Mengapa Tak Bisa?

1157 Words
“Nis, why kamu nggak angkat?! Kamu lagi dimana sekarang?” lirih Daniel menatap layar ponselnya yang terus menampilkan tulisan berdering sejak semalam. Daniel tiba di Semarang pukul sembilan malam. Sampai di rumah ia terus mencoba menghubungi Anisa, dan wanita itu tidak menyambut panggilannya. Daniel tak menaruh curiga awalnya. Mungkin saja Anisa sudah tertidur semalam. Meski merasa tak biasa, Daniel tetap berpositif thinking hari akhirnya berganti. Hingga siang hari kekasihnya tersebut juga tak kunjung mengangkat teleponnya. Daniel diterpa rasa khawatir. Daniel tak bisa membohongi perasaannya. Kemarin ia terus merasakan gelisah hingga memutuskan pulang ke Semarang lebih cepat. Ia membatalkan pertemuan selanjutnya dan bertolak sesegera mungkin dari Surabaya. Karena Anisa tak membalas pesan terakhirnya pada sore harinya, Daniel awalnya berpikir wanitanya sedang sibuk mempersiapkan tugas. “Gimana?” tanya Daniel pada seseorang di seberang sana. Ia memutar kursi kerjanya, bangkir berdiri lalu menuju kaca jendela dan memandang jalanan Puri Anjasmoro yang terlihat sangat padat hari ini. “Ya, terima kasih.” Ucap Daniel sebelum menutup panggilannya. “Nggak bisa!” Pertahanan Daniel runtuh. Ia harus melihat sendiri dengan kedua matanya jika keadaan Anisa baik-baik saja. Pesan-pesannya tak terbalaskan, teleponnya tidak diterima dan orang yang Daniel tugasnya untuk mencari keberadaan Anisa di kampusnya juga mengatakan jika teman-teman Anisa belum melihat wanita itu sejak pagi. “Dayanaaa!” teriak Daniel memanggil sekretarisnya. “Masuk Dayana!” Ia memberi perintah. Tak menunggu lama, wanita bernama Dayana itu membuka pintu ruang kerja Daniel. “Saya ada urusan penting sekali, tolong kamu alihkan seluruh pekerjaan saya hari ini pada Dirga.” Usai memberi perintahnya, Daniel terlihat tergesa-gesa keluar dari gedung perusahaannya. Daniel memasuki tunggangannya. Memacu SUVnya menembus jalanan Semarang. Ia sengaja menggunakan tol agar segera sampai di perumahan Anisa yang kebetulan juga berdekatan dengan gerbang tol Tembalang. Setelah menempuh perjalanan bersama riaknya isi kepala tentang keadaan sang kekasih, akhirnya Daniel dapat melihat gerbang rumah yang menaungi diri kekasihnya selama ini. Ia turun, meminta izin pada Satpam yang bertugas tanpa menanyakan apakah Anisa ada di dalam atau tidak. Beberapa kali Daniel mencoba mengetuk pintu kamar tempat tinggal Anisa, tapi wanita itu tak kunjung memberikan respon walau hanya sekedar jawaban. Merasa ada yang tidak beres, tanpa pikir panjang Daniel memutar knop pintu yang tidak terkunci. “Tumben Anisa nggak ngunci?” Kejanggalan yang bersarang dipikirannya terjawab dengan pemandangan yang menyayat hati. Di atas ranjang kepunyaan Anisa, wanita itu merintih meminta bantuan. Suaranya yang terlalu kecil tak terdengar sampai keluar. Wajahnya pucat pasi seperti tak teraliri darah. “Sayang..” pekik Daniel. Ia menyentuh kening Anisa dan telapak tangannya terasa terbakar walau bersentuhan sepersekian detik saja. Tak banyak bicara, Daniel langsung membelit tubuh Anisa menggunakan bed cover. “Sayang kita ke rumah sakit.” Ucap Daniel lalu membawa Anisa ke dalam gendongannya. “Sakit.. Tolong. Dingin..” “Iya Sayang.. Kamu bertahan ya.. Kita on the way, Nis.” Daniel tak dapat berkonsentrasi. Ia menjadi sangat panik setelah melihat keadaan Anisa yang terus merintih. Beberapa kali ia bahkan hampir menabrak mobil orang lain dalam perjalanan mereka menuju rumah sakit. “Susteeerrr!” Daniel berlari memasuki pintu ruang UGD, “please.. Tolong saya. Kekasih saya.” Pintanya membuat tenaga medis yang bertugas berlarian ke luar. Satu satu dari mereka mendorong brankar mendekati mobil Daniel. “Dia terus berkata kedinginan! Tolong.” Entah berapa kali Daniel memohon, ia hanya ingin Anisa segera ditangani. Seluruh hatinya digerogoti oleh rasa takut. Daniel takut terjadi hal buruk yang membuat kesehatan Anisa dapat menurun secara drastis. Pasalnya kemarin wanitanya masih baik-baik saja. Tak menunjukan gurat lelah atau tanda-tanda ada kurangnya kestabilan kesehatan. DANIEL SEMPAT MEMBUAT KERIBUTAN. Ia meminta dokter melakukan pengecekan ulang jika diperlukan Daniel ingin adanya medical check up menggunakan alat-alat canggih untuk mendeteksi keadaan Anisa. Ia tidak puas mendengar penjelasan dokter jika Anisa hanya menderita flu, dehidrasi, dan beberapa stressor yang mungkin saja membuat wanita itu melemah hingga jatuh sakit hingga menghilangkan sebagian kesadarannya. “Sayang.. Aku yakin kemarin kamu masih tertawa waktu aku Video Call. Aku inget banget Nis. Apa yang membebani pikiran kamu, Nis?” tanya Daniel sembari membelai wajah cantik wanita yang dirinya cintai. “Itukah alasan mata kamu sembab?” Anisa tak pernah membagi segalanya secara terang-terangan padanya. Ia yang memang sensitive merasakannya dengan sangat. Ia tahu ada banyak hal tentang diri kekasihnya yang sengaja ditutup dan tak diperlihatkan padanya. Daniel tak mengatakan jika Anisa pembohong. Tidak! Wanita itu hanya belum bisa terbuka. Kadang kecanggungan malah kerap tercipta ketika mereka berkomunikasi. Mungkin memang seperti ini hubungan pertemanan yang naik level ke arah romansa. Daniel tak mempermasalahkannya. Ia akan menunggu selama Anisa menginginkan waktu. “Ceritain semua sama aku, Sayang. Bagi kesedihan yang bikin Anisaku berubah. Tolong kembalilah menjadi Anisa yang aku kenal dulu. Aku menerima semuanya, Nis. Segala tentang kamu, aku akan menerimanya dengan baik. Jadi tolong, jadiin aku pegangan hidup kamu. Setidaknya, anggaplah aku seperti Zidan yang mengenal kamu sangat baik.” Mengenai Zidan, Daniel belum memberitahu sahabat mereka itu. Daniel merogoh ponsel di saku celananya. Memotret keadaan Anisa yang terbujur tanpa daya sembari memejamkan mata di atas ranjang pesakitan. Ia mengirimkan pesan pada Zidan. Menjelaskan seluruh pemberitahuan yang dokter katakan padanya tadi melalui sebuah voice note. “Kamu pasti bikin Zidan khawatir, Yang.” Daniel terkekeh memikirkan mungkin saja Zidan akan langsung mengambil penerbangan terdekat dimulai ketika pria itu membuka pesan darinya. Sejak dulu Zidan terlihat sangat menyayangi Anisa. Pria itu selalu menjadi garda terdepan ketika masalah datang menimpa Anisa dan Andrean. Zidan merupakan sosok kakak yang baik untuk Anisa. Meski tak pernah ada darah yang sama mengalir ditubuh mereka, namun Zidan memperlakukan Anisa melebihi kasih sayang seorang kakak kepada adik kandungnya sendiri. Hubungan persaudaraan keduanya tak dapat didefinisikan melalui kata-kata, karena memang tak ada kalimat yang bisa mendeskripsikan ketulusan Zidan. Ponsel Daniel berdering. Ia melihat nama Dayana tertera di layar ponselnya. “Sayang.. Sebentar ya.. Aku angkat telepon Dayana dulu. Aku pasti cepet balik.” Pamitnya lalu beranjak. Anisa masih terus memejamkan matanya. Wanita itu belum berani membuka kelopaknya selagi ada Daniel. Ia belum siap menceritakan apapun. Dalam kesadaran yang ia manipulasi agar Daniel tak mengetahuinya, Anisa sedang berpikir. Merancang banyak hal sehingga Daniel tak mencurigai alasan yang dirinya berikan nanti. Kening Anisa sempat mengerut kala mendengar suara pintu yang dibuka. Hanya beberapa detik sebelum suara Daniel masuk ke dalam gendang telinganya. “Sayang aku ada keperluan mendesak yang nggak bisa ditanganin sama orang lain. Aku pergi sebentar aja. Nanti aku minta orang buat jagain kamu ya..” lirih Daniel tak dapat menutupi kesedihannya karena harus meninggalkan Anisa sendirian di rumah sakit. “Aku sayang kamu. Aku chat kamu ya.. Aku suruh orang ambilin HP kamu juga nanti, Yang..” Terakhir, Daniel menjatuhkan bibirnya ke atas kening Anisa. Mengecupnya lama sebelum berlalu pergi dengan perasaan yang sangat berat. Setetes air mata turun. Bagaimana bisa Anisa melukai pria sebaik Daniel?! Kenapa ia sampai hati mengkhianati Daniel dan menjadikan dirinya kotor bersama Andrean?! Mengapa ia sungguh tak tahu diri sekali dalam membalas kebaikan Daniel. Kenapa ia tak bisa mencintai pria sebaik Daniel?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD