Suasana di ruang tamu seolah membeku. Radit berdiri di depan pintu, genggaman tangannya pada gagang semakin erat. Aruna berdiri di belakangnya, wajahnya pucat dan matanya basah. Rama berdiri siaga, masih memegang kayu panjang yang tadi ia ambil untuk berjaga. “Dit… jangan,” suara Aruna bergetar, nyaris berbisik. “Aku takut.” Radit menoleh sekilas ke arah istrinya, sorot matanya penuh dilema. Ia tahu membuka pintu itu bisa membawa malapetaka, tapi ia juga tahu bahwa membiarkan suara dari masa lalu itu tetap di luar hanya akan membuat kebenaran terus menjadi bayangan yang menghantui. Dengan napas panjang, Radit memutar gagang. Pintu berderit, terbuka perlahan. Dan di sana berdiri seorang perempuan dengan rambut tergerai, wajahnya tirus namun cantik dengan mata yang menyimpan luka mendala

