Denis melangkah keluar dari balik panggung dengan penuh percaya diri, memancarkan aura kewibawaan yang langsung menguasai ruangan. Wajahnya yang tampan disertai senyum ramah menciptakan kesan yang memikat semua orang di sekitarnya. Ketika ia berdiri di podium, Denis dengan tenang mulai memaparkan program tambahan yang diberikan kepada ketiga pemenang lomba perancang busana. Ia menjelaskan bahwa hadiah istimewa ini merupakan bentuk apresiasi dari Komisaris perusahaan, sebuah pengakuan atas bakat luar biasa yang dimiliki para pemenang.
Denis menggunakan gaya komunikasinya yang begitu teratur dan elegan, berhasil memikat perhatian para wartawan yang hadir. Dengan kata-kata yang tersusun rapi dan intonasi yang meyakinkan, ia menyoroti citra positif Perkasa Tekstile Industries, sebuah perusahaan yang berkomitmen untuk mendukung perkembangan talenta muda dan memberikan peluang luar biasa bagi para perancang busana berbakat sehingga mereka memberikan hadiah tambahan kepada pemenang untuk mengikuti summer course di Milan. Dalam hitungan menit, Denis berhasil mengarahkan fokus media sepenuhnya pada pesan yang ia sampaikan, membangun kesan bahwa perusahaan ini benar-benar berdedikasi pada pengembangan industri mode di Indonesia. Para wartawan, yang awalnya mungkin datang dengan berbagai agenda, kini terpaku pada citra positif yang Denis ciptakan, mengabaikan segala isu lain dan tenggelam dalam pesona gaya komunikasi Denis yang luar biasa.
Deni Perkasa yang duduk di sofa paling depan nampak kagum pada cucunya, dia berbisik pada istrinya Maria
" Ternyata cucu kita hebat banget ya gaya komunikasinya, sangat runtun dan terperinci, pantas dia bisa jadi youtuber lifestyle. Sepertinya aku tidak perlu takut, menyerahkan perusahaan padanya."
" Apakah Denis uda bersedia, Pa? Bukannya dia belum mau terlibat di perusahaan?"
" Saat ini, dia memang belum mau, tapi alasannya bagus sih, dia ingin memanfaatkan masa mudanya untuk cari penghasilan dari youtube dulu, setelah itu baru dia akan terjun di perusahaan. Katanya Denis sih saat usia 28 atau 29 dia baru akan terlibat di perusahaan. "
" Tapi apakah dia langsung bisa, mengurusi perusahaan, kalau tidak belajar dulu dari dasar?" Bisik Maria perkasa pada suaminya.
" Makanya sebagai langkah awal biar dia belajar, aku tunjuk Denis sebagai penanggung jawab program tambahan ini, biar dia mau terlibat dikit-dikit di perusahaan, belajar tanggung jawab dan handle masalah, apalagi kan ini sesuai dengan bakatnya Denis." kata Deni pada istrinya.
Maria yang lembut hati itu lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tatapan mereka kembali ke panggung, menatap Denis yang sekarang sedang mempersilahkan ketiga pemenang untuk naik ke atas panggung dan menerima secara simbolis piagam hadiah yang akan diserahkan langsung oleh Deni sebagai komisaris PT. Sejahtera Perkasa Group
Saat pemenang di panggil ke atas panggung, karya mereka dipampang di layar led besar berikut video saat hasil karya baju-baju indah itu diperagakan di malam lomba.
Ketika tiba nama Kanaya dan hasil gambarnya di perlihatkan, timbul bisik-bisik dari wartawan dan para tamu undangan lainnya, apalagi ketika mereka melihat Kanaya yang berdiri di atas panggung, adalah orang yang sama yang memeragakan baju hasil rancangannya sendiri. Tepuk tangan membahana langsung terdengar ketika Kanaya menundukkan kepalanya memberi hormat kepada para undangan saat dia naik ke panggung.
Mendengar tepuk tangan membahana itu sudut lainnya , Dian, ibu dari Aliya, pemenang pertama, tampak jelas menunjukkan kemarahannya. Ia berdiri di bawah panggung, wajahnya menyusut penuh kebencian. Dian mencengkram erat pinggir bajunya, sambil memaki dalam hati.
"Sia-sia saja aku telah menyabotase model si gadis bisu ini. Aku bahkan mentransfer uang lebih banyak supaya dia tidak hadir, namun si bisu itu tetap berani tampil dan menunjukkan dirinya di atas panggung. Betapa tidak tahu malunya dia, sudah bisu, sok cantik lagi."
Kemarahan Dian semakin bertambah ketika mendengar bisik-bisik wartawan yang ada di dekatnya " Kenapa pemenang ketiga itu tidak jadi pemenang pertama ya? Padahal rancangannya sangat bagus dan detail."
Dian hampir saja kehilangan kesabaran dan berencana untuk menghardik wartawan-wartawan tersebut. Namun, sebelum dia sempat bertindak, Edwin segera berusaha menenangkan situasi. "Itu adalah keputusan dewan juri, Pak. Ada berbagai aspek yang kami pertimbangkan dalam penilaian," ujar Edwin dengan nada tegas, berusaha menjaga integritas acara dan menghindari diskreditasi terhadap hasil lomba demi citra perusahaan.
Salah seorang wartawan senior, yang tampaknya sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia mode, menyuarakan pendapatnya dengan keras, "Maaf Pak Edwin, saya sudah lama berada di dunia mode dan saya harus mengatakan ini, hasil penjurian kali ini tampak sangat jomplang. Juara pertama, menurut saya, karyanya seperti hasil gambar dari murid fashion yang mengumpulkan tugas akhir tanpa karakter. Sementara pemenang ketiga benar-benar menunjukkan karakter dan kualitas. Ini adalah pendapat pribadi saya, maaf jika terlalu blak-blakan."
Makin mendidih hati Dian, mendengar hasil karya anaknya dikatain seperti hasil murid sekolah fashion yang tidak berkarakter, dia langsung berpaling pada wartawan itu
" Dia nggak bisa jadi pemenang pertama karena dia bisu... Tau nggak bapak arti BISU, artinya dia nggak bisa bicara , gimana bisa mewakili citra perusahaan Tektile sebonafide Perkasa. Tau apa kamu! dasar wartawan tak punya otak!" Makinya.
Wartawan senior di bidang mode itu tentu tidak mau dimaki , dia membalas " Ibu ini siapa? Pasti salah satu pemenang lomba juga ya? Ibu ini sungguh tidak tahu mode dan ibu telah menghina diri saya, Siap-siap aja ya Bu, kelakuan ibu ini bisa merugikan anak ibu, kalau saya perhatikan, pasti anak ibu itu yang juara pertama ya, karena wajah kalian sedikit mirip" Katanya langsung mencatat ke buku kecilnya.
Dian terkejut mendengar balasan wartawan itu, hatinya kebat-kebit karena takut karir Aliya terpengaruhi sifatnya yang tidak bisa menahan emosi, tapi nasi sudah jadi bubur, kata-kata itu sudah dia ucapkan , wartawan itu sudah tersinggung. Jadi sekarang di otaknya dia sedang berpikir, bagaimana membuat nasi yang sudah menjadi bubur itu, bisa menjadi bubur yang lezat .
Dengan cepat, Dian menyadari situasinya dan berusaha memperbaikinya. Wajahnya berubah menjadi lebih ceria, dan dia berkata dengan senyum yang dipaksakan, "Maaf Pak, maksud saya bukan seperti itu. Saya hanya terlalu emosional sebagai ibu yang ingin anaknya menjadi yang terbaik. Saya tarik kembali kata-kata saya yang tidak pantas. Sebagai permintaan maaf, saya akan memberikan voucher digital senilai dua juta untuk belanja di perusahaan kami. Kebetulan, saya adalah istri dari pemilik Suzuya Departement Store," ucap Dian dengan nada manis, berusaha menebus kesalahannya.
Namun, wartawan itu hanya menatapnya dengan tajam, membuat suasana di sekitarnya menjadi sunyi senyap. Seolah waktu berhenti berdetak, semua mata tertuju pada mereka, menunggu reaksi sang wartawan.
Hati Dian berdebar kencang, seolah menunggu vonis dari hakim yang tak terlihat. Apakah wartawan itu akan menerima permintaan maafnya dan membiarkan semuanya berlalu begitu saja? Ataukah kata dan perbuatan Dian yang telah terucap akan membawa malapetaka bagi karir Aliya?