"Ya ampun, sesak banget kemeja ini." Padma menghembuskan napasnya yang tertahan. Akibatnya, beberapa kancing kemeja yang sebelumnya memang terpasang ala kadarnya pun menganga. Fixed. Kemeja ini tidak bisa dikenakan.
Padma membuka lemari. Ia bermaksud mencari kemeja lain dari tumpukan pakaian. Kalau untuk bawahan, ia sudah menemukannya. Kulot lamanya ini berpinggang karet. Jadi aman untuk ukuran pinggangnya yang sekarang melebar. Baru saja bermaksud mencari kemeja lain, pintu kamarnya diketuk.
"Siapa?" Padma bersedekap di depan lemari yang terbuka. Melindungi bagian depan tubuhnya yang belum tertutup sempurna.
"Aku, Mbak Ma. Nunik."
Sepupunya rupanya.
"Sebentar ya, Nik." Padma membuka pintu kamar dengan satu tangan melindungi area dadanya. Di ambang pintu Nunik tersenyum manis. Sepupunya ini memang memiliki ekspresi ramah sedari dulu. Kepulangannya semalam disambut hangat oleh Ninik. Berbanding terbalik dengan ibunya yang jelas-jelas tampak keberatan.
"Kenapa bajunya, Mbak?" Nunik menahan tawa. Penampakan Padma mirip dengan iklan minyak ikan zaman dulu. Kemejanya kesempitan.
"Tidak usah banyak basa basi kamu. Tawamu sudah menjelaskan segalanya." Padma menjawil hidung bangir Nunik.
"Maaf, Mbak. Saya cuma bercanda. Eh, salah juga. Tidak boleh membawa-bawa fisik dalam candaan ya? Maafkan diriku ya, Mbak?" Nunik merapatkan kedua tangannya ke d**a. Meminta maaf dengan ekspresi sedih berlebihan.
"Heleh, lebay kamu." Padma menoyor kening Nunik pelan. Sedari kecil ia memang sayang pada sepupunya ini. Rentang usia mereka yang terpaut jauh, membuatnya menyayangi Nunik seperti adiknya sendiri.
"Kamu tidak ke toko, Nik? Sudah pukul delapan lho." Sambil membongkar lemari Padma mengingatkan Nunik. Dulu ayahnya selalu membuka toko pukul delapan pagi setiap harinya.
"Sudah buka dari tadi dong, Mbak. Aku ke sini karena Pak Sapto dan Pak Nurdin sedang memuat barang-barang pesanan Mas Tirta. Daripada menunggu di toko dan diomelin ibu, lebih baik aku di sini saja. Ibu itu 'kan tidak bisa melihat orang menganggur. Ada saja yang salah di matanya." Nunik merebahkan tubuh ke ranjang. Ia lebih suka bercengkrama dengan Padma daripada terus debat kusir dengan sang ibu.
"Ya sudah kalau maumu begitu. Haduh, semua kemejanya kecil-kecil. Yang ini pun membuat Mbak sesak napas. Padahal sepuluh tahun lalu kemeja size XL ini kebesaran saat Mbak pakai." Padma menutup lemari. Sepertinya ia harus kembali mengenakan kemeja kotornya semalam untuk kembali ke kontrakan.
"Ya iyalah. Namanya juga baju dari zaman Atok Adam." Nunik terkekeh.
"Eh, aku ada jaket training olah raga yang lumayan besar. Pasti Mbak muat memakainya. Aku ambil sebentar ya, Mbak." Nunik keluar dari kamar. Sejurus kemudian ia kembali dengan sebuat jaket hitam dengan les putih di bagian lengan.
"Nih, coba Mbak pakai. Masih cocok kok warnanya dengan kulot hitam Mbak Padma." Nunik memberikan jaket pada Padma.
"Oke, Mbak coba dulu ya?" Padma melebarkan pintu lemari. Ia kemudian menjadikan pintu tersebut sekat untuk berganti pakaian. Untungnya jaket hitam ini pas dan nyaman sekali saat ia kenakan.
"Nah, keren 'kan?" Nunik mengacungkan jempol.
"Bentar, Mbak. Ada telepon dari Pak Maman." Nunik meraih ponsel di sisi ranjang.
"Ya, Pak. Sudah mau berangkat ya? Semua barang sudah dicek ulang oleh Pak Santo kan? Hah, Pak Maman mau ke rumah sakit? Jadi yang mengantar barang-barang ini ke PT Karya Graha Mandiri siapa?" Nunik berjalan hilir mudik dengan ponsel di telinga.
"Iya saya tahu, anak Pak Maman sakit. Tapi janji kita ke Mas Tirta ini bagaimana? Pak Maman tahu sendiri 'kan adat Mas Tirta itu bagaimana? Mana Bang Iwan dan Pak Sukri sudah jalan duluan lagi." Nunik kebingungan.
"Mbak saja yang mengantar barang, Nik. Kasihan Pak Maman kalau bekerja tapi pikirannya tidak tenang. Membawa truk besar lagi." Padma membisiki sisi telinga Nunik.
"Ya sudah, Pak. Semoga anak Pak Maman lekas sembuh ya." Nunik menutup telepon.
"Apa Mbak Padma bisa mengendarai truk besar?" Nunik ragu.
"Kamu lupa kalau dulu Mbak selalu ikut dengan Bapak mengantarkan pesanan, sebelum kita punya banyak supir? Kadang-kadang Mbak lo yang gantian menyopiri kalau Bapak capek. SIM Mbak juga B1. Yang artinya Mbak boleh mengendarai truk yang beratnya lebih dari 3500 kilogram." Padma menyakinkan Nunik. Ia tidak mau Nunik sampai melaporkan masalah ini pada ayahnya. Karena bisa dipastikan, bahwa ayahnyalah nanti yang akan mengantarkan pesanan.
"Tapi aku lapor Pak De dulu ya?" usul Nunik.
"Jangan, Nik. Kasihan. Kaki Bapak sedang sakit. Rematiknya kambuh. Jangan diganggu dengan hal yang bisa kita tanggulangi." Padma menggeleng keras. Nunik masih tampak bimbang.
"Sudah, percaya saja pada, Mbak. Asal ada orang yang bisa melansir barang, semua bisa Mbak urus. Kamu tenang saja. Siniin surat jalan dan bonnya?" Padma mengulurkan tangan.
"Ya udah. Ayo kita ke toko." Nunik mengalah. Setelah Padma mengambil tas, beriringan keduanya berjalan menuju toko. Pak Santo dan Pak Nurdin tampak sudah siap siaga. Keduanya berdiri di sisi kanan dan kiri truk.
"Ini surat jalan dan bon fakturnya." Nunik memberikan beberapa lembar kertas pada Padma.
"Antar barang-barang dengan selamat dan tepat waktu ke proyek calon suamiku ya, Mbak Ma." Nunik berpesan sambil cengengesan.
"Calon suami? Kamu benar-benar suka pada Mas Tirta ya, Nik?" Padma menggeleng-gelengkan kepalanya. Bik Parni benar. Nunik sungguh tergila-gila pada laki-laki yang lebih cocok menjadi pamannya.
"Iya, Mbak. Aku suka pake banget pangkat tiga pada Mas Tirta." Binarnya mata dan sumringahnya air muka Nunik telah menjelaskan semuanya.
"Tapi rentang usia kalian sangat jauh, Nik. Mas Tirta bahkan lebih tua satu tahun dari dari Mbak. Takutnya kalian berdua berbeda pola pikir."
"Kan belum dijalani, Mbak. Lagi pula seumuran juga belum tentu cocok pola pikirnya. Contohnya, ya Mbak Padma dan Mas Dimas. Usia hanya terpaut empat tahun. Tapi rumah tangga Mbak bubar juga bukan? Ditikung oleh anak delapan belas tahunan lagi. Laki-laki itu biasanya lebih suka daun muda sih kata orang." Nunik membantah tanpa bermaksud menghakimi. Ia hanya memberi contoh yang nyata.
"Ya sudah kalau menurutmu begitu. Mbak hanya memberikan sudut pandang padamu." Padma menepuk pelan bahu Nunik. Ya, siapa tahu Nunik beruntung. Jalan hidup tiap orang berbeda-beda.
Beberapa saat kemudian Padma sudah meluncur di jalan raya dengan Pak Santo dan Pak Nurdin di sampingnya. Sekitar lima belas menit berkendara, Padma melirik Pak Santo terlihat sangat gelisah di sampingnya. Ia berkali-kali mendecakkan lidahnya.