Bab 3. Hanya Dianggap Pelayan

890 Words
Hanya hati yang bisa berkata, mulut tetap terkunci saat suaminya bertanya dengan pandangan remehnya. Tapi sampai kapan Qiana selalu berdiam diri, dan menerima segala aturan yang dibuat oleh suaminya? Lantas, apakah salah seorang istri kedua ingin merasakan disayang, dicintai, dihargai oleh suaminya? Walau di luar sana wanita yang menjadi istri kedua itu ibarat seorang pelakor yang mengganggu rumah tangga orang. Namun, di sini Qiana bukanlah pelakor, ia ada di sini karena diminta, bukan karena keinginan atau rasa sukanya pada Azka. Dan tidak mudah menjadi sosok Qiana, ia bertahan dalam pernikahan yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Dan lagi-lagi ia melakukannya pun karena balas budi pada keluarga sepupunya yang telah membantu ibunya saat mengalami sakit jantung. “Jangan coba minta izin lagi dengan alasan ingin kuliah! Tidak ada namanya kuliah!” jawab Azka dengan tegasnya. Qiana menyipitkan matanya, dengan beraninya ia menatap pria itu. Rasanya sudah cukup selama dua tahun hanya diam, tak berkutik. “Tuan yang telah menjanjikan pada saya jika setelah Tiara berusia dua tahun lebih, saya boleh melanjutkan pendidikan. Saya hanya menagih janjinya saja. Dan tenang saja, Tuan ... saya tidak akan minta uang sepeser pun untuk biaya kuliah saya. Saya bayar sendiri!” tegas Qiana tanpa ada rasa takut pada pria itu. Pria itu berdecak kesal, wajahnya tampak mengeras mendengar gadis itu berani menjawab. Padahal selama ini, istri keduanya lebih banyak menjawab ya atau diam. “Berani juga ya kamu berbicara seperti ini. Kamu itu hanya pelayan di sini dan tidak perlu pakai kuliah. Emangnya kamu tuh mau jadi apa di luar sana ... heh! Selamanya kamu akan tetap mengurus Tiara dan melayani kebutuhan saya!” bentak Azka dengan begitu tinggi suaranya, sehingga gadis itu sempat memejamkan matanya dan menolehkan wajahnya ke samping demi menghindari tatapan Azka yang begitu tajam. Qiana mengepalkan kedua tangannya, hatinya bergemuruh. Kata ‘pelayan’ yang dilontarkan suaminya memperjelas statusnya yang selama ini hanya tertulis di atas kertas. “Hanya pelayan,” gumam Qiana pelan, sembari ia meluruskan pandangannya ke depan. “Ya, memang hanya pelayan! Memangnya mau apa lagi! Mau jadi Nyonya di sini! Tak akan bisa, karena Diana’lah nyonya di sini! Istri saya yang sesungguhnya!” seru Azka dengan menajamkan matanya. Qiana menyunggingkan senyum tipisnya. “Baiklah saya hanya seorang pelayan, kalau begitu tolong ceraikan saya sekarang juga. Dan saya akan bekerja menjadi pelayan di sini!” pinta Qiana dengan lantangnya. Bukankah ini sebuah kesempatan bagi gadis itu untuk melepaskan ikatan pernikahannya, dan semakin jelas rules apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak ia lakukan. Rahang pria itu mengetat, dadanya yang begitu atletis tampak mengeras. Langkah pria itu semakin mendekat dan Qiana tidak bisa lagi melangkah mundur, tubuhnya sudah membentur tembok. “Apa ... cerai! Kamu minta bercerai dengan saya! Saya juga ingin sekali Qiana! Tapi saya terjebak dengan permintaan kedua orang tua dan kakek saya yang menginginkan kamu jadi menantunya!” hardik Azka dengan tatapan matanya yang begitu tajam, seakan ingin menghujam lawan bicaranya. Gadis itu mendesis pelan, sembari memutar malas bola matanya. “Saya tidak peduli! Cerai'kan saya! Apalagi pernikahan kita hanya secara agama, tidak pernah terdaftar secara negara. Tidak susahkan mengurusnya,” balas Qiana dengan santainya, lalu ia berusaha menggeser tubuhnya ke samping agar keluar dari hadangan pria itu. “Akh!” Qiana tersentak, tubuhnya kembali membentur tembok, lantas kedua tangan pria itu bertopang pada dinding. Tubuh gadis itu terkungkung dan terkunci. “Mau ke mana! Saya belum selesai bicara! Dan kamu pagi ini sudah banyak berbicara dengan saya, sudah semakin pandai kamu rupanya!” hardik Azka tampak mulai murka. Lagi, Qiana memberanikan diri menatap pria itu yang begitu intim posisinya, padahal selama ini Azka selalu menjaga jarak dengannya, tidak pernah sedekat ini. “Tapi saya sudah selesai berbicara dengan Tuan. Hanya tinggal menunggu jatuh talak dari Tuan! Saya permisi. Dan tolong menjauh'lah dari saya hadapan saya yang hanya seorang pelayan,” balas Qiana, terlihat kalau ia tak gentar menghadapi suaminya. Azka mengertaknya giginya dalam rahangnya yang mengatup keras, pembuluh darah di kedua sisi rahangnya berdenyut akibat menahan amarahnya yang mulai bergolak. Entah mengapa pagi ini benar-benar marah pada gadis itu. Biasanya ia tidak akan mempermasalahkan Qiana mau melakukan apa pun selama masih berada di lingkungan mansion, tapi untuk kali ini tidak. “Kamu tuh mau bikin saya marah-marah!” Qiana mendesah, lalu memalingkan wajahnya dari tatapan garang suaminya. “Tatap wajah saya, Qiana!” perintah Azka penuh emosi. Gadis itu tidak mengindahkan permintaan suaminya, lagi pula buat apa memandang wajah Azka. Tadi saja ia ditegur saat menatap, lalu sekarang ia disuruh menatap. Aneh! “Qiana!” seru Azka, dengan terpaksa ia mengapit dagu gadis itu agar kembali lagi menatap wajahnya. Pandangan mereka pun bertemu. “Bukankah tadi Tuan menyuruh saya untuk menjaga pandangan saya? Lalu kenapa saya diminta untuk melihat Tuan?” tanya Qiana pelan. “Akhh!” Qiana meringis kesakitan saat pria itu justru mencengkeram dagunya kembali. “Jangan memutar balik perkataan saya, Qiana! Sudah cukup kesabaran saya diuji sama kamu pagi ini! Mood saya semakin kacau. Saya paling tidak suka perintah saya tidak didengarkan. Dan kamu tahu'kan apa akibatnya jika melawan saya,” balas Azka sedang menunjukkan kekuasaannya. Qiana mendesis pelan. “Saya tidak takut dengan ancaman itu, tunjukkan saja akibatnya, Tuan Azka yang terhormat. Sudah cukup saya diam dan terlalu mematuhi suami yang rupanya menganggap saya sebagai pelayannya di— Akhh!” jerit Qiana, ia menutup matanya. Bersambung ... ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD