Tamu yang Tidak Diundang

1146 Words
Anisa beruntung memiliki Zidan di dalam hidupnya. Pria itu selalu mengerti apa yang dirinya butuhkan dalam waktu-waktu tertentu. Seperti sekarang ini contohnya. Ia tengah berada di dalam dekapan hangat sahabatnya. Menelusupkan kepalanya di atas d**a pria itu. "Its okay.. Nggak apa-apa. Nggak boleh panik. Minggu depan kita cek ke dokter. Bisa aja Andrean cuman nakut-nakutin aja, Nis." Anisa merasakan ketulusan. Apalagi saat Zidan mencium pelipisnya. Satu fakta yang tidak pernah ia rasakan jika Daniel yang melakukan hal sama. Kedamaian yang ia cari hanya dapat dirinya peroleh dari Zidan dan Andrean. Salah satu diantaranya kini bahkan berubah menjadi monster yang mengerikan. Hanya tersisa Zidan seorang. "Jangan nangis lagi, oke?! Anisa yang gue kenal kuat!" Anisa menampar d**a Zidan. "Gue cuman manusia biasa!" ucapnya setengah kesal. Siapapun, jika berada di posisinya pasti akan melakukan hal yang sama. Tidak ada manusia yang akan baik-baik saja ketika sumber traumanya terulang. “Nggak ada yang bilang lo Zombie, Anisa.. Zombie nggak bisa ngomong apalagi cerewet kayak lo ya!” Guyonan receh itu siapa sangka dapat membuat Anisa tertawa. Ketakutan dan rasa sedih yang tadi menyergapnya menguap bersama celotehan Zidan. Entah jadi apa dirinya tanpa Zidan. Anisa merasa bisa kehilangan siapapun, asal tidak sahabatnya yang satu ini. Ia terlalu terbiasa dengan kehadiran pria yang tengah memeluknya. “Jangan tinggalin gue, Dan. Apapun yang terjadi, please, jangan pernah pergi buat ninggalin gue sendirian tanpa lo.” “Lo aneh, Nis!” kegugupan itu berhasil Zidan tutupi dengan sangat baik. “Kemana lagi gue mau pergi. Kuliah aja belom kelar-kelar. Satu-satu, nggak bisa langsung even gue udah bad mood banget sama tugas kampus.” “Janji ya, walaupun lo udah punya cewek juga nggak boleh ngabaiin gue?!” “Kapan emang gue kayak gitu?! Lo nih.. Mentang-mentang udah punya Daniel, malem minggu gue udah tiga kali dianggurin!” Anisa mencubit pinggang Zidan hingga pria itu memekik keras. Potongan cubitannya yang kecil sungguh terasa perih meski Zidan menggunakan kaos. “Kenyataan ini! Ngakunya lo sadis juga tauk!” “Bodo! Suruh siapa nggak mau ikut diajakin.” Anisa melepaskan pelukan mereka. Ia melipat tangannya lalu menatap Zidan penuh selidik. “Weekend kemarin-kemarin lo kemana?! Kenapa tiap gue chat nggak bales?” Anisa mendekatkan wajahnya. Matanya menyipit menuntut jawaban. “Lo punya gebetan kan sekarang?!” “Kumpul kebo ya lo?!” “Zidan!” teriak Anisa karena Zidan menoyor kepalanya hingga punggungnya hampir terjatuh pada sofa yang mereka gunakan. “Kotor banget isi otak mentang-mentang..” Zidan adalah laki-laki yang menjaga segala ucapannya– terutama dihadapan Anisa. Ia tak mungkin keceplosan lalu mengatakan jika wanita itu telah berbuka puasa dengan Andrean, “udah punya Daniel.” ucapnya cepat mengisi ketimpangan kalimat yang dirinya jeda. “Diajarin apa aja sih sama cowok lo sampai tau kumpul kebo segala. Cek aja sana! Nggak bakalan lo nemu celana dalem sama BH. Ada juga punya lo noh!” Zidan berpura-pura sewot. Biasanya Anisa akan mencium pipinya sebagai sogokan agar ia tidak merajuk. "Bercanda Abang.." ujar Anisa. Ia mendaratkan kecupan maut yang membuat Zidan menghapus jejak bibir Anisa dari pipi kirinya. "Kok diapus sih!" "Bekas Daniel!" "ZIDAAAAN!" Anisa memukuli tubuh Zidan. Ia melampiaskan kekesalannya. Mencari cara agar ia terus bisa merusak kesucian pipi yang tengah Zidan jaga saat ini. "Ampun!" Zidan tertawa kegelian. Anisa menggelitik dirinya seperti orang yang ingin membunuhnya, "nggak maauuuu!! Nanti Bang Niel marah, Neng! Abang kena gebok!" "Daniel nggak gitu, Zidan!" Siang itu Anisa habiskan dengan bersundagurau bersama kakak kesayangannya. Sosok yang lebih pantas disebut sebagai saudara laki-laki dibandingkan seorang sahabat. Lebih dari itu, Zidan sangat berarti. "YAKIN NGGAK mau nginep apart aja?!" tanya Zidan memastikan. Ia menurunkan kaca mobilnya, memperhatikan tempat parkir indekos Anisa yang tampaknya sepi. "Anak-anak kayaknya pada nggak balik kos tuh?!" "Nggak," Anisa ber-ah di akhir kalimatnya. "Ada orang Zidan.. Tuh tiga mobil. Punya Dhanes yang itu, anak IKOM." Anisa lantas menjelaskan jika kemungkinan Dhanes mungkin akan pergi hingga larut malam, tapi pria itu selalu pulang. Katanya ia tidak terbiasa tidur di tempat selain kamarnya. "Masih ada juga spesies cowok kayak gitu." "Hellooow!" Anisa menjentikan jarinya di depan wajah Zidan. "Bapak kalau nginep disini alasannya banyak. Saya yang harus pindahan mendadak ya, Pak. Mohon untuk tidak amnesia!" Sungguh amazing. Bisa-bisanya ada yang lupa dengan kelakuannya sendiri yang serupa. “Dhanes is Zidan KW dua!” titik tidak ada koma. Mereka hanya akan tertidur di tempat yang mereka yakini sebagai rumah. Selebihnya mungkin hanya dijadikan sebagai sarana main-main belaka. “Mbaknya.. Ibunya, Omanya sekalian. Kita ini beda jenis kelamin. Saya laki-laki, anda perempuan. Sampai sini mengerti ya?! Kalau di apartemen kamarnya dua. Disini, udah kamarnya sempit ranjangnya minimalis. Jadi sandwich nanti kita, Mbak. Khilaf yang ada.” Satu lagi yang membuat Zidan masuk ke dalam kategori laki-laki baik. Pria itu sangat menghormati wanita. Semua wanita– tidak hanya diri Anisa yang notabenenya adalah sahabatnya. Meski berasal dari Ibu Kota dan memiliki aksen bahasa yang kekinian, Zidan sama sekali tak pernah tergiur dengan pergaulan bebas masa kini. Sekedar bir saja pria itu tak menenggaknya. Alasan kesehatan dijadikan patokan agar teman-temannya memaklumi, padahal sangat kontradiktif dengan kebiasaannya yang gemar sekali mengkonsumsi minuman bersoda. “Kena ultimatum baginda raja yang terhormat nanti saya.” Pria yang dirujuk Zidan kali ini merupakan Papa Anisa. “Anaknya disuruh jagain malah dirusak. Saya nggak sepayah itu, Ibu. Jadi lebih baik mencegah dibandingkan mengobati.” “Lagi iklan obat kuat ya?” Toyoran Zidan meleset. Anisa berhasil menghindarinya, “nggak kena!” Wanita itu mengejek Zidan sebelum menggunakan tangan kirinya untuk membuka knop pintu. “Terima kasih Bapak Zidan. Sudah melalui Zidan Pay, ya! Bintang lima dari saya pokoknya, Pak.” ujarnya lantas terkikik karena berhasil membuat Zidan mengepalkan tangan ke arahnya. “Jangan lupa telepon Daniel abis masuk kamar. Ntar nyap-nyap lagi.” Ngomong-ngomong soal Daniel, pria itu tiba-tiba bertolak ke Jakarta untuk menghadiri rapat penting dengan pemegang saham disana. Perbedaan pekerjaan mereka memang cukup menyulitkan. Anisa dan Daniel serasa berhubungan dengan jarak jauh. Telepon genggam menjadi sarana utama untuk mengetahui kabar masing-masing. Tentu saja itu merupakan bagian lain dari mulut sahabatnya, Zidan– si penyumbang informasi teraktual Daniel. “Beres Bos.. Jangan sampai ngibul. Lo bilang mau curhat tentang cewek akhir pekan.” tagih Anisa karena memang Zidan menjanjikannya hal tersebut. “Kalau nggak ketiduran.” “Gue teror! Bodo amat!” Tentu saja Anisa tak akan melepaskan perkembangan terbaru mengenai kehidupan sahabatnya. Suara klakson menghentikan cuitan mereka di pinggir jalan. Zidan harus segera mengenyahkan mobilnya jika tidak ingin pengendara dibelakang keluar dan memaki-maki dirinya yang menggunakan Plat B. Kadang mereka dinilai tidak tahu aturan. “See you senen.. Gue ada kencan besok.” Jari tengah Anisa menyembul. Enak saja. Sudah tidak ada Daniel, Zidan juga menghilang lagi di akhir minggu. Nanti dia dengan siapa dong. Anisa menghela nafasnya. Ia berjalan menuju gerbang rumah tempatnya menyewa kamar beberapa tahun ini. “Nis..” Tubuh Anisa seketika menegang. Ada tamu tak diundang datang menghampirinya ternyata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD