POV Anyelir
Dua hari kemudian aku sudah bisa menjalani aktivitasku seperti biasanya. Pada pagi hari aku menyiapkan keperluan Lathif dan Reza lalu mengantar keduanya ke sekolah. Setelah itu aku pulang, berolahraga sebentar dan kemudian berangkat menuju toko pastry milikku.
Aku terjun langsung dalam melayani pembeli dan sesekali terlibat proses produksi kue dengan dibantu oleh staf-stafku. Lelah? Sangat. Tapi aku tidak bisa meninggalkan bisnis ini begitu saja, karena teringat betapa susah payahnya ketika aku merintis dua tahun silam.
Sejujurnya, aku pun merasa sangat lelah menjalani peran ganda sebagai ibu sekaligus ayah untuk kedua putraku. Tetapi aku juga tidak ingin berpangku tangan dan hanya mengandalkan uang bulanan dari Adi. Aku tidak ingin Adi semakin menginjak-injak harga diriku. Ya, setidaknya jika Adi akan menghinaku soal finansial, aku masih bisa mengangkat daguku ke atas, karena saat ini aku memiliki penghasilan sendiri.
Meskipun karena uang bulanan Adi, Kinanti sempat datang ke toko pastry-ku hanya untuk menyindirku, karena aku menuntut Adi untuk menafkahi Lathif dan Reza dengan jumlah yang cukup banyak. Tapi aku tidak peduli dengan sindiran yang diberikan Kinanti untukku. Yang terpenting, Lathif dan Reza menerima haknya sebagai anak kandung Adi.
Kinanti memang durjana. Dia yang sudah merebut Adi dariku, tetapi dia juga yang merasa menjadi paling yang tersakiti ketika Adi masih menafkahi Lathif dan Reza. Padahal kan memang itu sudah menjadi tanggung jawab Adi sebagai ayah Lathif dan Reza.
Aku pun sampai sekarang masih tidak habis pikir, mengapa pikiran Adi sesempit itu, mengapa bersedia menikahi Kinantia hanya karena rasa belas kasihan. Mengapa dia rela menukarku, Lathif dan Reza hanya demi menikahi adik dari Melati itu?
Sakit sekali rasanya saat mengingat hal itu.
Aku pernah bertanya pada waktu itu, apakah mereka pernah tidur bersama dan Adi bersumpah atas nama Allah jika dia tidak pernah menyentuh Kinanti dalam konteks ketertarikan antar lawan jenis.
Aku percaya Adi memang tidak pernah menyentuh Kinanti sebelum pernikahan mereka terjadi. Aku juga percaya jika apa yang dilakukannya memang hanya sebatas untuk menyelamatkan wajah Kinanti dan Ayahnya di kampung halaman perempun itu. Tetapi di sini, aku yang sepenuhnya dirugikan karena kebaikannya pada Kinanti. Karena jauh sebelum Adi menikahi Kinanti, bahkan sebelum aku dan dia menikah kembali, Adi sudah membiayai kehidupan Kinanti dan Ayahnya.
“Kenapa sebanyak ini A Adi transfer ke Kinanti, A?” tanyaku, setelah tak sengaja membaca notifikasi email transaksi rekening milik Adi di ponsel pria itu. Tak tanggung-tanggung, Adi mentransfer sebanyak dua puluh lima juta untuk Kinanti.
“Kinanti butuh laptop baru untuk kuliah, Sayang. Dan dia hanya punya aku sekarang. Ayahnya hanya pensiunan guru, nggak mungkin kalau belikan laptop semahal itu,” alasan Adi pada waktu itu.
“Tapi kan bisa belinya yang dibawah harga sepuluh juta saja, A. Memangnya harus banget beli yang seharga motor baru? Enggak, kan?” cecarku murka.
“Dia hanya punya aku sebagai pengganti Melati, Anyelir. Aku tidak mungkin membiarkan dia ngemis-ngemis ke cowoknya atau pun dia harus part time supaya bisa biayain kuliahnya. Tolong, kamu paham posisiku ya. Aku cuma bantu Kinanti saja, nggak lebih dari itu.”
Itu adalah percakapanku dengan Adi sebelum akhirnya aku memutuskan pergi setelah mengetahui pria itu menikahi Kinanti. Kala itu pun, Adi pernah memohon padaku agar aku tidak pergi dan dia berjanji akan menceraikan Kinanti. Namun sayangnya, pria itu tidak mampu berjanji untuk tidak membantu Kinanti lagi dalam bentuk apa pun. Dan ya, akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri jalinan rumah tangga kami untuk kedua kalinya.
Lagi pula, untuk apa aku bertahan di sebuah pernikahan dengan bayang-bayang Melati yang melekat erat di kehidupan kami?
Aku baru saja keluar dari ruang produksi dan hendak menuju ruanganku, ketika salah satu stafku mengatakan jika ada kiriman mobil untukku. Keningku seketika berkerut dalam, mengapa bisa ada kiriman mobil kemari, sementara aku tidak pernah membeli atau memesan apa pun, terlebih sebuah mobil.
Aku keluar dan mendapati sebuah HRV sand khaki pearl di parkiran toko. Dua orang dari pihak dealer sedang menungguku di sana. Mereka mengangguk dan menginfokan jika pengirim mobil tersebut adalah Adi. Ya, Adi Hutomo Putra.
Aku menghubunginya segera, setelah masuk kembali ke ruanganku. Aku ingin menanyakan apa maksudnya mengirimiku sebuah mobil. Aku tidak membutuhkannya. Aku masih bisa berkendara dengan kendaraan roda, karena lebih praktis dan lebih gesit membelah kemacetan jalanan yang memusingkan. Lagi pula, aku sudah memiliki sebuah mobil yang kugunakan untuk mengantar Lathif dan Reza ke sekolah. Sementara saat pulang, Lathif dan Reza diantar menggunakan bus sekolah. Jadi aku tidak perlu repot-repot menjemputnya. Dan aku memang tidak begitu membutuhkan mobil.
“Assalammu’alaikum, Anyelir. Akhirnya setelah sekian lama, kamu menghubungiku.” Suara Adi terdengar riang dari seberang sana.
“Wa’alaikumsalam. Aku tidak mau basa-basi, Di. Apa maksudmu mengirim mobil kemari?”
“Mobil lebih aman untukmu berkendara, Anyelir. Terima lah.”
“Aku sudah memilikinya. Aku tidak butuh mobil itu. Bawa kembali ke dealer atau aku akan memberikannya ke panti asuhan,” tolakku tegas.
Terdengar helaan napas panjang dari bibir Adi, sebelum pria itu kembali bicara. “Aku tidak tega melihatmu ke mana-mana menggunakan motor, Anyelir. Tolong, terima lah mobil ini. Aku hanya ingin membantumu.”
“Aku tidak butuh bantuanmu!”
“Kita bicarakan nanti lagi ya, aku masih banyak kerjaan. Assalammu’alaikum, Anyelir,” ucap Adi sebelum memutus panggilan lebih dahulu.
Kuhela napas dalam guna menetralkan gemuruh di d**a karena rasa kesalku pada Adi. Pria itu benar-benar sangat menyebalkan. Mungkin dia terlahir memang untuk menyakitiku dan mengganggu ketentraman hidupku. Selebihnya, pria itu hanya seorang pria idi0t yang hobi menikah. Astaghfirulloh, sabar Anyelir, sabar.
Aku kembali bekerja. Kali ini dengan menggelar live di salah satu platform video dan music. Bersama dua stafku aku aknn mempromosikan pastry yang dikemas pada toples bening dengan baluran cokelat dan almond yang bisa dikirim ke seluruh penjuru Indonesia. Sejauh ini penjualannya cukup bagus, meski sangat riskan dalam proses pengiriman.
Dua jam live dengan penjualan 1000 toples lebih, aku kembali beristirahat di ruanganku. Kulirik jam di atas pintu yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Satu jam lagi anak-anak sudah pulang ke rumah dan aku juga harus bersiap-siap pulang karena aku sudah janji dengan mereka untuk pulang lebih awal pada hari ini.
Aku pulang menggunakan taksi online karena motorku masih berada di bengkel. Tak butuh waktu lama driver-ku tiba dan aku sudah hendak membuka pintu mobil, ketika namaku disebut oleh seseorang.
“Anyelir.”
Aku menoleh ke sumber suara. Di balik tubuhku, seseorang dari masa laluku baru saja turun dari kendaraannya. Pria itu berlari ke arahku dengan terburu, memarkirkan begitu saja kendaraannya.
Ferdi. Ya, Ferdi yang baru saja memanggilku. Ferdi yang entah ada angin apa, tiba-tiba datang kemari. Ah, mungkin dia ingin memesan kue darimu Anyelir.
Tetapi, kalimatnya kemudian mematahkan tebakanku.
“Anyelir, akhirnya aku bisa melihatmu lagi,” ucap Ferdi dengan sebuah senyuman yang terlihat tulus.
Bersambung