Bidak Catur

1320 Words
Wartawan itu menatap Dian dengan tatapan sinis sebelum menjawab, "Ibu pikir martabat saya bisa dibeli dengan voucher dua juta? Maaf, Bu, saya tidak butuh voucher itu, dan saya juga tidak peduli siapa ibu, meskipun ibu adalah istri pemilik department store terkenal atau bahkan seorang ratu Inggris sekalipun. Kata-kata ibu tadi sudah sangat melecehkan martabat saya sebagai wartawan. Saya berbicara blak-blakan dengan Pak Edwin dari sudut pandang saya sebagai wartawan mode selama puluhan tahun. Jujur saja, karya anak ibu sangat dangkal dan tidak berkarakter, tapi penjelasan Pak Edwin bisa saya pahami. Pasti ada aspek lain yang dinilai oleh perusahaan sehingga anak ibu bisa menang. Jadi, tolong jaga kata-kata ibu kepada kami, para awak media. Tidak semua hal bisa dimaafkan dengan uang." Dian tampak tersipu malu, menyadari kesalahannya. Melihat situasi yang memanas, Edwin segera mengambil alih, "Mari, Pak, kita ke depan. Sebentar lagi kita akan memasuki sesi tanya jawab. Bapak bisa bertanya langsung kepada para pemenang. Mungkin nanti bisa kita tetapkan satu kategori tambahan, yaitu Press Choice Award untuk salah satu pemenang," ujar Edwin, ide itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ia berharap, penghargaan itu bisa diberikan kepada Kanaya, yang menurutnya telah merebut hati semua wartawan. Ini juga menjadi cara Edwin untuk menebus perasaan bersalahnya, meskipun hadiah itu mungkin harus dia keluarkan dari kantong pribadinya. Di panggung tampak Denis duduk di paling ujung, lalu menyusul Aliya sebagai juara pertama yang duduk di sampingnya dan menggeser kursinya mendekati Denis , semakin dia bergeser mendekati Denis, Denis juga ikut bergeser ke kiri menjauhi Aliyah, lalu Denis memandang Aliya dan berkata dingin "Duduk aja di tempatmu, jangan geser2 mendekatiku lagi." Mendengar nada dingin Denis, Aliya, tidak berani lagi menggeser duduknya dan hanya terpaku diam di tempat. Di samping Aliya, Dewi yang mendengar perkataan Denis, tersenyum simpul, lalu dia memandang Kanaya yang duduk di sebelahnya dengan tenang sambil berbisik pada Kanaya " Genit banget si Aliya, mau duduk dekat-dekatan dengan Denis, dia pikir Denis mau didekatin oleh cewek seperti dirinya. Denis itu uda terkenal playboy yang hanya mau tidur dengan model model cantik, tapi dia tak mau terikat." Kanaya hanya mengangguk dan tersenyum, dia tidak tahu pergaulan anak-anak kalangan kaya di Jakarta, hidupnya hanya dia habiskan di Bekasi, jadi info-info tentang Denis , tidak dia ketahui sama sekali. Kanaya memandang mamanya yang duduk di sampingnya yang akan bertindak sebagai penerjemah bahasa isyaratnya. Acara tanya jawab pun di mulai, Aliya sebagai juara pertama yang mendapatkan pertanyaan dari wartawan yang tadi di hina oleh Dian. " Kepada Aliya, darimana dapat ide membuat rancangan ini dan mengapa di beri judul Reborn of the Phoenix, sedangkan kalau saya lihat tidak ada satupun rancangan yang menunjukkan bentuk merak di rancangan anda itu?" Aliya tampak gelagapan, dia juga nggak tahu mengapa diberi judul itu, karena judul itu adalah pilihan dari mamanya yang kata mamanya keren, kalau ada phoenix nya " Supaya keren saja Pak." Akhirnya jawaban itu yang dikeluarkan oleh Aliya dan buat semua wartawan menggeleng-gelengkan kepalanya, mendengar jawaban yang sungguh dangkal itu. Sinta, Direktur Pemasaran, tertunduk malu mendengar jawaban Aliya yang dangkal. Saat pandangannya tertuju pada mertuanya. Deni, dia mengkerut karena Deni menatapnya dengan pandangan marah. Ini Aliya mungkin kepalanya nggak berisi otak hanya ada rangka aja, aduh menyesal aku melobi para juri lainnya untuk menjadikannya pemenang pertama, malu -maluin diriku saja, hujat Sinta dalam hati. Setelah itu, wartawan beralih kepada Dewi, pemenang kedua. "Dari mana Anda mendapatkan ide untuk rancangan berjudul Big is Beautiful?" tanya mereka. Dengan percaya diri, Dewi berdiri dan memutar tubuhnya yang berisi, memperlihatkan kebanggaannya. "Inspirasinya adalah tubuh saya sendiri. Saya ingin merancang pakaian yang indah dan stylish untuk orang-orang yang memiliki tubuh berukuran besar seperti saya. Selama ini, sangat sulit menemukan pakaian yang sesuai keinginan dan kebutuhan saya, jadi saya memutuskan untuk membuatnya sendiri," jawabnya. Para wartawan mengangguk setuju, menghargai kejujuran dan visi Dewi yang jelas tercermin dalam karyanya. Ketika giliran Kanaya tiba, seorang wartawan bertanya, "Kanaya, dari mana Anda mendapatkan inspirasi untuk rancangan Anyelir Kuning di Balik Rembulan?" Kanaya, yang tidak bisa bicara, menjawab melalui bahasa isyarat, yang diterjemahkan oleh ibunya, Karina. 'Suatu malam, saya duduk di depan jendela kecil di rumah kami. Saat itu, bulan sedang purnama. Saya sangat suka menggambar, dan malam itu saya menggambar sebuah bunga anyelir. Ketika saya mengangkat kertas gambar itu ke arah rembulan yang bersinar terang, bunga anyelir itu tampak begitu bercahaya dan indah. Pemandangan itu begitu memikat saya, sehingga saya merasa terdorong untuk menuangkan keindahan tersebut ke dalam rancangan saya' Kanaya kemudian melanjutkan sambil menunjuk ke layar LED di mana desain nya ditampilkan. 'Anda dapat melihat detail payet yang membentuk pola bunga anyelir di bagian leher, lalu di bagian pinggang terdapat payet besar berbentuk rembulan sabit. Saya memilih sabit karena kalau dibuat rembulan penuh tidak menunjukkan karakter dramatis yang saya inginkan. Sentuhan rembulan sabit lebih bisa mewakili rancangan saya sehingga terlihat lebih indah. terimakasih.' Seluruh wartawan bertepuk tangan mendengar penuturan Kanaya, yang tidak bisa berbicara tapi bisa dengan runtun menjelaskan darimana dia mendapatkan ide rancangan yang begitu indah itu. " Baik ada pertanyaan lanjutan lagi?" Tanya Denis Tidak ada lagi yang mengangkat tangan, lalu Denis dengan suaranya berkata " Ada hadiah tambahan lagi dari Direktur Operasional Perkasa Tekstile Industries, yaitu Press Choice Award yang merupakan pilihan dari wartawan semua, Karena ini adalah hadiah spontan yang diberikan , cara penilaiannya juga akan spontan saja, silahkan wartawan-wartawan yang hadir, memberikan dukungan nya kepada pilihannya dengan cara , menaruh sesuatu kepada ketiga pemenang ini, boleh bunga dekorasi di meja, atau apapun itu supaya kita bisa hitung siapa yang berhak mengantongi Press Choice Awards ini. Silahkan Bapak- Ibu wartawan." Semua wartawan yang hadir, tampak mencabut satu rangkai bunga mawar yang yang di dekor mengelilingi panggung dan memberikannya pada Kanaya, mereka berjalan satu persatu menuju panggung dan memberikan bunga itu pada Kanaya yang menerimanya dengan terharu. " Dan pemenang Press Choice Award adalah Kanaya dan Pak Edwin Perkasa akan memberikan hadiah secara simbolis, Kepada Pak Edwin Perkasa, direktur operasional Perkasa Textile Industries, saya persilahkan menuju panggung." Edwin berjalan menuju panggung dengan gayanya yang tenang menghanyutkan, " Terimakasih kepada wartawan yang sudah memilih Kanaya sebagai pemenang Press choice award. Tadi spontan saja saya memberikan satu lagi kriteria pemenang ini dan seperti Pak Komisaris yang mengeluarkan dana tambahan dari kontong pribadinya, hadiah ini juga akan dari kantong pribadi saya. Jadi saya akan memberikan hadiah 10 juta rupiah kepada Kanaya. Semoga bisa dimanfaatkan dengan baik." Kata Edwin, dia lalu menyalami Kanaya Kanaya tersenyum dan memberi isyarat terimakasih kepada Edwin yang menggangguk sambil menepuk-nepuk bahu Kanaya. Dian yang duduk kembali di kursinya, tampak semakin kesal. Matanya menatap tajam ke arah Kanaya yang sedang menerima penghargaan dengan bunga-bunga mawar di tangannya. Sambil meremas ujung roknya, pikiran liciknya mulai bekerja. "Dasar gadis bisu, kamu mungkin bisa menang simpati dari para wartawan hari ini, tapi kamu tidak akan pernah bisa menang dari Aliya," gumamnya dalam hati, penuh dengan kebencian. "Kamu hanyalah gadis bisu dan miskin. Semua ini hanyalah permainan kecil bagiku." Dian tersenyum tipis, rencana besarnya jauh lebih dari sekadar memenangkan lomba ini. "Aliya harus menang di semua aspek, bukan hanya di atas panggung. Target utamaku adalah Denis Perkasa. Lomba ini hanyalah batu loncatan bagi Aliya untuk bisa dekat dengan Denis. Selama tiga bulan di Milan, Aliya harus bisa membuat Denis jatuh cinta padanya." Matanya berbinar penuh intrik, saat dia membayangkan masa depan yang diinginkannya. "Aku akan memastikan Aliya memakai semua cara untuk menjerat hati Denis. Dia harus menjadi menantu keluarga Perkasa, apa pun caranya. Ini baru permulaan." Dengan pikiran jahat yang terus berputar, Dian merasa lebih dari siap untuk menjalankan rencana besarnya. Dia tahu bahwa ini bukan sekadar permainan kecil, ini adalah pertempuran untuk masa depan yang ia inginkan. Tak ada yang bisa menghalanginya, bahkan seorang gadis bisu seperti Kanaya. Dian akan memastikan bahwa setiap langkah catur yang ia ambil membawa Aliya semakin dekat pada tujuan mereka yaitu menjadi menantu keluarga Perkasa. Dan jika itu berarti menghancurkan mimpi dan hidup orang lain, maka biarlah begitu. Dalam permainan ini, hanya ada satu pemenang, dan itu adalah dirinya dan Aliya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD