Episode 5

1318 Words
POV Anyelir  “Pak, sudah tahu alamat rumah saya?” tanyaku pada orang baik yang akan mengantarkanku pulang ke rumah. Aku baru saja terlibat kecelakaan beruntun yang mengakibatkan motorku mengalami benturan cukup hebat. Beruntungnya, Allah masih melindungiku hingga aku hanya mendapat luka ringan. Aku masih setengah sadar sekarang, meski harus menahan nyeri di sekujur tubuh. Pertanyaanku tidak dijawab oleh sopir yang mengantarkanku pulang. Dan kuputuskan untuk bertanya lagi. “Pak, sudah tahu alamat rumah saya?” “Sudah, Bu.” Kali ini pria baik itu menjawab. Suaranya seperti sangat familier di runguku, tapi aku yakin pria ini bukan dia. “Terima kasih, ya, Pak. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan segala kebahagiaan dan keberkahan hidup,” ucapku dengan lirih yang semoga bisa didengar dengan jelas oleh pria itu. “Amin, terima kasih kembali … Bu.” Lantas aku memilih untuk memejamkan mata. Entah mengapa, meski aku tidak mengenal orang ini, aku mempercayainya jika pria ini akan mengantarkanku hingga ke rumah tanpa kurang suatu apa pun. Tak terasa, akhirnya kami tiba di rumah. Lathif, anak pertamaku yang berusia sepuluh tahun yang membangunkanku dari tidur. Aku dibantu oleh Lathif dan ART-ku menuju ke dalam rumah. “Mama habis jatuh ya?” Reza, putra keduaku yang berusia empat tahun bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran ketika aku tengah membersihkan luka-lukaku. Dia duduk tepat di samping Lathif yang tengah membantuku. “Iya, Sayang. Tadi jalannya licin dan mama kurang hati-hati, jadi mama jatuh,” jawabku tersenyum pada Syahreza yang terus memperhatikan luka di kakiku. “Lain kali mama harus hati-hati ya, Ma. Reza nggak mau mama sakit,” ucap Reza yang membuatku terharu atas perhatiannya. “Iya, Nak. Terima kasih ya.” “Ini ditutup plester anti air saja ya, Ma? Supaya mama nggak sakit pas wudhu,” tanya Lathif seraya menatapku. “Iya, Nak. Makasih ya, sudah bantu obati Mama.” Aku tersenyum haru dan bangga pada kedua putraku yang selalu membuatku berbunga-bunga setiap hari akan sikapnya. Mereka selalu menjadi anak baik, anak kebanggaanku. Terlepas dari aku—seorang ibu yang masih memiliki banyak kekurangan, Lathif dan Syahreza tumbuh menjadi anak-anak shalih. Mereka selalu menunaikan shalat lima waktu, puasa dan saat ini tengah menghafal Al Qur’an. Lathif sudah mampu menghafal 3 juz, sedangkan Reza sudah mampu menghafal belasan surat-surat pendek. Bersyukur, bersyukur. Di tengah kesibukanku menjalankan bisnis pastry, aku masih diberikan kekuatan dan kesabaran untuk membersamai anak-anak belajar. Tentu saja, ini semua tak lepas karena karunia dan uluran tangan Allah yang luar biasa. Kami tidur cepat malam ini, setelah menunaikan shalat Isya. Jika biasanya aku tidur seorang diri, maka malam ini Lathif dan Syhareza bersikukuh menemaniku. Mereka bersikukuh tidur di kamarku malam ini, karena mengkhawatirkanku. Bahkan mereka rela tidur di sofa bed karena khawatir badan mereka akan mengenai Lukaku jika tidur di satu tempat tidur yang sama. Dengkuran lirih terdengar memenuhi seluruh penjuru kamar ini. Aku tersenyum memandangi wajah keduanya. Wajah yang sangat mirip dengan ayah mereka. Namun tentu saja sifat mereka sangat jauh berbeda. Lathif dan Reza bukan lah pria pengecut dan pembohong seperti ayahnya. Lupakan, Anyelir. Lupakan tentang Adi! Jangan kamu pikirkan lagi tentangnya. Soal apa pun itu! Otak warasku mengingatkan. Sungguh memang, jika mengingat tentang pria itu, hanya amarah yang menyelimuti d**a. Bagaimana tidak, kedua kalinya Adi mendukanku dengan menikahi kakak beradik untuk dijadikan maduku. Meski waktu itu Adi mengatakan jika dia menikahi Kinanti hanya karena kasihan pada gadis itu. Aku tetap tidak bisa mentolerir tindakannya. Akad tetap lah akad. Mereka sudah berstatus suami istri. Dan Kinanti yang adalah adik dari Melati sudah menjadi maduku. Aku tahu, ini pun bagian dari ketetapan Allah. Tapi mengapa? Mengapa Adi tidak mendiskusikannya padaku soal kehamilan Kinanti agar aku bisa mencarikan solusi terbaik untuk kami semua? Namun kemudian akhirnya aku sadar. Mungkin saja, Adi memang tidak pernah mencintaiku sedetik pun, sedikit pun. Mungkin saja cinta Adi pada Melati masih begitu mengakar kuat, sehingga tanpa ragu ia bersedia menikahi Kinanti pada waktu itu—demi Alhmarhumah. Mengingat hal itu, hatiku luar biasa sakit. Sejak awal perjodohan kami bertahun lalu, aku sudah bertekad menjadikan pernikahan kami pernikahan yang sesungguhnya. Bukan hanya sebatas untuk membuat senang kedua orang tua kami, tapi juga untuk menyempurnakan separuh ibadah kami. Bahkan aku bersedia rujuk kembali dengannya, setelah perceraian kami pada waktu itu karena aku memang benar-benar mencintainya. Aku benar-benar telah jatuh cinta pada Adi, hingga melupakan semua yang telah diperbuat olehnya di pernikahan awal kami dulu. Tapi apa yang kudapat setelah kupertaruhkan harga diriku untuknya? Pria itu justru kembali menyakitiku. Mencincang habis segenggam warna darah bernama hati, hanya karena ingin menyelamatkan muka keluarga Melati. “Mama, di depan ada Papa,” beritahu Reza, ketika kami sedang sarapan bersama. Anak-anak sudah bersiap ke sekolah, sedangkan aku memutuskan untuk cuti dari seluruh pekerjaanku, karena sekujur tubuhku terasa linu. “Papa?” tanyaku terkejut. Berani-beraninya pria itu datang kemari? Batinku jengkel. “Iya, Papa tidur di mobil dari tadi malam, Ma. Papa yang mengantar Mama pulang ke rumah,” beritahu Lathif yang membuatku semakin terkejut. Jadi benar, semalam adalah suara Adi. Jadi ternyata semalam aku sedang tidak berhalusinasi? Ya Allah, kenapa? Kenapa Engkau harus mengirim Adi sebagai penolongku? Mengabaikan rasa sakitku, aku segera berdiri dan menghampiri ART-ku di dapur untuk menanyakan soal Adi. “Ya, Bu, benar. Semalam Pak Adi yang mengantar ibu ke rumah.” Kupejamkan mata sesaat dan mengembuskan napas pelan untuk mengontrol emosiku. Tak peduli Adi sudah menolongku untuk seribu kali, itu semua tak akan mampu membuatku lupa dengan apa yang telah ia perbuat padaku. “Terima kasih, Mbak. Saya ke depan dulu ya,” ucapku pada ART-ku bernama Tuti ini. Tertatih, aku berjalan menuju halaman depan. Dan benar saja, mobil milik Adi memang berada di sana. Sedangkan sosok Adi sendiri tengah bercengkerama dengan salah seorang sekuriti di komplek ini. Tentu saja Adi mengenal baik sekuriti tersebut karena rumah ini memang adalah rumah miliknya. Aku memang sengaja mempertahankan rumah ini, karena ini adalah rumah Lathif dan Reza. Aku tidak ingin rumah ini jatuh ke tangan Kinanti, terlebih anak perempuannya. Adi yang melihat kemunculanku, menghentikan percakapannya dengan sekuriti. Pria itu berjalan ke arahku dan aku tetap berdiri di tempatku seraya memberikan tatapan tajam padanya. Sudah dua tahun lamanya aku tidak berbicara dengan pria itu. Dan kali ini, aku akan berbicara kembali dengannya hanya untuk mengusirnya. “Anyelir, kamu ….” “Pergi!” usirku dengan angkuh. “Aku janji akan pergi dari sini, setelah memastikan keadaanmu. Aku janji.” “Pergi!” usirku lagi dengan menaikkan volume suaraku. Adi diam dan hanya menatapku lekat. Entah lah, pria itu terlihat seperti putus asa, namun sama sekali tak membuatku tersentuh. Aku tetap membencinya. Tidak ingin berbicara dengannya dan tidak akan pernah memaafkannya. “Baik, aku akan pergi. Jaga diri kamu baik-baik.” Adi membalikkan badan dan meninggalkan teras rumah ini dengan gontai. Tetapi sekali lagi, aku tidak akan pernah tersentuh dengan sikapnya sekarang. Lagi pula, bisa saja kan, Adi hanya sedang berakting untuk mendapatkan simpatiku lagi? Hah? Dia pikir dengan menampilkan ekspresi seperti itu aku akan luluh dan memaafkannya? Tidak akan. Aku tidak sudi dan tidak akan pernah lagi tertipu oleh sikap, tutur kata atau apa pun yang dilakukan Adi untukku. “Mama, Papa sudah pulang ya?” Reza menghampiri, memelukku. “Sudah, Sayang.” “Semalam, Reza bangun dan telepon Papa supaya tidur di dalam, Ma. Tapi Papa nggak mau. Papa bilang, karena Papa sudah nggak boleh masuk lagi ke rumah ini, karena Papa punya salah ke Mama.” Oh, hatiku sungguh sakit sekali mendengarnya. “Memangnya Papa salah apa ke Mama, Ma?” Reza mendongakku dengan wajah penuh rasa ingin tahu dan penuh kesedihan. Aku tahu, sebagai seorang anak, Reza juga Lathif pasti menginginkan orang tuanya tinggal di satu rumah yang sama. Tapi mau bagaimana lagi, aku dan Adi sudah berpisah. Dan aku bahkan sudah tak sudi lagi untuk sekadar menatap wajah lelaki itu lagi. “Ayo, masuk, Nak. Kita siap-siap ke sekolah ya,” ajakku tanpa berniat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Reza. Belum saatnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD