Hati yang Retak

1759 Words
Kedatangan Ibu Ratri hari ini tujuannya adalah untuk mengenalkan Hakim lebih dalam pada Zivanna. Tentu saja Zivanna tidak bisa menolak, walaupun dia pernah beberapa kali mendengar cerita tentang Hakim dari Krisna, maupun dari Ibu Ratri sebelumnya. Pria yang dingin itu katanya hanya fokus pada karirnya saja, mengikuti jejak Ayahnya di dunia militer, Hakim mampu meraih pangkat Kolonel dalam waktu yang lebih singkat, bahkan menjabat sebagai Komandan Skadron Operasi Khusus Udara. “Paham ‘kan, Nak?” tanya Ibu Ratri ketika menunjukan cara memijat yang benar. Zivanna terkekeh lalu menurunkan kakinya, sebenarnya sedari tadi dirinya ingin sekali menjauhkan kakinya dari Ibu Ratri. “Iya, Bu, paham.” Karena tidak mau mendengar tentang Hakim lagi, maka Zivanna pun mengajak sang mertua untuk pergi ke mall, untuk berbelanja dan mengunjungi store skincare sambil melihat persiapan pembukaan store baru. Zivanna yang menyetir, pergi ke salah satu mall ternama di Jakarta. Store Aureka Botanica terletak di lantai atas, tepat di antara flagship store Laneige dan Yves Saint Laurent Beauty. Toko itu tidak kalah mewah dengan façade kaca bening berbingkai emas tipis, logo “Aureka Botanica” terukir minimalis dengan huruf serif berwarna rose gold yang memantul lembut cahaya. Di dalamnya, interior didesain dalam palet putih gading dan hijau sage dengan sentuhan kayu maple muda, aroma herbal mewah menyambut setiap pengunjung yang melangkah masuk. Begitu kaki Zivanna melewati pintu otomatis, salah satu beauty advisor langsung menyambut dengan senyum profesional. “Selamat datang kembali, Ibu Zivanna.” “Pagi. Ini Ibu saya,” sahut Zivanna sopan sambil menoleh ke arah Ibu Ratri. “Kami mau lihat progress hari ini. Tolong bawakan satu set Bloom & Firm Series ke office ya. Yang full size.” Office kecil di balik showroom itu cukup tersembunyi, berada di belakang deretan tester table. Ruangan tersebut bergaya kontemporer dengan satu meja kayu ash besar, deretan display produk terbaru, dan layar monitor menampilkan real-time dashboard penjualan daring. Ibu Ratri duduk di sofa empuk sambil memperhatikan isi ruangan. Tatapannya menyapu tiap sudut dengan kagum yang tak disembunyikan. “Ziva… Ibu benar-benar tidak menyangka. Brand kamu besar sekali.” Zivanna tersenyum kecil, membuka dashboard penjualan dari tablet. “Iya, Bu. Kita lagi pilot launching juga di Seoul bulan depan. Masih tahap pre-order sih, tapi lumayan untuk traction awal. Sekarang fokus ke scaling, makanya aku perlu kuatkan product story dan distribusi.” “Tapi jangan lupa, setiap bisnis ada masa jenuh dan kejutan kompetitor. Ibu pernah ikut diskusi RUPS juga, strategi sustainable demand itu penting. Produk kamu unik, tapi Ibu sarankan mulai pikirin juga kolaborasi lintas sektor. Mungkin wellness, mungkin eco-packaging initiative, orang zaman sekarang suka cerita yang punya nilai.” “Kami memang sedang mau audit ulang segmen target dan behavior shift generasi Z. Makanya kemarin aku rebranding tone jadi lebih slow living dan mindful care.” “Tapi tetap, kalau ada yang kamu bingung atau berat, bilang ke Hakim. Dia itu mungkin keras, tapi kepala strateginya jenius. Kalau dia jadi penasihat brand ini, kamu bisa double the growth dalam waktu setahun.” Zivanna terkekeh sebagai balasan. Mereka berdiskusi cukup lama sebelum akhirnya berbelanja, makan bersama di mall, itu semua dibayarkan oleh mertuanya. Dan Ibu Ratri meminta diantar membeli hadiah untuk suaminya yang masih sedih atas kepergian Krisna sampai sekarang. Setelahnya, Ibu Ratri pamitan, dijemput oleh sang sopir sementara Zivanna memilih untuk tetap di mall hendak kembali ke store nya. Kembali berjalan sendiri menggunakan escalator, dan disanalah dia melihat toko buku yang penuh oleh orang-orang. Dan seseorang yang tidak asing dimatanya. “Adek!” teriak Zivanna membuat adiknya yang memakai seragam SMA itu menoleh. “Kakak!” Alesha berlari mendekati Zivanna. “Ngapain disini?” “Mama didalem, biasa lagi tanda tangan,” ucap Alesha. “Mau ketemu Mama, mau ngasih tau aku dapet nilai bagus, Kak.” “Yaudah masuk aja.” “Susah, padet banget. Jadinya nanti dirumah deh, hehehehe. Aku mau maen sama temenku. Bye, sist,” ucapnya mengecup pipi Zivanna sebelum pergi. Zivanna menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya itu. Mamanya disini. Zivanna ingin sekali menemuinya, sebab seminggu terakhir ini sangatlah susah. Zivanna tahu Mamanya sangat sibuk dengan peluncuran buku barunya, tapi dalam lubuk hatinya Zivanna masih ingin mengeluhkan kehidupan rumah tangganya walaupun sang Mama tidak tahu kebenarannya. Setidaknya Zivanna ingin sang Mama memeluknya. Maka dari itu, Zivanna memaksakan diri masuk ke dalam, mencari celah melihat antrean menuju seorang Raras yang tengah menandatangani buku para penggemarnya. Untunglah salah satu staff mamanya mengenali Zivanna dan membiarkannya mengambil jalan pintas untuk mendekati sang Mama. Disana, sang Mama sedang istirahat sejenak, tengah minum dan melirik melihat kedatangan Zivanna. Sebelum Zivanna berkata apa-apa, Mamanya lebih dulu menggeleng. “No, Mama sibuk.” Membuat Zivanna langsung terdiam. Selalu seperti ini, harusnya tidak aneh. *** Zivanna terdiam di store, membiarkan aroma sage dan lavender dari diffuser menguar lembut ke udara malam yang mulai dingin. Rasa sakit di d**a belum surut. Penolakan Mamanya barusan, sesederhana ucapan singkat, kembali menoreh luka lama yang belum sembuh. Sudah sejak kecil, Zivanna tahu, ia bukan prioritas utama dalam hidup orang tuanya. Ibunya, Raras Ayuningrat —penulis ternama dan aktivis budaya— selalu sibuk dengan jadwal peluncuran buku, seminar sastra, atau resepsi kedutaan. Ayahnya, seorang pemilik jaringan siaran berita nasional, hampir sepanjang hidup menghabiskan waktu di luar rumah. Zivanna dan adiknya, Alesha, tumbuh lebih akrab dengan para pengasuh dan guru les daripada pelukan orang tua kandung. Namun dulu, Zivanna tidak terlalu merasa kehilangan. Ada Shava, kakaknya. Kakak perempuan yang 11 tahun lebih tua itu dulunya seperti matahari dalam hidup Zivanna: hangat, pemberani, dan tak pernah membiarkannya merasa sendiri. Hingga hari itu —sepuluh tahun lalu— Shava menghilang dari rumah setelah memilih kawin lari dengan seorang pria musisi jalanan, menolak perjodohan yang telah disiapkan keluarga besar. Kepergian Shava mengguncang segalanya. Sejak itu, nama kakaknya tak pernah disebut lagi di meja makan. Dan sekarang, Krisna pun pergi. Lelaki yang sempat menjadi tambatan harapan Zivanna itu hilang tanpa kabar, meninggalkan luka serupa. Zivanna mengembuskan napas panjang, menatap jam digital di sudut ruangan. Pukul delapan malam. Ia bangkit pelan, merapikan blouse dan mengambil tas. Dengan senyum tipis, ia berpamitan pada dua staff terakhir yang masih mengecek stok gudang. “Aku duluan, hati-hati pulangnya ya,” ucapnya tenang. Langkahnya membawa dirinya kembali ke basement mall, memasuki mobil dan memacu kendaraannya menyusuri lampu-lampu kota yang mulai lengang. Di dalam mobil, hanya suara AC dan desah napasnya sendiri yang terdengar. Setibanya di rumah, gerbang terbuka otomatis, dan mobil Zivanna meluncur masuk ke garasi. Seorang penjaga bernama Mang Darto, lelaki paruh baya yang biasa menjaga sisi rumah itu segera berjalan mendekat membukakan pintu. “Terima kasih, Mang,” ucap Zivanna, sambil melangkah keluar. Namun matanya menatap ragu ke arah ekspresi Mang Darto yang tampak hendak berkata sesuatu. Alisnya terangkat. “Ada apa?” tanyanya pelan. Mang Darto mengerjapkan mata, terlihat ragu, lalu menggeleng cepat. “Enggak, Non. Gak ada apa-apa.” Zivanna sempat diam sejenak, tapi memilih tidak menekan lebih jauh. “Ya sudah. Istirahat aja, Mang.” Ia melangkah ke dalam rumah. Lampu-lampu bagian dalam temaram. Di dapur, pelayan rumah tampak sedang membereskan meja makan. Seorang perempuan muda bernama Lastri menoleh ketika melihat kedatangannya. “Selamat malam, Non.” Zivanna mengangguk. Tapi matanya tidak luput menangkap raut gugup dari Lastri. “Ada sesuatu?” tanyanya lagi. Lastri membuka mulut, namun kemudian menutupnya. “Eh... enggak, Non. Gak apa-apa kok.” Zivanna hanya mendesah pendek. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia lelah menebak-nebak. Ia pun melangkah menaiki tangga ke lantai dua. Ujung gaunnya menggesek lantai marmer yang dingin. Lorong kamar terasa senyap. Tapi saat tiba di depan kamarnya sendiri, pintu itu terbuka. Zivanna mengerutkan kening. Langkahnya melambat. Siapa yang masuk? Kenapa tidak ditutup? Hening. Hanya suara jam dinding dari lorong belakang yang terdengar. Tubuhnya menegang, napasnya menahan dalam, dan ujung jari tangannya mengepal perlahan sebelum mendorong pintu lebih lebar— Dan tidak disangka, di dalam kamarnya ada seorang wanita. Duduk angkuh di tepi ranjang, kaki disilangkan, mengenakan gaun midi hitam dengan belahan paha tinggi, lengkap dengan jaket kulit dan stiletto mencolok seakan hendak menghadiri pesta malam. Usianya mungkin awal tiga puluhan dengan kulit putih terang dengan riasan tajam, dan gaya yang terlalu mencolok untuk berada di kamar orang lain tanpa izin. Zivanna membeku. Tapi bukan karena takut, melainkan karena marah. Itu dia. Perempuan yang waktu itu ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, b********h dengan Hakim dalam cahaya temaram rumah itu. Sosok yang membekas dalam ingatannya seperti noda yang tak pernah hilang. Dan kini, duduk seenaknya di kamarnya, memandang Zivanna dari ujung kepala sampai kaki, dengan senyum miring seolah sedang mengejek boneka porselen murah. “Kenapa pulangnya telat, hmm?” suara perempuan itu lembut namun tajam, seperti selendang sutra yang menyayat kulit. “Aku sampai bosan nungguin suamimu.” Zivanna mengepalkan tangan, napas naik-turun menahan ledakan. “Keluar dari kamarku.” “Tenang, Sayang. Aku cuma mau kenalan.” Perempuan itu berdiri pelan, memutar tubuhnya dan melangkah mendekat ke meja kerja Zivanna. Jemarinya yang bercat merah darah membuka salah satu laci tanpa izin dan menarik sebuah buku sketsa milik Zivanna. “Kamu harus tahu siapa pemilik rumah ini sebenarnya. Kamu dan Hakim hanya terjebak ‘kan? Kamu harus tahu kalau Hakim punya aku seorang.” “Keluar dari sini atau aku jambak rambutmu yang penuh kutu!” “Apa ini? Sketsa kamu?” tanyanya dengan nada mencibir, membalik-balik halaman seolah sedang membaca majalah gosip di salon murahan. “Kembalikan, dasar jalang!” bentak Zivanna, melangkah cepat dan menarik rambut panjang wanita itu dengan paksa. Wanita itu menjerit kesakitan dan kaget tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. “Keluar! Ini kamar gue!” teriak Zivanna penuh amarah. Ia menyeret perempuan itu keluar kamar tanpa ampun, walau sepatu hak tinggi perempuan itu mencakar lantai, mencoba bertahan. Tapi Zivanna tidak peduli. Di sepanjang lorong, jeritan “Aduh!” dan “Lepasin, sakit!” menggema namun tidak ada satu pun pelayan berani muncul. Dan tepat saat Zivanna melemparkan tubuh si perempuan ke lantai koridor, suara langkah berat bergema dari arah tangga. Sepasang sepatu militer berhenti tepat di depan mereka. Zivanna mendongak, itu Hakim. Pria itu berdiri, tinggi dan dingin seperti biasa, mengenakan setelan kaus hitam dan celana training. Tatapannya turun dari tubuh wanita yang kini tergeletak berantakan di lantai, ke tangan Zivanna yang masih mengepal. “Kalau kamu punya kekasih, hormati ruang pribadiku. Jangan biarkan dia menyentuh satu milimeter pun barang-barangku, apalagi masuk ke tempat tidurku,” ucap Zivanna dengan suara serak tapi tajam, penuh tekanan. Matanya bersinar karena emosi, bukan air mata. BRAK! Pintu kamar ditutup kasar. “Hakim…,” panggil wanita itu. Hakim mengepalkan tangannya kasar. “Hentikan obsesi gilamu ini, atau kamu berakhir di penjara, Sofia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD