Mimpi Basah

2064 Words
Akhirnya mood Zivanna sedikit membaik dengan makan ice cream. Sendok kecil itu terus-menerus menyuapi lidahnya dengan sensasi manis dingin yang membelai langit-langit mulut. Setiap gigitan gelato rasa hazelnut pistachio seolah menjeda semua drama dan kekacauan emosi yang baru saja terjadi. Ternyata benar, es krim memang lebih efektif daripada teh melati untuk meredakan ledakan hormon dan rasa malu. Hakim duduk di seberangnya. Tidak menyentuh menu. Tidak menyentuh sendok. Bahkan tidak memesan apa pun. Hanya duduk diam, tangan bersilang di d**a, punggung tegak sempurna seperti latihan parade. Matanya tajam menyapu situasi kedai yang cukup ramai di sudut mall Jakarta Selatan ini tapi fokusnya tak pernah benar-benar pergi dari Zivanna. "Kalau cuma duduk dan ngeliatin, kenapa nggak sekalian berdiri dan jaga pintu masuk, Om?" sindir Zivanna, menatapnya tajam dari atas es krimnya. "Atau kamu pikir ini lagi briefing tempur?" Hakim menghela napas pelan. Nada berat, rendah, dan sangat terkendali. "Saya minta maaf." "Yang mana?" Zivanna mencondongkan tubuhnya, bibirnya sinis. "Daftarnya banyak. Coba sebut dulu. Awas kalau kamu skip satu pun." Hakim menatapnya dalam-dalam. Tatapannya bukan tatapan defensif, bukan juga marah. Hanya lelah, dan mungkin... sedikit bersalah. "Maaf untuk semuanya. Termasuk... Sofia. Dan—" Ia sempat ragu. "Dan juga karena... melihat tubuhmu tanpa izin." Zivanna langsung menghentikan suapan es krimnya. Wajahnya menegang. Napasnya tercekat. "Berhenti." Hakim diam. Zivanna meraih tisu dan pura-pura mengelap bibirnya, padahal wajahnya mendadak panas seperti terbakar uap setrika. "Jangan lanjutkan bagian itu." Ia berdehem pelan, lalu menyipitkan mata. "Sekarang... jelaskan soal Sofia." Hakim mengangguk sekali. "Sofia adalah adik tingkat saya. Saya tidak pernah menjalin hubungan dengan dia. Tapi sejak awal, dia memang... menunjukkan ketertarikan berlebihan. Bahkan mengikuti saya dan dia masuk jalur militer kesehatan." "Jalur apa?" sela Zivanna. "Karier militer sebagai dokter. Dia masuk lewat jalur Prajurit Karier, dan saat ini berpangkat Kapten CKM— Corps Kesehatan Militer," jelas Hakim, masih tenang. "Kapten." Zivanna mengulang, lalu mencibir. "Berarti cukup tinggi, ya?" "Dia memang pintar," kata Hakim, lalu menambahkan, "Tapi pintarnya tidak cukup untuk menahan diri dari obsesi." Zivanna bersedekap. "Dan kamu menolak semua itu karena...?" "Sederhana. Saya tidak punya perasaan apa pun," jawab Hakim lugas. "Hmm..." Zivanna mendongak sedikit. "Kalau nggak punya perasaan, kenapa perempuan itu bisa masuk ke kamar aku? Terus kata Mbok pernah nginep pula? Jangan bilang kamarnya bisa dibuka siapa aja?" "Dia nekat." Suara Hakim mengeras, tapi tetap tenang. "Dia tahu risiko. Saat itu saya tidak sadar— dan pagi harinya saya langsung usir. Tidak ada hubungan. Tidak ada persetujuan. Tidak ada perasaan. Titik." Zivanna memperhatikan pria di hadapannya. Terlalu kaku. Terlalu presisi. Tapi juga terlalu jujur, sejujur-jujurnya tentara. "Toleransi alkohol kamu... rendah ya?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Hakim menggeleng pelan. "Tidak rendah. Tapi juga tidak tinggi. Saya bisa menenggak dua atau tiga botol, cukup untuk tetap sadar dan kontrol. Tapi jika saya sampai kehilangan kendali... saya curiga ada yang lain." Zivanna tidak menanggapi. Tidak langsung, setidaknya. Tapi dalam kepalanya, kesimpulan sudah muncul seperti puzzle yang otomatis menyatu: Berarti perempuan itu... benar-benar mencampur sesuatu ke minuman Hakim. Untuk membuatnya lumpuh? Tidak sadar? Astaga. Mereka kembali diam. Hanya ada suara musik instrumental dari kedai gelato dan suara mesin espresso di balik bar. Hingga keheningan dan diamnya mereka teralihkan oleh dua perempuan muda yang duduk di bangku belakang, membicarakan dengan antusias soal serum pencerah dari Aureka Botanica. “Yang edisi emas itu, loh! Katanya cuma launching di event besok?” ujar salah satu dari mereka. “Iya, tapi di online udah sold out! Gila sih, packaging-nya mewah banget, kayak produk luar negeri!” Zivanna tersenyum kecil, tak sengaja menoleh ke arah mereka. Kedua perempuan itu lalu bangkit dan meninggalkan kedai dengan langkah ringan tanpa menyadari bahwa perempuan yang mereka bicarakan duduk tak jauh dari mereka. “Brand kamu sudah sebesar itu sekarang,” gumam Hakim akhirnya, setelah lama hanya menatap Zivanna diam-diam. Zivanna mengangguk, menyendok sisa es krim yang hampir mencair. “Dalam waktu satu tahun, aku akan memperluas cakupan distribusi ke Korea Selatan. Target utamaku konsumen urban women, usia dua puluh lima sampai empat puluh. Mulai dari Seoul, lalu ekspansi ke Busan dan sekitarnya.” “Langkah yang strategis,” komentar Hakim singkat. “Tapi pastikan kamu punya waktu istirahat. Akan lebih berat kalau kamu sibuk di luar negeri.” Zivanna menatapnya lurus. “Memang itu tujuanku dari awal. Menyibukan diri, memperbesar Brand sampai aku bisa tinggal di Korea selatan…” Alis Hakim terangkat pelan. “Om, masih cari Krisna ‘kan?” “Masih.” “Kalau nanti aku ketemu sama dia, terus gak berjalan dengan baik, aku mungkin bakalan menetap di Korea.” Namun belum sempat ia bicara, Zivanna menyisipkan satu kalimat yang terdengar seperti peringatan, “Kamu gak lupa, kan? Apa pun yang terjadi, kita akan cerai setelah satu tahun.” Ucapan itu mengendap di udara seperti kabut tebal yang menutupi langit-langit percakapan mereka. Hakim menahan napas, lalu mengangguk perlahan. “Saya ingat. Selalu.” Dan di sanalah perbincangan itu berakhir. Di antara sendok kosong dan kursi yang dingin, dua orang yang disatukan oleh pernikahan yang tak pernah dimaksudkan menjadi abadi, duduk dalam kesunyian yang tak lagi sama. *** “Ihhhhh! Lo ngapain beli beginian?!” Hakim terkejut saat Zivanna tiba-tiba masuk ke salah satu Adventure store, disana Zivanna mendekati salah satu pengunjung. Sepertinya sahabatnya, jadi Hakim memilih mengikutinya saja. “Jelasin gak, Kez!” “Ish! Tenang dulu napa, gue mau hiking sama anak-anak Paduan suara.” “Resmi?” “Enggak sih, Cuma berempat yang geng si Wiwi itu,” jawab Kezia sambil melirik ke arah Hakim disana. “Hallo, Om,” sapanya. “Saya Kezia.” “Hakim, suaminya Zivanna.” “Ih, kok lo gak ajak gue sih?!” Zivanna masih fokus pada protesnya tidak mempedulikan Hakim disana, membuat pria itu mengatakan dirinya akan menunggu di bangku luar. “Itu laki lo ih dianggurin gitu, nanti digaet janda baru tahu rasa.” “Kezia!” “Astagaaaa! Iya gue gak ajak lo soalnya kan lo gak suka hiking, dan kita mau ke Gunung Silawan.” “Gunung apa? Kok gue baru denger?” “Gunung Silawan, di Jayapura. Ini gak banyak yang tahu, Cuma penduduk local. Gue kesana perlu inspirasi, temennya si Wiwi pernah kesana dan danaunya cantik banget. Jadi perjalanan ini menantang, Zi, lo aja gak bisa renang. Gue takut lo kenapa-napa.” Zivanna menggeleng. “Gue bakalan ikut, emang kapan perginya?” “Zi…” “Gue gak bisa lama-lama dirumah itu, harus nyari kesibukan. Kepala gue mau pecah tiap kali liat Om Hakim.” “Emang dia ngapain lo?” Zivanna terdiam, tidak mungkin dia mengatakan kalau kepalanya dipenuhi gagahnya Hakim, ditambah mimpi basah itu selalu menghampirinya setiap kali Zivanna terlelap. Meskipun tahu kalau Hakim berada dibawah kendali alkohol dan obat dari Sofia, tapi tetap saja Zivanna panas dingin dan sakit kepala jika mengingatnya. “Gak ngapa-ngapain, gue bisa stress aja. gue kangen Krisna, gue masih nangisin dia sama cewek lain, mana dihamilin pula. Gue gak bisa sendirian, masa lo tega?” Dan Kezia menghela napasnya dalam. “Nanti lo ngerepotin gue disana.” “Enggak ya!” “Yaudah belajar renang aja dulu, berangkatnya juga lima hari lagi kok.” “Okey! Gue akan belajar dengan giat, jangan lupa masukin gue ke group, gue tau kalian pasti punya groupnya.” Ucap Zivanna dengan ancaman. “Lo…. Iyadah iya, tuh kasihan Om Kolonel udah nungguin lo, udah sana, nanti beneran digembol cewek lain.” Kezia mendorong Zivanna sampai di depan pintu keluar. “Ini istrinya, Om, maaf lama ya. Silahkan kalian lanjutkan jalan-jalannya.” Zivanna mendengus melihat Kezia yang langsung masuk. “Pulang?” tanya Hakim. Zivanna mengangguk. “Pulang.” Perjalanan pulang sepi. Tak ada percakapan, hanya bunyi mesin dan suara rintik hujan yang mulai turun membasuh jendela mobil. Zivanna menyandarkan kepala di kaca, memandangi kelap-kelip kota Jakarta yang seperti tak pernah benar-benar tidur. Lampu jalan, gedung-gedung tinggi, dan siluet kendaraan lain yang melintas perlahan mengabur oleh kelopak matanya yang berat. Hakim meliriknya dari kursi pengemudi. Perempuan itu... akhirnya tertidur. Wajahnya lembut, jauh dari ketus atau sinis seperti biasanya. Rambutnya menjuntai menutupi sebagian wajah, napasnya teratur. Bahkan saat tidur pun Zivanna terlihat begitu... penuh jarak. Tapi juga rapuh. Saat mobil memasuki area perumahan, hujan turun semakin deras. Hakim memarkirkan kendaraan di garasi, mematikan mesin, lalu menoleh kembali. Ia membuka pintu pelan, lalu mengitari mobil. Dengan kehati-hatian seorang tentara yang terbiasa membawa luka-luka dari medan perang, ia membuka pintu penumpang dan membungkuk. “Zivanna…” bisiknya pelan, tapi tak ada respons. Perempuan itu benar-benar tertidur. Maka dengan satu tarikan napas panjang, Hakim mengangkat tubuh Zivanna ke dalam pelukannya. Beratnya ringan. Ia membawa Zivanna masuk ke dalam rumah, menyusuri lorong-lorong gelap yang sudah terlalu dikenalnya, lalu membuka pintu kamar dengan kaki. Cahaya temaram dari lampu sudut cukup untuk membimbingnya. Ia membaringkan Zivanna perlahan ke atas ranjang, melepaskan sepatunya satu per satu, menata kakinya supaya nyaman, lalu menarik selimut sampai batas pinggang. Dia tidak menyentuh lebih dari itu. Hanya menatap sejenak, seperti memastikan bahwa perempuan itu benar-benar tidur, benar-benar baik-baik saja. “Selamat malam,” bisiknya lirih. Hakim lalu berdiri, melangkah pelan ke pintu, menutupnya dengan bunyi klik nyaris tak terdengar. Dan kamar itu kembali sunyi. Namun tanpa Hakim ketahui, Zivanna tengah tersiksa dalam mimpinya. Perempuan itu kembali merasakan sentuhan yang terlalu nyata, terlalu panas, dan terlalu familiar. Ia tahu ini hanya mimpi, tahu tubuhnya tak bisa bergerak, namun setiap sentuhan itu membuatnya mendesah. Lidahnya kelu, tapi napasnya tidak bisa dibohongi. Dadanya naik turun dengan liar saat suara desahannya menggema di ruang kosong pikirannya. Hakim. “Hhhh… shhh… ahhh…” Iya, Hakim yang ada dalam mimpinya. Pria itu muncul dalam kabut pekat, menghampiri dengan tubuh telanjang setengah basah, mata kelam dan penuh hasrat seperti malam itu. Tapi kini, tak ada kebekuan. Tak ada jarak. Hakim menarik tubuhnya dengan satu tarikan tajam, dan tanpa kata, menghentak masuk ke dalam miliknya— membuat tubuh Zivanna melengkung, terkejut, dan menangis tanpa suara. “Aaahhh!” “Tenang, Sayangku…” Ia menciumi leher Zivanna perlahan, menjelajah d**a dan perutnya dengan bibir, seolah setiap inci kulitnya adalah kitab suci yang wajib dibaca dengan lidah. Hakim menggenggam pinggulnya erat, lalu mengubah posisi mereka. Ia mendudukkan Zivanna di atas pangkuannya, masih dalam pelukan panas mimpi dan membuat Zivanna sendiri yang menggerakkan pinggul, naik turun, menyesuaikan kedalaman dan arah kenikmatan itu. “Aaaaaa!” Zivanna membuka matanya seketika. Kenapa mimpi itu muncul lagi? dan… dia dikamar sekarang? Apa Hakim yang membawanya kesini? “Terkutuklah Hakim,” umpat Zivanna bergegas bangun, Zivanna keluar dari kamar ketika dia melihat jam menunjukan pukul satu malam. Oke, sekalian mendinginkan badan dan pikiran, sekalian dirinya belajar berenang saja. Zivanna mengenakan kaos dan celana pendek, dia masuk ke kolam renang di halaman belakang itu. Dari bagian paling dangkal, Zivanna mencoba tenang kemudian dia menenggelamkan diri. Ingin berhenti dihantui mimpi itu, mimpi yang membuatnya menderita dalam tidur hanya karena dia tidak sengaja mengintip. Dia benar-benar lelah dengan mimpi itu, dia lelah tubuhnya yang… bertolak belakang dengan pikirannya. Dirasa kehabisan napas, Zivanna pun berusaha meraih udara lagi. Tapi kakinya malah terpeleset ke bagian dalam, merosot hingga Zivanna terus meronta mencari udara, tubuhnya lemas, pikirannya kalut, inikah akhirnya? BYUR! Sampai Zivanna melihat sesuatu yang datang, lalu meraih tubuhnya. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” “Hei, hei, tenang. Kamu aman,” ucap Hakim ketika Zivanna terisak dan memeluknya dengan erat. Hakim berenang ke tepi, lalu mengangkat tubuh Zivanna supaya duduk di pinggir kolam. “Tidak apa, Zivanna. Saya memegang kamu. Duduk dulu,” ucapnya ketika Zivanna enggan melepaskannya. “hiks…. Hiks…” “Sudah, jangan menangis. Kamu selamat.” “Takut….” Hakim mendekat, berada diantara kaki Zivanna yang refleks melingkar di pinggangnya ketika Hakim mengelus punggung kembali menenangkan perempuan itu. “Lagian kenapa kamu berenang malam-malam.” “Hiks… aku mau belajar…. Hiks… mau ikut temenku hiking… hiks…” kepalanya bersandar di bahu Hakim tanpa sadar. “Sudah tahu tidak bisa renang, malah masuk sendirian. Setidaknya ada yang menemani kamu. Kalau saya sudah tidur, kamu sudah tidak tertolong.” “Jangan marahin,” rengeknya kesal. “Hei, jangan nangis lagi, Zivanna. Iya saya tidak marah. Tapi lain kali jangan begini lagi. saya ajari mau?” “Om kan sibuk.” “Saya sudah ambil cuti. Memang sudah waktunya istirahat dulu.” “Yaudah, ajarin,” rengek Zivanna. Dan dia baru sadar mengatakan itu ketika Hakim berhenti mengelus punggungnya. Tunggu, posisi mereka sekarang berpelukan, dengan Hakim masih berdiri di dalam kolam, sedangkan Zivanna duduk di pinggiran kolam. Mana Zivanna baru sadar kalau Hakim tidak memakai atasan! Bagaimana ini!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD