FS • 03

608 Words
INI keputusannya. Dia memilih mengambil jalan ini hanya agar ia bisa lebih dekat dengan sosok yang ia cintai. Love tidak muluk-muluk, dia hanya ingin dekat dengan pria itu, karena ia tahu, dia tidak bisa memilikinya. Sama seperti namanya, Lion itu singa, singa liar yang selalu kelaparan dan buas, karena tak seorang pun dapat mengendalikannya. Bahkan, singa itulah sang Raja yang menindas semua wanita agar tunduk patuh sampai sedia membuka semua pakaiannya. Lav tersenyum tipis. Dia mengirim pesan pada Lion seraya berjalan menuju halte bus. Cowok itu pasti tahu jika Lav akan berada di sana, terlebih setelah menolak ajakan pulang bersama dari Tama. Tak lama kemudian, ia melihat mobil Lion berhenti di depannya. Mobil mewah yang selalu berhasil membuat Lav merendah. "Masuk," kata itu hanya dibalas dengan gerakan. Lav masuk mobil dan Lion segera membawanya menjauh. "Kita mau ke mana, Li?" "Apartemen gue." Lagi dan lagi, Love selalu ditampar dengan kenyataan kasta mereka yang beda jauh. Dia hanya manusia biasa, sedangkan Lion berasal dari keluarga kaya raya. Melihat diamnya Lav memang bukan yang pertama kalinya, tapi Lion sedikit mengerti apa yang sedang dipikirkan wanita itu sekarang. Mereka telah saling mengenal dua tahun lamanya, ada banyak hal yang mereka tahu dari diri masing-masing. Keburukan serta kebaikan, bagi seorang teman, dua hal itu sudah seperti hal yang wajar. Sesampainya di apartemen, Lion langsung menarik tangan Lav agar bergegas menuju unit kamarnya. Masuk, lantas mengunci pintu. Lion menatap Lav yang kini hanya menunduk, sebelum dia berdeham keras guna menyadarkan perempuan itu. "Duduk dulu, mau minum sesuatu?" "Air putih." Lion melihat Lav duduk di sofa, jemari tangannya memainkan ujung-ujung kausnya yang membuat cowok itu mendengkus kecil. 'Kalau lo ragu, kenapa lo mau?' batinnya sedikit mengumpat. Dia kembali dengan dua gelas air putih. Lion duduk di sebelah Lav, tangannya merogoh sesuatu dari tas kuliahnya dan mengeluarkan dokumen yang kemudian dia sodorkan pada Lav. "Surat perjanjian, lo harus tanda tangan." Lav mengamati kertas itu dan mulai membaca isinya. Surat perjanjian tertulis saat Lav menjadi 'teman tidur' seorang Lionel Abraham selama dua tahun ke depan. Persyaratan yang menyatakan jika Lav harus tinggal di apartemen Lion dan kenyataan, bahwa Lion akan membayar sekian ratus juta setiap bulan padanya sebagai kompensasi atas tubuhnya yang diberikan pada Lion secara suka rela. Lav menelan ludah susah payah. Dia memang kesulitan mencari biaya untuk kuliah lantaran ia sedang diusir dari rumah. Lav dicoret dari daftar nama keluarga, dikucilkan, dan tak dianggap keberadaannya, apalagi sejak Lav secara terang-terangan menolak perjodohan yang telah diatur oleh ayahnya. "Kalau lo ragu, lo bisa mundue——" Lav membungkam bibir pria itu dengan gerak cepat, dia mengeluarkan pulpen dan segera menandatangani surat itu tanpa banyak bertanya. "Sudah, kan? Gue bakal mindahin barang gue ke sini besok pagi, gimana?" Lion mengerling, menatap surat yang lebih dulu tertera tanda tangannya di sana. Di sana, kini sudah dibumbui tanda tangan perempuan gila di sampingnya. Cowok itu memejamkan mata, menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. "Oke." Tanpa banyak bicara, Lion mulai mendekatkan tubuhnya. Matanya menatap tajam Love yang hanya diam membatu di tempat duduknya. "Kita mulai semuanya dari sekarang. Lo nggak bisa mundur lagi, Lav, lo tahu itu, kan?" Love tersenyum tipis. Tangannya terangkat, mengalung di leher Lion dan mulai meremas helai-helai hitam di kepala lelaki itu. Dia baru tahu jika rambut Lion begitu halus, tidak ada minyak rambut yang biasa dipakai lelaki lain dan hal itu membuat rambut Lion begitu menyenangkan saat disentuh. "Jangan terlalu senang," gumam Lion, sebelum menyatukan bibir mereka. Ciuman pertama di antara keduanya yang berlangsung sekilas. "Semuanya baru berawal." Lav hanya bisa memejamkan mata kala Lion menjamah tubuhnya, mengecup bibir dan semua kulit telanjang yang kini terpampang di depan mata. Love hanya bisa diam dan pasrah, menerima dan menikmati semuanya dengan mata terpejam. Walau sakit yang ia rasakan saat itu terasa begitu tidak nyaman, tapi Lion berhasil membayarnya dengan rentetan kenikmatan tiada batas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD