Bab 2. Tidak Pernah Tidur Seranjang

903 Words
Mansion Azka sudah mulai terasa hening suasananya, beberapa pekerja sudah ada beberapa yang beristirahat di paviliun belakang. Qiana sebelum kembali ke kamar Tiara yang selama ini menjadi tempat ia beristirahat, tampak mengendap-endap menelusuri koridor lantai dua hingga ke ujung. Kemudian, langkahnya terhenti di pintu berwarna putih. Ia tampak dia terpaku dalam waktu beberapa detik, setelah itu tangannya memutar handel pintu tersebut. Aroma disinfektan sangat menyengat saat pintu itu terbuka, suara monitor detak jantung terdengar jelas di telinga gadis itu. Dan hampir setiap hari Qiana mendengarnya, jika harus memanggil suaminya. Namun, sebelum ia memanggil hatinya amat pilu setiap melihat wanita yang amat cantik berbaring di atas ranjang dengan segala alat medis yang menempel dalam tubuhnya. Siapakah wanita itu? Diana Syauqia, ibu kandung Tiara, saudara sepupu Qiana. Wanita itu setelah melahirkan Tiara mengalami koma, hingga sampai saat ini belum siuman. Azka yang begitu mencintai istrinya memutuskan membuat ruang khusus menyerupai ruang ICU untuk istrinya di mansionnya, dan sudah tentu ada dokter dan perawat yang menjaganya setiap hari. “Permisi Tuan, maaf mengganggu, baju gantinya sudah saya siapkan di kamar,” ujar Qiana tanpa harus masuk lebih dalam ke dalam ruangan khusus tersebut. Azka yang baru saja mengecup pipi Diana menolehkan wajahnya ke ambang pintu. “Mmm,” gumam Azka dengan dinginnya. Qiana tidak berkata lagi, dan memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Cepatlah bangun, Kak Diana. Suamimu sangat mencintaimu, Kak Diana, dan aku ingin lepas dari semua beban ini, Kak,” batin Qiana memelas. Qiana mendesah pelan, seraya ia kembali untuk mencoba tersenyum meski rasanya begitu getir. *** Keesokan hari, dan seperti hari-hari sebelumnya. Qiana mengurus putri sambungnya, meski ada nanny-nya tapi tetap baby cantik itu tugas utama Qiana yang ditugaskan oleh Azka dan kedua orang tua Diana. Lucu bukan, ia dinikahi oleh Azka bukan untuk dijadikan istri sebagaimana mestinya tapi lebih sebagai baby sitter anaknya. Padahal bisa saja tidak terjadi pernikahan, cukup pekerjakan Qiana sebagai baby sitter anak sepupunya, sehingga tidak ada dua orang yang berdosa, terluka, dan terbebankan dalam pernikahan paksa tersebut. “Udah cantik anak Mama nih, waktunya sarapan ya. Tapi sekarang anak Mama sama Mbak Dilah dulu ya, Mama mau siapin baju papa dulu,” ujar Qiana tersenyum hangat, lalu mengangkat putri kecilnya dari atas kasur. “Mamam ... mamam,” celoteh Tiara dengan bibir mungilnya mengerucut. “Iya Sayang, nanti mamam,” balas Qiana sembari memberikan Tiara pada nanny-nya. “Langsung ke bawah saja ya Mbak, saya mau ke kamar sebelah,” pinta Qiana. “Baik, Non.” Sebelum ke kamar utama gadis itu menarik napasnya dalam-dalam. Usai itu, barulah ia bergegas ke kamar utama. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar utama yang memang oleh Azka sengaja tidak dikunci agar Qiana mudah untuk menyiapkan kebutuhannya saat di pagi hari. Langkah kakinya pun begitu pelan bagaikan jalan di atas awan, tak bersuara. Rupanya sang pemilik kamar sudah tidak ada di atas ranjang. Qiana tersenyum getir, hatinya menduga jika suaminya pasti tidur seranjang dengan istri pertamanya seperti biasanya. Lantas, dari pada ia terus memikirkannya lebih baik menjalankan tugasnya agar cepat selesai, dan keluar dari kamar utama. Qiana tampak memilih satu setel jas kerja warna abu-abu serta kemeja putih polos, kemudian tidak lupa pakaian dalamnya. Usai itu ia taruh di salah satu meja yang ada di ruang walk in closet, barulah ia keluar dari ruangan tersebut, tapi .... “Eh.” Qiana terkejut saat berpapasan dengan Azka yang rupanya baru saja keluar dari kamar mandi yang hanya mengenakan handuk putih menutupi bagian pinggang ke bawah. Gadis itu menelan ludahnya susah payah saat melihat ciptaan Allah yang begitu sempurna itu. “Jaga pandangan kamu, Qiana!” tegur Azka yang menangkap pandangan mata gadis itu ke arahnya. “Eh, ya.” Qiana langsung menundukkan pandangannya. “Bajunya sudah saya siapkan, Tuan,” ujar Qiana sebelum keluar dari ruang walk in closet. “Mmm.” Azka bergumam sembari menuju meja. Qiana yang semula ingin keluar, baru teringat sesuatu, kemudian ia berbalik. “Tuan, hari ini saya izin untuk pergi keluar. Ada beberapa keperluan yang harus saya kerjakan,” ujar Qiana memberitahukan. Pria itu yang baru saja mau memakai kemejanya terpaksa menolehkan wajahnya. “Pergi ke mana? Ada urusan apa di luar! Kamu itu tugasnya hanya mengurus Tiara dan tidak ada urusan di luar sana!” tanya Azka begitu ketusnya, tidak ada sedikit intonasi yang lembut padanya. Qiana tersenyum kecut, dipandangnya sosok pria yang berstatus suami di atas kertasnya itu. “Tampaknya Tuan Azka lupa, sekarang Tiara sudah berusia dua tahun lebih. Di atas perjanjian pernikahan kita dulu, Tuan akan memperbolehkan saya untuk melanjutkan pendidikan saya yang sempat tertunda. Maka dari itu, saat ini saya ingin mengurusnya. Lagi pula saya juga tahu diri, karena tidak selamanya saya akan mengurus Tiara dan tinggal di sini,” balas Qiana memberanikan diri berkata seperti itu. Azka menyunggingkan senyum miringnya, mata elangnya semakin menajam saat menatap istri keduanya. Sorot matanya tampak berkilat. Dan pria itu tampak melangkah menuju ambang pintu. “Oh, kamu mau kuliah? Udah percaya diri sekali kamu tidak akan tinggal di sini lagi ... hem?” tanya Azka, pelan tapi penuh penekanan. Qiana dengan matanya yang awas melangkah mundur saat pria itu mengikis jarak. “Sudah cukup selama ini aku hidup dikekang olehmu bagaikan tersangka di sini, tuan Azka. Kini, sudah waktunya aku harus keluar dari ruang yang tak pernah aku inginkan. Aku tak bisa berdiam diri lagi selama di sini. Karena aku tahu ... aku tidak bisa berharap apa pun dalam pernikahan ini.” Bersambung ... ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD