Pagi Andrean tak seperti biasanya. Hari ini berbeda— sangat. Setelah tahun-tahun terberat yang tak pernah mewujudkan senyumnya dikala hangat mentari menyapa, kali ini senyuman itu terbit menghiasi wajah tampan pria itu. Terbangun disamping Anisa dalam ranjang yang sama adalah mimpi-mimpinya setiap malam dan mimpi itu kini dapat ia rasakan secara nyata tanpa perlu melalui malam-malam yang panjang.
Andrean merapatkan pelukannya di tubuh Anisa. Ia terkekeh karena tak menemui sedikitpun respon dari sang pujaan. Mungkin saja Anisa merasa sangat nyaman hingga pergerakan kecil Andrean tak membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya.
Rasanya menghangatkan.. Seluruh hati Andrean terasa penuh hanya dengan melihat wajah ayu tanpa make up disampingnya. Andrean membelai rambut Anisa, menyematkan surai itu ke belakang telinga. Keinginannya untuk mencium kening Anisa tak lagi bisa ia tahan. Ia lantas merundukkan kepalanya, mendaratkan kecupan pada kening wanita yang sangat ia rindukan.
Bukan lagi sangat, melainkan benar-benar sangat ia rindukan selama ini. Sosok malang yang beberapa tahun silam pernah ia tinggalkan karena harus memenuhi abdinya sebagai seorang anak. Dulu, ia sangat ingin melepaskan pedas gas dari sol sepatunya. Menghentikan mobilnya untuk keluar dan menyambut wanita yang mengejarnya dengan pelukan. Kejadian itu merupakan masa terberat yang Andrean lalui. Sekuat tenaga ia mencoba menipu dirinya untuk abai dan terus melanjutkan mobil semakin kencang. Ia hanya takut goyah dan tak bisa meninggalkan wanita yang dirinya cintai.
Wanita di dalam pelukannya adalah wanita yang sangat ia cintai namun tak lagi bisa ia miliki. Andrean tahu benar alasan Anisa pindah ke kota yang sama dengannya. Ia tidak bodoh dengan tak melihat segala usaha Anisa. Tapi bagaimana bisa ia kembali jika luka yang ditancapkannya terlalu dalam? Alangkah tidak tahu malunya ia— sama seperti sekarang ini.
Anisa yang Andrean kenal merupakan wanita paling ceria yang pernah dirinya temui. Dan pada hari itu, sosok itu menangis tersedu-sedu memintanya untuk pulang ke dalam pelukannya. Andrean tak bisa. Ada janji pada sosok ibu yang harus ia tunaikan. Ia tak mungkin meninggalkan Semarang dan pergi memilih Anisa. Ia satu-satunya anak yang dimiliki keluarganya. Patuh adalah jalan yang harus Andrean pilih dan mengorbankan perasaannya sendiri.
Andrean tahu Anisa sering memperhatikannya diam-diam. Wanita itu kerap membantunya dari jauh. Menemani kesendiriannya meski ia jelas mengerti, setiap tatapan yang Anisa berikan adalah tatapan seribu kesedihan. Andrean tak pernah melewatkan apapun tentang wanitanya.
‘Wanitaku,’ batin Andrean melirih. Tak terasa, air matanya menetes kala mengatakan itu. Andrean meratapi segala penyesalan dan kebodohannya pada Anisa. ‘Sayang, please. Tolong maafin aku yang kerdil ini.’ Masih segar dalam ingatannya tentang apa yang Anisa bicarakan tepat setelah masa orientasi perkuliahan berakhir. Wanitanya memeluk sahabatnya erat sembari menangis sesenggukan. Andrean memejamkan mata, menggali kembali memori yang sempat menyesakkan dadanya.
Anisa membalikkan tubuhnya, berlari pada gerombolan tempat dimana Zidan berada. Air matanya yang bercucuran tampak, tak dapat disembunyikan dari orang-orang. Kala itu Zidan sendiri juga terlihat shock, seolah tak mengerti mengapa Anisa tiba-tiba memeluknya.
“Nis, kenapa?!” Di dalam pelukan Zidan, Anisa terisak pilu sembari membenamkan kepala di atas d**a pria itu.
“Akhirnya gue nemuin dia, Dan. Gue nemuin Andrean. Dia ada disini. Diantara kita.” Zidan mengerti benar apa yang dikatakan adik kecilnya. Ia mendengarnya dengan baik bahwasanya sosok itu telah ditemukan diantara banyaknya mahasiswa baru. Akhirnya Zidan membalas pelukan Anisa, tersenyum lega tak menyadari jika tangisan wanita yang telah ia anggap seperti adik sendiri itu ternyata bukanlah tangisan kebahagiaan.
“Nis.. Andrean udah ketemu, kenapa lo malah nangis? Lo belum siap ngomong sama dia?” tangis Anisa justru semakin menjadi. Ia tak menghiraukan tatapan bertanya teman-teman Zidan.
“Dan, gue nggak sanggup.” Ucap Anisa terbata.
“Whats up?” Zidan melepaskan pelukannya, “tell me Nis, ada apa sebenernya?” Ia menatap Anisa penuh selidik.
Anisa kembali memeluk Zidan dan terus mengeluarkan air matanya hingga membahasi kemeja putih yang Zidan kenakan. “Di-Dia..” rasanya Anisa tak sanggup mengatakan kenyataan yang dirinya temui. Ia melihat Andrean tak sendiri, melainkan bersama seorang wanita. “Andre..”
“Iya Nis, Andre. Andre kenapa?”
“Andre udah punya pacar lagi disini, Dan. Dia keliatan happy banget sama pacarnya.” Zidan yang mendengar itu lantas ikut menangis semakin mempererat pelukannya ditubuh Anisa yang malang.
Selama ini kedua orang itu tak pernah menyadari jika Andrean mengetahuinya. Menyaksikan langsung percakapan memilukan tersebut dengan hati yang sama hancurnya. Pria itu ada disana karena mengejar Anisa dan air matanya keluar begitu saja.
Andrean membuka matanya, mengerjap sembari menghalau cairan yang sepertinya kembali ingin keluar. Ia mengubah mimik wajahnya setelah mendengar Anisa melenguh. Wanita itu terbangun dengan kedua mata yang langsung menghunus Andrean hingga benar-benar menurunkan gerimis dari mendung yang menghiasi kacamata dunia Andrean.
Anisa memisahkan tubuh polos keduanya. Ia menjauhkan dirinya dari Andrean dan membuat pria itu hanya bisa pasrah menerima pilihan Anisa. Andrean menatap atap putih indekos Anisa, mencoba mengalihkan rasa sakitnya karena merasa ditolak setelah apa yang mereka lalui semalam.
“Ndre Sorry. Maaf karena bikin lo selingkuh dari Anisa. Gue begok banget Ndre. Harusnya gue nggak keseret sama permainan lo!” ucap Anisa tegas namun dengan sorot mata yang memancarkan kesedihan.
“No! Gue yang salah disini karena ngelakuin semua ini sama lo, Nis.” Sama dengan halnya Andrean yang salah paham terhadap perilaku Anisa, wanita itu pun memikirkan hal yang serupa. Anisa seolah mendengar penyesalan dalam nada suara yang Andrean keluarkan. Anisa terpukul dan semakin merasa hina.
Apa ia sebuah kesalahan?
Apa yang mereka lakukan semalam merupakan kesalahan sehingga Andrean berkata demikian?! Anisa merasa miris karena dinilai sebagai kesalahan di dalam hidup laki-laki itu. Rasanya seperti dialah tersangka yang membuat semuanya bisa terjadi semalam.
Anisa membuang muka. Ia menuruni ranjang, memungut pakaiannya dan mengenakannya kembali tanpa mau melihat Andrean. Ia terus menundukkan kepala, berjalan menuju kamar mandi. "Lo mending pulang Ndre!” Anisa mengusir Andrean, “anggep semuanya gak pernah terjadi. Kita lupain semuanya dan kembali ke posisi masing-masing!” tegas Anisa sebelum membanting keras pintu digenggamannya.
Pertahanan Anisa runtuh. Air mata kembali turun seperti keran yang bocor. Semuanya terasa menyakitkan. Entah apa yang ada di otaknya. Kenapa ia melakukan semua ini. Mengapa muncul harapan dan berekspektasi lebih hanya karena sebuah one night stand, terlebih laki-laki itu jelas-jelas mabuk.
Anisa menyalakan shower. Ia bertumpu pada keramik dihadapannya sebelum terduduk lemah. Dengan pakaian yang masih lengkap Anisa menangis disana sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding berbahan keramik tersebut.
“Pulang Ndre!” teriak Anisa dari dalam. Ia benar-benar sedang tak ingin melihat wajah Andrean. Anisa takut lepas kendali dan malah mengiba kepada laki-laki itu.
Setelah mendengar adanya pintu yang tertutup ia keluar. Anisa membaringkan tubuhnya ke atas saksi bisu kegiatannya bersama Andrean semalam, tak peduli jika pakaiannya mungkin akan membasahi ranjangnya. Anisa terus menangis sembari memegangi denyut nyeri yang menyerang dadanya, hingga tanpa ia sadari wanita yang malang itu kembali terlelap dengan keadaan yang memprihatinkan.