POV Anyelir
“Ferdi!” seruku, terkejut sekaligus senang melihat kedatangannya. Seperti melihat kawan yang sudah lama tak jumpa dan akhirnya bisa berjumpa kembali, begitu lah yang aku rasakan sekarang ini.
Pria ini terlihat semakin gagah dan tampan. Ferdi pasti sangat bahagia dengan pernikahannya. Ya, tentu saja, karena yang kutahu Ferdi menikah dengan seorang gadis cantik yang sangat serasi dengannya. Aku sempat mencari tahu di sosial media Ferdi tentang Ferdi dan keluarga kecilnya. Istri dari pria ini bernama Widya, gadis Jawa yang sangat ayu yang sudah melahirkan tiga orang anak untuk Ferdi.
“Kamu apa kabar, Anyelir?” tanya Ferdi begitu dia berdiri di hadapanku.
“Aku baik, Ferdi. Seperti yang kamu lihat sekarang,” aku tersenyum cerah seperti dirinya.
“Alhamdulillah. Bisa kita berbincang, Anyelir? Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu.”
Aku berpikir sejenak lantas memandang taksi daring yang masih menungguku dan memandang Ferdi yang juga menatapku dengan tatapan memohon.
“Tapi, aku harus segera pulang. Anak-anakku sudah menungguku di rumah.”
“Boleh aku bertemu mereka?”
“Ta—pi, Ferdi … aku single parent sekarang. Jadi ….”
“Aku tahu soal itu. Marta yang memberitahuku. Maka dari itu aku memberanikan diri menemuimu sekarang,” ujar Ferdi yang membuatku menundukkan wajah, menahan malu.
“Tapi, apa Widya tahu kamu datang kemari, Ferdi? Aku tidak ingin dia salah paham nanti.”
“Banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Salah satunya tentang Widya. Dan Widya pun tahu aku datang menemuimu sekarang,” jelas Ferdi yang membuatku bertanya-tanya.
Istri mana yang mengizinkan suaminya untuk menemui wanita lain?
Kami akhirnya pulang bersama dengan kendaraan masing-masing. Bahkan Ferdi sangat tahu diri dengan tidak bersedia masuk ke dalam rumah. Pria itu memilih untuk duduk di teras rumah, seraya memandangi langit sore.
“Mama, mau menikah lagi?” pertanyaan tersebut terlontar dari bibir Lathif ketika aku tengah menyiapkan sajian untuk Ferdi.
Gerakan tanganku yang tengah mengaduk kopi pun seketika terhenti. Kutatap wajah murung Lathif yang tengah menatapku.
Aku tersenyum agar membuatnya tenang, lalu kusentuh pipi putra pertamaku ini. “Sayang, Om Ferdi adalah teman Mama. Beliau datang kemari karena ingin bersilaturahmi. Itu saja,” terangku padanya.
“Tapi nanti lama-lama pasti Mama akan menikah dengan dia, kan?” tanya Lathif lagi dengan nada tidak suka yang tak coba ditutupinya.
“Kenapa Lathif bisa menyimpulkan seperti itu?”
“Karena Mama tidak pernah mengajak teman pria Mama ke rumah sebelumnya. Dan Om Ferdi adalah pria pertama yang Mama ajak kemari setelah Mama berpisah dengan Papa.”
“Sayang.” Kupeluk Lathif seraya menahan tangis.
Aku sangat paham perasaannya. Seorang anak pasti menginginkan sebuah keluarga yang utuh. Dan meskipun orang tuanya telah berpisah, seorang anak pasti tidak menginginkan orang tua sambung untuk melengkapi hidupnya. Karena bagi mereka sosok ayah atau ibu kandungnya tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
“Jangan berpikir seperti itu. Mama dan Om Ferdi hanya teman. Om Ferdi juga sudah menikah, jadi Mama tidak mungkin menikah dengan Om Ferdi.”
“Tapi waktu itu Papa juga masih menikah dengan Mama, tapi malah nikah lagi sama Tante Kinan.”
Itu karena Papamu bodoh, Nak. Tapi tentu saja, kalimat itu hanya kugumamkan di dalam hati.
“Itu karena ….”
“Lepas, Kak. Aku mau ketemu sama dia! Lepas!” Suara teriakan dari seseorang terdengar hingga ke dapur ini dan memutus apa pun yang hendak kukatakan pada Lathif.
Bergegas aku, Mbak Tuti dan Lathif menuju halaman depan. Tak kusangka, di pelataran sana kudapati Kinanti tengah coba ditenangkan oleh Adi. Kinanti terlihat mengamuk dan ingin memuntahkan amarahnya padaku, entah karena apa.
“Lathif sama Reza diam di kamar sama Mbak Tuti ya,” perintahku yang segera diangguki oleh Lathif. “Lathif jagain Adik Reza ya.”
Aku segera menghampiri Kinanti dan Adi yang masih berdebat di tepi jalan. Ferdi yang sejak tadi mengkhawatirkanku, mengekoriku.
“Ada apa, Kinan? Kamu ingin menemui saya, bukan?” tanyaku tanpa senyuman pada perempuan yang sudah menghancurkan rumah tanggaku ini.
“Ah, Kak Anyelir sudah di sini rupanya.” Kinanti tersenyum angkuh padaku. “Dan ini, bukannya Bang Ferdi ya? Yang dulu mau nikah sama Kak Anyelir tapi batal karena Kakak ….”
“Stop Kinan!” Adi kembali membentak perempuan itu.
“Kenapa sih, Kak? Memang begitu kenyataannya, kan?” Kinanti merajuk dan menampilkan ekspresi manjanya yang membuatku mual.
Dulu aku menganggap ekspresi tersebut adalah hal lumrah, karena Kinanti memang sangat dekat dengan Adi. Namun setelah kutahu jika Kinanti menggunakan jurus itu untuk menarik simpati Adi, aku tak pernah lagi menganggap perempuan itu sebagai adik angkat yang harus kusayangi. Kinanti tak lebih dari rubah licik yang tak perlu dikasihani.
“Iya, beliau adalah Bang Ferdi. Mantan calon suami saya dulu,” tegasku.
“Oh, jadi Kak Anyelir dan Bang Ferdi mau balikan lagi?” Kali ini Kinanti menampilkan senyumnya yang terlampau lebar. “Bagus lah kalau begitu, jadi Kak Adi nggak perlu repot-repot kasih uang bulanan banyak-banyak untuk Kak Anye.”
“Kita pulang sekarang, Kinan!” Adi sudah hendak menyeret Kinan namun adik dari Melati ini bersikeras tak ingin beranjak dari sini.
“Aku masih mau bicara dengan Kak Anye, Kak. Kakak pulang saja duluan sana!”
“Kita pulang sekarang atau aku tidak akan pernah pulang lagi ke rumah!” Adi mengancam istrinya, membuatku cukup terkejut akan perubahan sikapnya pada Kinanti sekarang.
Padahal dulu, Adi selalu bersikap lembut pada Kinanti. Tapi mengapa sekarang pria itu terlihat berubah? Tatapannya pada Kinanti seperti sedang menatap musuh bukan seperti sedang menatap pada istrinya. Hal ini mengingatkanku pada tatapan Adi dulu padaku, di saat kami masih terikat pernikahan poligami bersama Melati.
“Kenapa sih, Kakak selalu mengancam begitu? Nggak ada ancaman lain apa?”
“Ada. Tapi pasti akan membuatmu menangis darah jika aku mengatakannya.”
Kinanti mendengkus kasar lalu kembali bicara padaku. “Kak Anye, tolong ya, jangan minta barang-barang mewah lagi sama Kak Adi. Termasuk minta-minta mobil. Kakak kan sudah jadi mantan, jadi ….”
“Pulang!” Kali ini Adi menyeret Kinanti dengan kasar dan membuat perempuan itu menghentikan apa pun yang ingin diucapkannya padaku.
Adi sudah membuka pintu mobil, ketika aku menghentikannya.
“Tunggu,” perintahku yang membuat Adi dan Kinanti kembali menatapku. Kuberikan tatapan dingin pada Kinanti sebelum berbicara. “Jangan lupakan, kamu pun dulu mengemis pada suami orang supaya dibelikan barang-barang mewah yang tidak mampu dibelikan kekasihmu.”
“Kak Adi memang suami Kakak dulu. Tapi dia adalah Kakakku, bukan orang lain.”
“Mantan kakak ipar kalau kamu amnesia, Kinanti!” ralatku ketus. “Dan seharusnya, kalau Kak Adimu itu pintar, dia tidak akan terperdaya oleh wajah lugumu yang menjijikan itu.”
“Aku nggak nyangka, ternyata perempuan salihah bisa bicara kasar seperti ini.” Kinanti tertawa sumbang mengejekku.
“Aku juga tidak menyangka gadis yang kukira lugu ternyata bisa berzina sampai hamil dengan kekasihnya. Na’udzubillah!” balasku sengit yang membuat wajah Kinanti merah padam.
“Kak Anye kurang ajar!” Kinanti bersiap menyerangku, namun dengan sigap Adi menghalanginya.
Ferdi pun sigap melindungiku, menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar tubuhku terlindungi dari jangkauan Kinanti.
“Lepas, Kak. Aku nggak terima dihina seperti ini sama dia! Lepas! Lepaskan aku!” Kinanti meraung murka dan berusaha melepaskan diri dari kungkungan Adi.
“Anyelir, masuk lah. Aku akan membawa dia pergi. Maafkan aku sekali lagi.”
Itu adalah kalimat terakhir Adi, sebelum pria itu mendorong masuk Kinanti ke dalam kabin tengah mobilnya. Detik berikutnya, adi yang nampak tak enak hati padaku dan nampak sangat murka pada Kinanti menekan pedal gas dengan kecepatan penuh.
“Kamu tidak apa-apa Anyelir?” Ferdi membalikkan badan, menatapku, selepas kendaraan milik Adi hilang dari pandangan kami.
“Aku tidak apa-apa.” Bohong, nyatanya hatiku terasa sakit melihat sosok Adi dan Kinanti. Aku merasa mereka benar-benar jahat telah mempercundangi aku dengan menikah secara diam-diam hanya untuk menyelamatkan wajah keluarga Kinanti.
“Jangan menangis,” ucap Ferdi yang sudah hendak mengulurkan jemarinya pada wajahku, namun kemudian ditariknya kembali.
Aku menggeleng dan mengusap air mataku sendiri. “Maaf, kalau kamu harus melihat semua ini, Fer. Memalukan sekali ya?”
“Oh, tidak. Tidak sama sekali. Kamu tidak perlu merasa malu, Anyelir. Kamu tidak bersalah apa pun dalam hal ini. Mereka berdua lah yang salah. Sudah ya, jangan bersedih lagi.”
“Terima kasih, Fer.” Aku tersenyum mendengar kalimatnya yang menenangkanku. “Ayo kita kembali ke teras, aku sudah tidak sabar menunggu cerita-ceritamu soal Widya dan anak-anakmu. Kalian pasti sangat bahagia ya,” kataku dengan bersemangat.
“Mereka sudah berada di surga, Anyelir.”
Bersambung