu kekesalannya, ia menarik napas dalam, membiarkan uap hangat dari bathub menyapu kulitnya. Aroma chamomile dan citrus dari sabun cair perlahan menghapus jejak kekacauan. Dirinya merendam dalam diam, membiarkan air hangat melingkupi tubuh yang letih dan hati yang tak kalah keruh.
Setelah cukup lama, ia bangkit. Mengenakan bathrobe putih tebal yang menggantung di balik pintu, rambutnya dikuncir asal dengan penjepit kecil berlapis mutiara. Kaki telanjangnya melangkah keluar kamar mandi… dan lagi-lagi ia terpaksa menahan napas.
Hakim berdiri di depan cermin besar, mengenakan seragam PDU I TNI Angkatan Udara, jas biru tua berpotongan militer sempurna, lengkap dengan dasi hitam dan tanda pangkat Kolonel di bahu. Deretan pin dan brevet kehormatan terpampang di d**a kirinya. Ada lambang Skadron Udara, bintang jasa, hingga wing penerbang dengan kilau perak. Tangannya memegang dua lencana terakhir, tampak berusaha memasangnya sendiri.
Hakim tampak seperti potret dari majalah militer elite— tegas, gagah, dan tak tersentuh.
“Ada acara, Om?” tanya Zivanna pelan, mencoba terdengar biasa saja meski nadanya sedikit serak.
“Acara resmi dengan delegasi pertahanan dari Jepang. Saya pulang agak larut nanti,” jawab Hakim tanpa menoleh, masih sibuk dengan pin di tangannya.
Zivanna menatap cermin, lalu mendekat perlahan. “Mau saya bantu?” tawarnya.
Hakim menoleh singkat. “Silakan.”
Zivanna mendekat dan mengambil pin dari tangannya. Namun, begitu mencoba memasangnya, ia harus berjinjit. Badannya yang kecil membuatnya kesulitan menjangkau bagian atas Hakim. Beberapa kali ia mengumpat pelan, membuat Hakim akhirnya tertawa kecil.
“Jangan ngeledek,” desis Zivanna, mendelik kesal.
“Saya tidak meledek.” Tapi tangan Hakim tiba-tiba bergerak meraih pinggang Zivanna, lalu mengangkatnya dengan mudah seperti boneka.
Zivanna memekik kecil. “Om!” protesnya.
“Biar kamu mudah pasangnya,” jawab Hakim meletakan Zivanna di atas ranjang dalam posisi berdiri.
Zivanna mendengus, tapi kembali melanjutkan memasangkan. Jari-jarinya kini lebih mudah menjangkau d**a Hakim, menempelkan pin dengan perlahan dan hati-hati. “Mandi dimana?”
“Kamar mandi yang diluar.”
“Ck, lain kali jangan angkat tubuh aku seenaknya kayak gitu. Aku juga punya kaki, bisa sendiri pindah. Paham gak?”
Hakim hanya diam, menunggu omelannya selesai.
Setelah dirasa hening, baru Hakim berucap, “Ibu saya sudah sampai. Tadi saat kamu masih mandi.”
Zivanna membeku sejenak. “Sudah sampai?!” gumamnya pelan, panik perlahan mulai muncul. “Terus, aku harus panggil beliau apa? Ibu atau Oma nih?”
“Panggil saja ‘Ibu’.”
Zivanna mengangguk kecil. “Dan… aku harus bagaimana?”
“Bersikap seperti biasa saja.”
Zivanna menatap Hakim. Lalu dengan satu tarikan napas, ia menepuk ringan pundaknya. “Sudah selesai,” ucapnya tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya.
Sepersekian detik, bumi tiba-tiba bergetar. Tubuh Zivanna oleg, dia memekik takut, “Ih Om!”
Hakim yang hampir kehilangan keseimbangannya itu tidak sengaja menarik tali bathrobe Zivanna hingga… “Aaaaaa!” Zivanna menjerit, berusaha menutupi tubuhnya lagi, tapi gempa belum selesai hingga… BRUK! Dia jatuh tengkurap di atas Hakim, dengan tubuh Zivanna yang belum sempat ditutupi lagi.
Dan sialnya barhrobenya melorot.
BRAK! “Kalian gak pa…. Astaga Ibu minta maaf!” Pintu kembali tertutup, bersamaan dengan getaran bumi yang selesai. Dan saat itulah Zivanna tersadar kembali kalau tubuhnya di bagian depan tidak tertutup, jadi saat menarik diri, Hakim dengan jelas melihat buah daada montok yang kemerahan tersebut.
Walaupun Zivanna segera menutupnya dan berdiri lalu pergi ke kamar mandi, tapi Hakim masih bisa mengingat detailnya.
Kulitnya sehalus kelopak mawar basah, tak bercela, bersih tanpa sehelai pun bulu, bagai pahatan murni dewi dari marmer lembut. d**a montoknya naik turun karena napas yang terengah, rona kemerahan merambat dari tulang selangka hingga lekuk tersembunyi yang sempat tersingkap. Pinggangnya ramping seperti lekukan pasir yang dibentuk ombak, dan di bawah sana… hanya selintas, namun cukup untuk membuat waktu membeku, sebuah keluguan mungil yang tersembunyi rapi, begitu memikat, begitu mengguncang.
“s**t,” umpat Hakim pelan.
****
Sepeninggalan Hakim yang pergi untuk tugasnya, suasana rumah mendadak menjadi lengang namun damai. Udara wangi vanila dan butter memenuhi dapur, berpadu dengan suara denting peralatan dan tawa kecil dari dua perempuan yang kini berdiri berdampingan di depan oven. Zivanna menggulung lengan bajunya hingga siku, apron krem melingkari pinggang rampingnya, sementara di sebelahnya, Ibu Ratri dengan tenang menakar gula bubuk ke dalam saringan kecil.
“Ziva, tambahkan sedikit lemon zest ya. Biar lebih segar,” ujar Ibu Ratri sambil menunjuk adonan terakhir di mangkuk besar.
“Iya, Ibu,” jawab Zivanna lembut. Aneh, dulu ia memanggil perempuan ini dengan sebutan 'Oma'. Sebagai nenek dari kekasihnya. Dan kini, takdir membalikkan segalanya, ia malah menjadi menantu dari sosok yang dulu memberinya restu dengan cinta yang berbeda.
Mereka berdua tengah mempersiapkan puluhan kue mini dalam bentuk mawar, ide yang datang dari Ibu Ratri sendiri ketika Zivanna bercerita bahwa store skincare miliknya di mall akan menggelar peluncuran serum terbaru. Kue-kue itu akan dibagikan secara gratis untuk pengunjung yang hadir di hari pembukaan.
“Aku gak nyangka Ibu jago juga bikin kue,” gumam Zivanna sambil menata loyang ke dalam oven.
“Dulu sempat jualan kecil-kecilan waktu Hakim masih SMP. Dia gak suka beli jajanan luar, jadi semua harus buatan rumah.” Ibu Ratri terkekeh, lalu menoleh pada Zivanna. “Terima kasih, ya. Masih mau jadi bagian keluarga ini. Padahal, semesta benar-benar mengubah arah hidupmu.”
Zivanna hanya tersenyum kecil. “Kita masih mencari Krisna kan?”
“Oh sayang… Tentu saja, Bapaknya Hakim sampai meminta temannya mencari cucunya itu. Krisna itu pengamat yang baik, dia tahu cara bersembunyi yang benar. Tapi setidaknya dia meninggalkan tanda kalau dia pergi dengan keadaan baik. Mungkin belum waktunya saja dipertemukan. Ibu yakin dia baik-baik saja dengan pilihannya.”
“Wanita lain…”
“Zivanna….,” ucapannya terdengar lembut.
“Tidak apa, Ibu.”
“Tidak, Ibu tahu kamu tidak baik-baik saja, bahkan dipaksa untuk menerima pernikahan dengan Hakim. Tapi…., coba kamu pahami, kalau nanti meskipun Krisna kembali, dia akan tetap bersama wanita pilihannya. Dan Hakim bukan pilihan buruk, dia akan mengganti rasa sakit kamu dengan kebahagiaan, oke?”
Zivanna mengangguk, segera mengalihkan perhatian. “Bagaimana kalau kita buatkan yang strawberry juga, Ibu? Aureka Botanica itu identic dengan strawberry.”
“Ide yang bagus, ayok kita buatkan.” Ibu Ratri bersemangat. “Ibu akan beritahu juga beberapa hal yang Hakim sukai.”
Di sisi lain, Kolonel Hakim Rajani Jagatara tengah menghadiri pertemuan resmi dengan delegasi pertahanan dari Jepang yang digelar tertutup di Gedung Sekretariat Pertahanan Udara, sebuah bangunan berarsitektur modern minimalis di pusat kompleks militer. Ruang konferensi besar itu dipenuhi para pejabat berseragam, percakapan berlangsung dalam bahasa formal, dan layar proyektor menampilkan peta udara serta skema latihan gabungan udara– darat yang akan dilaksanakan bulan depan.
Tapi pikiran Hakim sedikit terganggu. Bukan karena substansi pertemuan, ia bisa memetakan semua koordinat dan strategi dengan mata tertutup, melainkan karena sesuatu yang seharusnya selalu sigap di sisinya justru tak terlihat: Letnan Ardian.
Begitu sesi istirahat dibuka dan para tamu mulai keluar untuk coffee break, Hakim berdiri dari kursinya dan segera keluar ruangan, langkahnya cepat dan tegap menyusuri lorong kantor berpendingin sentral itu. Matanya tajam mencari sosok ajudannya. Baru beberapa meter dari tikungan lorong, dilihatnya Letnan Ardian tergopoh menuju arahnya sambil menenteng kantong kertas cokelat berstempel toko kue.
“Dari mana saja kamu?” suara Hakim terdengar pelan namun mengandung tekanan dingin yang menusuk.
Letnan Ardian berdiri tegak, memberikan hormat cepat. “Mohon maaf, Kolonel. Tadi sempat tertahan saat keluar oleh Mbak Sofia. Beliau... menyampaikan titipan makanan untuk Bapak.”
Hakim tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap bingkisan itu dengan ekspresi wajahnya kaku dan tajam. “Buang itu.”
“Saya mengerti, Kolonel. Saya minta maaf. Tidak akan terulang,” ucap Ardian, masih berdiri tegap. “Mbak Sofia juga menyampaikan bahwa dia akan pergi ke rumah anda. Katanya akan menunggu kepulangan Bapak.”
Sekelebat perubahan tampak di wajah Hakim. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. “Dan kamu membiarkan dia begitu saja?”
“Tapi, Kolonel, sa —”
“Ada kucing di rumah saya,” ucap Hakim kesal. Dia pun mencoba menghubungi Sofia, tapi tidak diangkat. Membuatnya berdecak kesal, bagaimana kalau wanita itu bertemu dengan Ibu dan Zivanna?