Membuka ponselnya, Zidan dibuat tercengang atas kabar yang dirinya terima dari Daniel. Pria itu terlihat sama paniknya seperti Daniel. Ia menuruni ranjang, memasukan semua kebutuhannya dan bergegas keluar dari kamar.
“Zidan, mau kemana kamu? Kenapa bawa ransel besar?!” tanya sang ibu kala putranya membuka pintu rumah mereka.
“Mah Zidan nggak bisa. Zidan ada urusan mendesak Mah. Ini tentang Anisa, jadi tolong biarin Zidan pergi ya, Mah.” Zidan tak mendengarkan teriakan sang ibu yang terus memanggil namanya. Pria itu berjalan secepat mungkin sembari terus mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Zidan sempat meringis, namun ia telah bertekad untuk sampai di Semarang secepat mungkin.
Laki-laki yang selama ini selalu berada disisi Anisa itu telah memesan jasa angkutan online. Ia berjalan kesana-kemari sembari terus memegang ponselnya. Mencari penerbangan terdekat dari waktu yang kini sedang berputar.
“Ada please!” tak peduli meski acaranya sendiri terganggu, ia harus segera sampai di Semarang secepat mungkin. Anisa membutuhkannya. Wanita itu sedang tak baik-baik saja dan ia berada sangat jauh dari sisi sang sahabat.
“Mas Zidan Arkansyah Gibran?” tanya seseorang setelah menurunkan kaca mobilnya. Tanpa menjawab Zidan masuk begitu saja. Ia tahu jika orang tersebut merupakan pengemudi yang dirinya pesan tadi. “Ngebut ya Pak.. Saya takut ketinggalan pesawat!”
“Baik Mas. Saya usahakan secepat mungkin.”
Zidan tak mendapatkan tiketnya secara virtual. Ia harus mengunjungi gerai maskapai secara langsung untuk menanyakan adanya pernerbangan terdekat. Zidan dapat bernafas lega karena satu jam mendatang masih ada pesawat yang akan menuju semarang. Meski bukan dari perusahaan yang biasa ia gunakan, tak apa. Bukan kenyamanan yang dirinya utamakan sangat ini, melainkan Anisa— sahabat terkasihnya.
Sepatu Zidan tak pernah berhenti bergerak. Ada perasaan yang terus mendobraknya untuk mengabarkan keadaan Anisa pada Andrean. Ia meninju udara disekitarnya, memaki dirinya sendiri mengapa masih begitu baik pada sahabatnya yang menjadi penyebab menderitanya Anisa selama ini. Ia mengutuk malaikat dalam dirinya.
“s**t!” umpatnya karena secara sadar telah mengarahkan jempolnya pada kontak Andrean. Zidan diterpa dilemma selama dering yang terdengar.
‘Ya Dan.. Whats up, Bro?’ dan ketika dering itu berganti dengan suara Andrean, Zidan sudah yakin dengan keputusannya. Bagaimanapun, Andrean juga sahabat Anisa. Hubungan mereka akhir-akhir ini telah membaik meski tak kembali merajut cinta.
“Lo dimana, Ndre?” tanya Zidan.
‘Di rumah gue. Gimana-gimana? Katanya lo lagi di Jakarta? Ngapain? Kasihan Anisa nggak ada yang jemput. Daniel kan ke Surabaya.’ Andrean berbicara panjang lebar mengenai hal yang ia ketahui dengan jelas.
“Daniel udah balik. Dia nggak ada ngabarin lo apa-apa tentang Anisa?”
‘Anisa?!” Zidan dapat mendengar suara Adrean yang berubah. Pria itu terdengar seperti orang kaget sekaligus khawatir. ‘Anisa kenapa?’
Benar dugaan Zidan sedari tadi. Daniel tak mengabari Andrean. Mungkin sahabatnya yang satu itu masih belum bisa tenang karena hubungan Anisa dan Andrean di masa lalu. Zidan memakluminya. Ia menarik nafas dalam sebelum membuangnya. “Anisa ditemuin setengah pingsan sama Daniel di kamar kos. Sekarang dia ada di Tembalang Hospital. Daniel tadi chat gue, katanya dia lagi ada urusan mendadak. Jadi please, sebelum gue nyampe Semarang, tolong jagain dia dulu Ndre.” Pintanya secara tulus agar Andrean setidaknya mau berbaik hati menemani sahabat mereka, terlepas dari diri pria itu yang merupakan mantan kekasih Anisa.
‘Dia sendirian sekarang?’
“Iya..” Zidan tak lagi mendengar apapun karena Andrean mematikan sambungan telepon mereka secara sepihak. Mungkin pria itu segera bertolak menemui Anisa. Zidan menghempaskan dirinya di kursi tunggu. Masih ada waktu lima belas menit tersisa sebelum ia memasuki gate keberangkatan. Zidan membuka galeri ponselnya. Ia tersenyum melihat semua foto Anisa disana. “Tunggu ya, Nis.. Gue pasti nyampe cepet. Jangan pulang dulu. Nanti biar gue yang jemput lo!” lirih Zidan sekaligus mengantarkan permintaanya agar merasuk ke dalam hati Anisa di Semarang.
Menunggu keberangkatan rasanya sangat lama. Jarum jam seperti melambat membuat Zidan terjebak dalam perasaan gundah.
Dibelahan tempat lain tepatnya di Semarang, Andrean segera meraup kunci mobilnya setelah pembicaraan yang dirinya hentikan bersama Zidan. Ia berlari menuruni lantai dua rumahnya menuju garasi. “Bukain!” berulang kali pria itu menekan klakson agar pembantu rumah tangganya membukakan pintu garasi secepatnya. “Bilang sama Mama nanti, gue ada perlu. Selina kalau dateng suruh nunggu aja tapi gue nggak tau bakalan cepet apa lama.” Titipnya pada penjaga rumahnya sebelum menginjak pedal gas sedalam mungkin.
Andrean tak peduli jika dirinya melanggar aturan pemerintah tentang kecepatan mengemudi di atas rata-rata. Pikirannya kacau. Ia hanya ingin segera berada ditempat Anisa sekarang. Meminta pengampunan atas perilakunya yang membuat wanita itu jatuh sakit hingga dilarikan ke rumah sakit.
Dikepalanya hanya ada satu bayangan yaitu wajah Anisa. Tentang gemaan suara penuh getar yang mengusirnya pagi tadi dari indekos wanita itu.
“Anjing lo Ndre! Ini semua gara-gara lo!” Ia menyalahkan dirinya sendiri atas musibah yang menimpa wanita tercintanya.
Sampai di pelataran rumah sakit, ia memarkirkan mobilnya asal. Meminta satpam setempat untuk membantunya mengatur mobilnya. Ia berkata jika ada kondisi serius yang sedang terjadi. “Istri saya kritis, Pah. Mohon bantuannya.” Ia menggerakkan kaki-kakinya, berpacu dengan detak jantungnya yang tak kalah menggila menuju kamar perawatan yang Zidan kirimkan padanya. Tangannya gemetar kala membuka kamar tersebut. Andrean hampir kehilangan seluruh kekuatannya kala melihat keadaan Anisa. Wanita itu terlelap dengan wajah seputih kapas. Sangat pucat. Ia memberanikan diri melangkah, menduduki kursi disamping brankar. Terus memandang lekat Anisa hingga bahu-bahunya berguncang karena tangis yang tak dapat dirinya tahan.
Andrean menghabiskan waktunya untuk menyesali seluruh rentetan kejadian yang terjadi di hari kemarin. Menangis dalam diam agar tak mengganggu tidur lelap wanita yang dirinya cintai. Ia membekap mulutnya. Memejamkan mata sembari merasakan setiap pecutan tak kasat mata yang menghantam relung hatinya.
Cukup lama ia terdiam, sampai laki-laki itu memberanikan diri untuk menarik telapak tangan Anisa ke dalam genggamannya. “Maafin aku Sayang.. Maaf karena bikin kamu sakit sampai begini. Maafin aku udah lukain kamu.” Ia menciumi tangan Anisa. Mendendangkan ribuan permintaan maaf atas kesalahannya dan perilaku brengseknya. Andrean terlarut sampai tubuhnya tersentak karena melihat air mata juga turun dari mata indah sang pujaan hati.
“Sayang.. Kenapa kamu nangis? Kamu denger aku ya?” tanyanya, melirih. Andrean terbatuk oleh sesak di dadanya. “Kamu mimpi apa Sayang sampai nangis gini?!” Ia mengangkat pantatnya sedikit, membungkuk untuk mengusap air mata Anisa yang membasahi bawah pelipis wanita itu.
Bunga tidur seperti apa yang membuat alam bawah sadar Anisa menangis?! Andrean ingin masuk ke dalamnya untuk memeluk Anisa. Ia ingin menenangkan wanita itu, menghapus segala duka meski ia tahu dirinyalah pembuat lara itu menetap. Tak sekalipun Andrean melepas genggaman tangannya, hingga kesunyian merenggut kesadaran tubuhnya yang lemah. Ia tertidur dengan kepala menelungkup di atas tangan keduanya.
Andrean terlelap bersama perasaan bersalah yang bersarang di dalam hatinya.