Kebenaran

1754 Words
Tok! Tok! Tok! “Non, saya bawakan teh Melati dan kue kering rasa almond. Tolong buka pintunya.” Zivanna yang masih membereskan barang yang sebelumnya disentuh wanita aneh itu mengerutkan kening. Dia membuka pintu dengan tatapannya yang masih tajam. “Saya gak minta, Mbok.” “Bapak yang minta, suruh dibuatkan ini untuk Non, mungkin Bapak khawatir.” Zivanna menghela napas dan mempersilahkan Mbok Pelayan masuk membawa nampan berisi makanan. Tatapan Zivanna tidak lepas dari pelayan tersebut hingga dia mendengar suara jeritan wanita, bukan jeritan kesakitan tapi jeritan marah. Maka Zivanna melangkah ke ujung koridor dimana disana ada ruangan santai terbuka yang mengarah langsung ke pinggir rumah, tapi dari arah sana juga bisa terlihat gerbang dimana Hakim tengah menarik paksa wanita yang tadi masuk ke kamar Zivanna seenaknya. “Mas Hakim!” teriakannya terdengar ke telinga Zivanna. “Aku udah kasih semuanya ke kamu! Kenapa kamu gak bisa terima hati aku dan malah menikahi wanita lain, Mas!” “Berhenti membuat keributan, Sofia. Atau saya benar-benar akan melaporkan ini. Kamu masih berseragam, Sofia. Kalau kamu tidak bisa membedakan tugas dan obsesi pribadi, jangan salahkan kalau saya kirim laporan ke Dinas Kesehatan dan bawa namamu ke meja etik militer. Cukup satu memo dariku, karier kamu selesai.” Sofia terdiam, daadanya naik turun dan air mata berlinang. Terlihat kembali memohon, tapi Hakim dengan dingin dan tegasnya menyatakan dia akan menyelesaikan karir Sofia, Hakim punya bukti, katanya. Kalau Sofia masuk ke rumah Hakim tanpa izin. Itu yang membuat Zivanna terdiam. Tanpa izin? Bukankah mereka b********h begitu panas kala itu? “Non,” panggil Mbok Pelayan mengejutkan Zivanna. “Itu makanan dan minumannya sudah didalam. Ada yang perlu saya bantu lagi tidak?” “Masss!” suara itu kembali terdengar dibawah, membuat kerutan di kening Zivanna semakin jelas. “Itu Mbak Sofia, Non. Beliau dokter di Rumah Sakit Militer, di Lanud tempat Bapak bekerja,” jelas si Mbok memperkuat rasa penasaran Zivanna. “Pacar Om Hakim?” “Bukan, Non, bukan pacarnya. Tapi yang suka sama Bapak, bahkan saya dengar kalau dokter Sofia bergabung dengan Perwira Prajurit Karier karena Bapak, padahal sebelumnya memiliki klinik kecantikan ternama.” “Masa sih bukan pacar, Mbok?” “Bukan, Non, dokter Sofia memang suka Bapak. Dulu sih cuma kirim barang, makanan, ya perhatian seperti itu. Tapi beberapa bulan terakhir ini sering keluar masuk rumah ini.” “Terus Om Hakim izinin?” “Dia kesini tanpa pemberitahuan, pas Bapak sedang dinas. Bilangnya ada vitamin yang harus Bapak minum atau apalah, jadi kami izinkan juga. Tapi sebulan terakhir ini Bapak memang menegaskan untuk tidak mengganggu lagi, bahkan mengancam, semuanya berawal dari kejadian satu bulan lalu.” “Kenapa memangnya, Mbok?” Zivanna semakin penasaran, kan sebulan yang lalu dirinya melihat Sofia dan Hakim b********h! Masa mereka tidak pacaran, masa tidak dekat atau apa, soalnya sampai… ya mengganggu kepala Zivanna. “Toleransi Bapak terhadap alkohol itu rendah, sepertinya Bapak diajak minum. Saya juga gak tahu apa yang terjadi, yang jelas saat saya datang pagi harinya ada banyak botol alkohol di dapur, lalu Bapak juga sangat marah dan mengusir dokter Sofia yang ternyata menginap, bahkan tidur di kamar Bapak. Saya gak tahu apa yang terjadi, sepertinya… namanya juga wanita yang terobsesi, Non, pasti lakukan apa saja ‘kan?” Sofia terdiam, apa Sofia menjebak Hakim kala itu? Sampai segitunya? “Jadi tolong jangan ditanggapi ya, Non. Dokter itu memang agak gila dengan obsesinya, suka sekali dengan Bapak. Saya juga tidak tahu cerita lengkapnya bagaimana, tapi sejauh yang saya tahu kalau Bapak sama sekali tidak menyukai wanita tersebut.” Zivanna menghembuskan napasnya kasar. “Mbok mau pulang sekarang?” tanya Zivanna mengalihkan pembicaraan, sudah cukup rasa penasarannya terpuaskan. “Iya, Non.” Si Mbok memang pulang ketika malam hari, rumahnya tidak jauh dari sini hanya saja memutar karena masuk gang. Sejak bekerja 10 tahun lalu bersama Hakim, memang pelayan di rumah selalu dipulangkan saat malam, kemungkinan karena Hakim pulang larut dan ingin leluasa di rumah. Kecuali penjaga dan sopir yang standby dan tidur di bangunan terpisah. Jadi Zivanna tidak mau mengganggu kebiasaan Hakim, toh si Mbok juga akan datang pagi hari setelah subuh. “Sini dulu, Mbok,” ajaknya ke dalam kamar. Bukan hanya buku sketsa yang disentuhnya, tapi parfume dan beberapa skincare miliknya. Jadi Zivanna berikan pada si Mbok, tidak dengan buku sketsa karena cukup penting. “Buat Mbok.” “Loh, Non?” “Gak papa, bawa ya. Aku mau mandi dulu. Makasih teh nya.” “Sama-sama, Non. Saya yang terima kasih sudah diberikan semua ini,” ucapnya sambil tersenyum mendpatkan papperbag tersebut. Zivanna melangkah santai ke kamar mandi. “Kalau ketemu sama Hakim, bilangin jangan ganggu saya ya, Mbok.” BRAK! Pintu kamar mandi tertutup. Si Mbok pun berbalik hendak keluar kamar, tapi dia berhenti sejenak melihat Hakim yang berdiri disana. “Pak… anu… kata si Non tadi….” “Gak papa, saya dengar kok. Saya akan tunggu dia disini,” ucapnya melangkah masuk dan duduk di sofa dekat jendela. Si Mbok pun buru-buru pamit, membiarkan dua orang dalam ikatan rumah tangga itu menyelesaikan permasalahannya. **** Zivanna berendam di kamar mandi. Uap tipis dari air hangat perlahan menipis, menyisakan aroma bunga kamboja yang menggantung samar di udara. Ia memejamkan mata, membiarkan air menyentuh kulitnya yang mulai mengerut halus, sementara di kepalanya, masih terngiang sosok wanita tak tahu malu yang duduk sembarangan di ranjang miliknya. Zivanna terkekeh lirih. “Gila,” gumamnya. “Perempuan itu gila.” Tapi dia sama sekali tidak takut. Tidak gentar. Bahkan tidak terganggu. Justru merasa geli. Hakim sudah cukup jelas memberikan Gambaran bahwa Sofia bukan siapa-siapa. Dan kalau wanita itu berani masuk kamarnya lagi, bahkan mendekati barang pribadinya lagi, maka... Dia akan memotong lehernya sendiri dengan riasan darah paling elegan yang pernah ada di lantai marmer rumah ini. Zivanna menyandarkan kepalanya ke pinggiran bathtub, membiarkan air mendingin perlahan. Detak jam digital terdengar samar dari rak sudut ruangan. Ia kehilangan hitungan waktu. Begitu dingin mulai menggigit ujung jari kakinya, Zivanna pun mengangkat tubuhnya pelan. Kulitnya mengilap oleh air dan pantulan cahaya lampu gantung berwarna tembaga. Dingin, tapi rasanya ringan. Sampai ia menoleh dan— “Astagaaaa!” desisnya panik. Handuk! Ia lupa menaruhnya! Tentu saja— handuknya ada di atas ranjang! Ia memandangi tubuhnya sendiri. Telanjang sepenuhnya. Kulitnya kemerahan karena lama berendam. Putih pucat seperti porselen, lembut, segar... dan kini terbuka untuk siapa pun yang mungkin melihat. Tapi tidak ada siapa pun. Ini kamarnya sendiri. Ia membuka pintu kamar mandi dengan santai, udara malam langsung menempel di kulitnya yang basah. Ujung rambutnya meneteskan air ke lantai. Dan disanalah, di ambang pintu yang setengah terbuka, tubuh Zivanna berdiri tanpa busana, masih basah oleh sisa-sisa hangat air rendaman yang mengilap di kulitnya. Kilau lembut itu membingkai siluetnya bagai lukisan hidup dengan leher jenjang, bahu yang tegap anggun, hingga lekuk tubuhnya yang ramping namun memikat. Kulitnya seputih porselen, merona halus di beberapa titik, dengan pucuk-pucuk payudaranya memerah manja tersentuh udara malam yang sejuk. Aroma sabun dari kulitnya menyeruak samar, seperti kabut wewangian yang menyesatkan, membuat keberadaannya seakan bukan sekadar nyata, melainkan ilusi yang menggoda imajinasi paling dalam. “AKHHHHHHHHH!!” Zivanna berteriak sekeras-kerasnya. Matanya membelalak. Dalam satu gerakan refleks, tangannya meraih benda terdekat yaitu sebotol parfum kaca dan melemparkannya lurus ke arah Hakim yang tengah membatu. BRAK! Hakim yang berdiri hanya dua meter dari pintu kamar mandi langsung menangkapnya dengan refleks seorang tentara. Tangannya cekatan, tapi ekspresinya panik. “Maaf! Maaf! Saya gak tahu kamu— Astaga!” ucapnya sambil segera memalingkan wajah dan melangkah mundur cepat-cepat. “Keluarrrrrr!!!” teriak Zivanna, masih menutupi tubuhnya dengan tangan seadanya, pipinya memerah karena marah dan malu sekaligus. “Mau aku jambak juga?! Masuk kamar orang sembarangan!!!!!!” “Maaf,” balas Hakim dari balik punggung, suaranya juga tinggi, tapi tidak melawan. Tapi jelas, nadanya gugup. Zivanna mengerang kesal, menendang pintu kamar mandi dan berteriak kesal. Sementara itu di bawah, Hakim turun dengan langkah tergesa. Ia membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral, meminumnya langsung dari botol, tiga teguk, empat... napasnya tersengal. Pagi tadi, gempa mengguncang dan ia melihat tubuh Zivanna. Dan sekarang? Zivanna keluar kamar mandi tanpa sehelai pun... Hakim menggosok wajahnya keras-keras. Tapi bayangan itu masih ada. Tubuh putih yang basah, rambut panjang yang meneteskan air... lekuk yang seharusnya tidak boleh ia lihat, tapi sudah terukir di kepalanya. Sementara di atas, Zivanna menjerit sambil menarik handuk dan mengeringkan tubuhnya kasar. “Dasar koloooooneeel!” geramnya, wajahnya merah padam. Zivanna memakai bajunya dengan tergesa, merasa tidak aman untuk sekarang. Niatnya, Zivanna akan mengurung diri di kamar sampai besok, enggan bertemu dengan Hakim. Namun, tenggorokannya agaknya kering, sepertinya butuh sesuatu seperti ice cream ketimang teh hangat. Dan Zivanna pun terpaksa kebawah, dan sudah dia duga dari arah tangga bisa melihat keberadaan Hakim di dapur. Tentu saja Zivanna memasang wajah sinis pada pria itu, mengabaikannya seolah tidak ada. “Zivanna, saya minta maaf.” “Gak punya, minta aja ke orang lain,” ucap Zivanna cepat, sinis dan juga malas melihat wajah Hakim.Zivanna mengambil ice cream di kulkas dan membawanya ke sofa di ruang keluarga dan duduk disana. Hakim melangkah mendekat yang seketika membuat Zivanna melirik tajam. “Ngapain? Ck, jauh-jauh napa, Om, besok aja kita ngomongnya.” Namun Hakim mengabaikan, pria itu duduk di sofa lain dekat Zivanna. “Saya mau jelaskan ten—” “Hoekk! Ih Basi!” Zivanna menatap ice cream ditangannya dengan kesal. Hakim terkekeh melihat ekspresi itu. “Ayok beli ice cream keluar, sebagai permintaan maaf.” “Gak mau,” jawabnya singkat. “Berhenti ganggu aku.” Hakim hampir kehilangan ide untuk membujuk Zivanna, sampai dia melihat di sisi sofa dekatnya, ada papper bag? Apa isinya? Hakim pun meraihnya dan itu… mainan kuda poni kecil? Ada tombol on-off, Hakim menyalakannya dan meletakan kuda di atas meja. Seketika kuda itu bergerak menggoyangkan pantatnya sambil bernyanyi. Dan dapat Hakim lihat kalau Zivanna tertarik, matanya melirik. “Kamu boleh memiliki ini kalau mau beli ice cream dengan saya.” Zivanna berdecak, dia malas pada Hakim. Tapi…. Itu kuda pony limited edition dari GirlGroup Korea yang dia suka! Kenapa Hakim memilikinya? “Mau tidak?” “Oke! Ini punya aku sekarang.” Zivanna mengambil boneka itu lalu berdiri dan melangkah cepat menuju tangga. “Mau kemana?” “Ganti baju dulu,” jawabnya dengan nada lebih ceria, kakinya bahkan melompat-lompat beberapa kali. Hakim terkekeh melihat itu, sampai getaran ponsel mengalihkan perhatiannya. Dia melihat pesan yang dikirimkan oleh ajudannya. “Kolonel, maafkan saya. Saya salah Alamat mengirimkan boneka kuda milik anak saya ke Alamat anda. Saya akan mengambilnya besok.” Hakim terdiam sejenak, tapi…. Biarlah dia ganti, yang penting sekarang Zivanna berhenti menatapnya sinis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD