Anisa merasa sangat asing dengan tempat yang kini ia kunjungi. Sebuah taman yang indah dan penuh cahaya— sebuah tempat yang tak pernah ia temukan di Jakarta atau pun Semarang selama ini. Di ujung taman, ia melihat seorang anak laki-laki yang bisa ia diperkirakan berusia tiga tahunan. Hari Anisa berdenyut nyeri. Andai ia tidak salah menghitung, anaknya juga pasti akan berusia seperti anak tersebut. Tapi ia sendiri tak tahu janin yang dirinya kandung waktu itu akan terlahir sebagai seorang putra atau putri.
‘Jika dia laki-laki, ia pasti akan setampan anak itu,’ batin Anisa tak mau melepas pandangan matanya. Anisa tersentak kala keduanya bersitatap. Anak itu terus menyunggingkan senyumnya hingga membuat Anisa menerka-nerka kemiripan yang tampak dari garis wajah sang pria kecil dengan Andreas. Terlebih senyumannya mampu menghangatkan sekujur tubuh Anisa.
“Mamaa..” Anak tersebut berlari menuju Anisa sembari mengucapkan panggilan yang membekukan seluruh persendian wanita itu. “Mama!” kali ini, pria kecil yang terus memanggil Anisa ‘Mama,’ tersebut memeluk kaki-kaki Anisa. “Mamanya aku,” ucapnya sekali lagi seolah menegaskan siapa dirinya.
“Mama..” Pria kecil yang belum pernah Anisa beri nama itu menengadahkan wajahnya. Dari jangkauan yang sangat dekat, ia dapat melihat diri Andreas dan beberapa bentuk mukanya ada di depan mata. Anisa lantas membungkukkan tubuhnya, tangannya yang bergetar merangkum wajah tampan itu, “Kamu anakku?” dan sebuah anggukan membuat Anisa mengeluarkan tangisnya. Wanita itu berjongkok, mensejajarkan diri sebelum merengkuh sang putra dalam pelukannya yang erat. Anak yang belum sempat ia lahirkan, janin itu sekarang ada dalam dekapannya.
Putraku.. Anakku tercinta.
“Sayang.” Ujarnya lirih, “putra Mama.. Anak Mama sayang.” Ucapnya berulang kali.
“Iya sayang, putraku. Anak Mama, anak Mama sayang.” Tuhan jika ini mimpi tolong jangan bangunkan aku Tuhan. Aku ingin disini untuk memeluk putraku, aku mau bersamanya Tuhan, kumohon! Anisa tak ingin kembali pada realita yang menyakitkan. Bangun dari bunga tidur yang membuat mereka kembali terpisahkan untuk selama-lamanya.
“Mama..”
“Iya sayang.. Ini Mama, Nak.. Mama ada disini sekarang.” Anisa membawa tubuh sang putra ke dalam gendongannya dan seolah memiliki perasaan yang sama, anak itu memeluk Anisa tak kalah erat. Melingkarkan tangan ke leher Anisa sembari menempelkan kepalanya ke d**a sang ibu.
“Sayang, Mama rindu. Kenapa kamu nggak pernah datengin Mama, Nak.”
“Mama,” sang putra memberi jarak, “Mama harus pulang. Di sana, Papa lagi nungguin Mama. Jadi Mama harus kembali dulu. Nanti kita bisa sama-sama, tapi bukan sekarang waktunya.” Ia mengecup sayang pipi-pipi Anisa. “Kakak akan nunggu Mama disini. Kakak nggak sendirian Mama. Ada mereka,” Ia menunjuk anak-anak lain yang sebelumnya tidak tampak di mata Anisa.
“Kakak nggak sendirian Mama.. Banyak temannya.” Kepala Anisa menggeleng. Mereka baru saja berjumpa, bagaimana bisa mereka kembali terpisah dengan cara sesingkat ini.
“Mama mau disini sama Kakak aja. Mama mau jagain Kakak. Boleh ya?”
“No Mama.. Tempat Mama bukan disini. Mama tenang aja, dari sini Kakak akan lihatin Mama terus. Kakak akan jagain Mama, seperti Mama selalu jagain Kakak ya.” Ia meminta turun dari gendongan Anisa, lalu berlari sangat cepat menuju cahaya putih yang terang. Cahaya itu sangat menyilaukan Anisa hingga membuat matanya terpejam.
“Anakku! Kakak!” Anisa terus mencoba mengejar. Sebuta apapun penglihatannya sekarang, ia tak ingin kehilangan sampai suara seseorang yang memanggil namanya perlahan membuat matanya terbuka.
“Anisa..” Suara pertama yang Anisa dengar setengah ia membuka matanya adalah suara milik Andrean. Pria itu terdengar sangat khawatir. “Akhirnya kamu sadar, Sayang. Kamu udah tidur terlalu lama sampai-sampai dokter bilang kamu pingsan!” Andrean menabrakkan diri mereka, melengkungkan tulang-tulang punggungnya untuk memeluk Anisa.
“Lepasin aku!”
Andrean menurut. Anisa baru siuman dan ia tak ingin membuat masalah yang dapat membuat kesehatan sang wanita pujaan kembali menurun.
“Aku seneng kamu sadar, Nis. Kamu bikin aku ketakutan.”
Kala Andrean menatap kedua bola mata Anisa, wanita itu justru memalingkan wajahnya. Dari sebagian banyak orang mengapa bukan Daniel orang pertama yang ia lihat. Kenapa harus Andrean sosok tersebut. Kemana perginya Daniel?!
Ada setitik rasa bersalah singgah di hati kecil Anisa. Ia teringat pada kenyataan hidupnya, jika secara sadar hati dan tubuhnya telah berpaling dari sisi sang kekasih. Setetes cairan bening menuruni pipi Anisa, sebelum ingatannya dibawa terbang pada pertemuannya sedang sang putra. Anisa masih merekam jelas wajah anak yang ia temui. Hampir delapan puluh persen, bingkai indah itu menyerupai lelaki yang berada di dalam satu ruangan dengan dirinya. Mata, hidung, bibir, warna kulit mereka. Mungkin semua itu terjadi karena dulu ia begitu mencintai Andrean, sehingga putra mereka sangat mirip dengan papanya. Tanpa Anisa sadari, ia menangis sesenggukan— merindukan sosok yang baru saja mengucapkan salam perpisahan padanya di dalam mimpi.
“Nis, kamu kenapa? Ada yang sakit?” Andrean kebingungan. Ia membalikan tubuhnya, ingin melangkahkan kaki keluar mencari pertolongan jika seandainya tangannya tak dicekal oleh Anisa.
“Tetap disini Ndre.. Aku baik-baik aja. Jangan kemana-mana!” pinta Anisa sebelum mengalihkan tatapannya pada tirai ruang inap yang terbuka. Disana ia melihat taman rumah sakit. ‘Nggak seindah taman tempat kita bertemu sayang,’ batin Anisa mengajak putranya berinteraksi. Anisa yakin putranya pasti mendengar, ‘tapi setidaknya di sini ada papa. Dia bisa gantiin keberadaan kamu.’ Tinggalnya Andrean seolah melengkapi apa yang hilang dari sisinya. Kemiripan mereka membuat Anisa merasa bahwa sang putra ada di sekitarnya.
‘Mama sayang kamu, Nak. Tunggu Mama ya! Suatu hari nanti kita pasti bisa berkumpul bersama. Kamu dan Mama, kita pasti nggak akan terpisahkan lagi.’ Ujar Anisa dalam hatinya.
Anisa tersentak saat jari Andrean menghapus cairan matanya. Pria itu menggenggam jemari Anisa, “aku akan temenin kamu, Nis.. Kamu nggak sendirian disini.” Mendengarnya Anisa tergugu. Ia dapat merasakan ketulusan di dalam ucapan Andrean.
“Tolong jangan tinggalin aku sendirian, Ndre.. Cuman kamu yang bisa bikin aku baik-baik aja sekarang.” Karena wajah kalian terlalu mirip, Ndre. Tolong biarin aku natap wajah anak kita dalam diri kamu, Ndre.
Di luar kamar perawatan Anisa, Zidan tak jadi memutar knop pintu yang telah tangannya raih. Ia memutar tubuhnya, memilih mendudukan diri tak jauh dari ruangan Anisa. Ia sadar benar apa yang sahabatnya butuhkan sekarang— Andrean, bukan orang lain. Jadi selama keduanya membutuhkan waktu untuk bersama, Zidan akan berjaga. Menghalau siapa saja untuk masuk termasuk Daniel. Anisa memerlukan bahagianya walau sesaat dan Zidan akan berusaha mengabulkannya.
“Niel..” Ia bangkit saat melihat Daniel berjalan menuju ke arahnya, “temenin gue ngopi dulu yuk.. Lagi ada dokter yang visit! Anisa nggak mau ditemenin katanya.” Anggap saja, Zidan sedang berbaik hati pada Andrean sekarang ini. Semua ia lakukan untuk Anisa.
"Lo baru nyampe bener, Dan? Ayo deh! Nggak ada yang buruk kan tentang cewek gue kan?" tanya Daniel memastikan terlebih dahulu keadaan sang kekasih.
"Aman! Udah siuman kok tadi pas gue nyampe, Niel."