Apakah Ini Takdir ?

975 Words
Suasana di belakang panggung penuh dengan ketegangan. Para finalis berdiri berjejer, jantung mereka berdebar kencang saat menunggu pengumuman juara pertama. MC sengaja berhenti sejenak, menciptakan jeda yang menegangkan. Wajah-wajah para peserta tampak tegang, beberapa dari mereka menggenggam tangan mereka sendiri, sementara yang lain menatap lurus ke depan, berharap namanya akan dipanggil. "Juara Pertama adalah... Aliya Ahmad!" seru MC dengan suara menggelegar. Seorang gadis cantik di depan Kanaya segera melonjak gembira, memeluk model bule yang tadi memakai baju rancangannya .Kegembiraan terpancar dari wajahnya, sementara para finalis lainnya menahan napas, berharap nama mereka akan dipanggil berikutnya. "Juara Kedua, Dewi Saputri ," lanjut MC. Gadis yang duduk di sebelah Kanaya berdiri dengan wajah penuh kebanggaan. Sebelum melangkah ke depan, dia menoleh pada Kanaya dan berkata, "Aku pikir, kamu yang juara pertama, Kanaya. Rancanganmu sangat bagus." Senyumnya ramah. Kanaya membalas dengan senyuman tulus, mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya sebagai tanda syukur. dia tetap merasa bangga bisa sampai ke babak final. Setelah Dewi melangkah menuju panggung, Karina menepuk lembut bahu Kanaya. "Kamu adalah pemenang bagi mama, Sayang. Tidak apa-apa tidak menang, mama bangga padamu." Kanaya memberi isyarat dengan tangannya, 'Masih ada juara tiga, Mama. Mungkin itu aku.' Matanya bersinar dengan keyakinan, dan Karina tersenyum bangga. "Rasa percaya dirimu itu yang membuat mama paling bangga padamu," balasnya lembut. Tiba-tiba, suara MC kembali menggelegar, "Juara ketiga, Kanaya!" Karina berteriak penuh kegembiraan, "Naya... Naya... itu namamu disebut! Ayo, maju!" Dengan wajah sumringah, Kanaya melangkah ke depan. Hatinya penuh dengan rasa syukur, dan meski tidak menjadi yang pertama, kemenangan ini terasa manis. Saat after party , di sudut ruangan makan hotel berbintang itu, Karina dan Kanaya duduk berdua, jauh dari keramaian pesta kemenangan yang penuh dengan sorak-sorai dan tawa. Mereka menikmati makanan yang disediakan panitia dengan tenang, dalam diam yang sudah akrab bagi mereka. Tidak ada sanak saudara yang menemani, tidak ada teman yang merangkul bahu mereka dengan bangga. Hanya mereka berdua, ibu dan anak, saling berbagi kebahagiaan sederhana di tengah hiruk-pikuk yang seolah melupakan kehadiran mereka. Di tengah ruangan , pesta berlangsung meriah. Para pemenang lainnya dikelilingi oleh keluarga besar dan kerabat yang penuh sukacita. Aliya, sang juara pertama, dikerumuni oleh para petinggi Perkasa Tekstil, semua memberikan pujian dan perhatian padanya. Suara tawa dan percakapan riuh terdengar, namun semuanya terasa jauh dari Karina dan Kanaya. Mereka tidak asing dengan perasaan tersisih ini. Sejak Kanaya masih kecil, keterbatasannya membuat mereka sering kali terpinggirkan, diabaikan oleh dunia yang tidak siap menerima perbedaan. Karina tahu betapa kerasnya perjuangan mereka untuk sampai ke titik ini, sebuah kemenangan yang terasa manis, namun juga menyayat hati. Karena di balik semua kegembiraan itu, masih ada kenyataan pahit bahwa mereka selalu dianggap berbeda, tidak diperhatikan, dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. Karina menatap putrinya yang duduk di sampingnya, wajahnya memancarkan ketenangan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang sudah terbiasa dengan kesepian. Kanaya menikmati makanannya dengan tenang, seolah dunia di sekitar mereka tidak ada. Karina merasakan semburat haru dan bangga bercampur jadi satu. Meskipun dunia seakan menutup mata dan telinga terhadap mereka, Karina tahu bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih berharga yaitu cinta dan dukungan satu sama lainnya yang tidak tergantikan oleh apapun. Karina dan Kanaya dengan tenang duduk berdua, merayakan kemenangan mereka dalam kesunyian. Mereka mungkin tidak diperhatikan oleh orang lain, tapi mereka memiliki satu sama lain. Dan bagi Karina, itu sudah lebih dari cukup, dia tidak butuh siapa-siapa lagi di dunia ini. Dia hanya butuh Kanaya dan Kanaya hanya butuh dirinya. Lima belas tahun yang penuh perjuangan sudah mereka lewati dan bisa sampai di titik ini, perjuangan yang tidak mudah itu harus disyukuri. Tiba-tiba, suara baritone yang dalam terdengar, menggema di tengah keramaian, "Selamat, Kanaya." Karina berbalik, dan seketika jantungnya berdebar keras. Sosok pria dengan wajah simpatik itu tampak familier, seolah-olah terjebak di sudut ingatannya. Pria itu juga memandang Karina dengan mata yang menyipit, seolah berusaha mengingat sesuatu yang samar. "Selamat, Kanaya. Menjadi juara ketiga adalah pencapaian yang luar biasa. Rancanganmu benar-benar mengagumkan," Pria itu mengulang perkataannya sambil mengulurkan tangan untuk menyalami Kanaya. Kanaya menyambut uluran tangan itu dengan senyum tulus, sementara Karina tetap memandangi pria itu dengan perasaan tak menentu. Lalu, pria itu mengalihkan perhatiannya ke Karina, matanya bertanya-tanya, "Anda siapa, ya?" "Saya mamanya Kanaya," jawab Karina dengan senyum kecil, meski hatinya masih dipenuhi oleh perasaan aneh. Kenapa wajah pria ini begitu familiar? "Saya Edwin, Direktur Operasional Perkasa Tekstil," katanya, menjulurkan tangan untuk menjabat tangan Karina. Saat tangan mereka bertemu, ada sebuah getaran yang merasuk ke dalam diri Karina, seakan membawa kilas balik yang begitu nyata, kembali ke lima belas tahun yang lalu, di Stasiun Jatinegara. Kilatan ingatan itu menyerbu, dan tanpa sadar, kata-kata meluncur dari bibirnya, "Ida..." Mendengar nama itu, mata Edwin melebar. "Anda... wanita yang menyelamatkan Ida ?" gumamnya dengan nada yang hampir tak percaya. Sebelum Karina sempat merespons, Edwin tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan yang erat, begitu erat hingga Karina merasa sulit bernapas. Detik itu juga, Karina merasa seluruh dunia seolah berputar, terjebak dalam pusaran kenangan dan emosi yang begitu kuat, bingung dan terkejut, ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. " Papa... Papa, kenapa Papa peluk Tante ini?" Suara seorang gadis remaja tiba-tiba terdengar dari belakang tubuh Edwin, memecah momen yang menyesakkan itu. Edwin segera melepaskan pelukannya dengan gugup, lalu tersenyum lebar, meski masih ada jejak emosi di wajahnya. "Emma, sini... Papa kenalin kamu sama Tante yang pernah menyelamatkan hidupmu dulu." Karina terdiam, memandang gadis remaja yang kira-kira berumur 15 tahun yang kini berdiri di hadapannya. Gadis itu memiliki mata yang sama dengan wanita yang nyaris mengakhiri hidupnya di stasiun dulu. Kini gadis kecil bernama Emma, sudah remaja, tampak sehat dan bahagia, sebuah bukti nyata bahwa keputusan Karina lima belas tahun lalu telah menyelamatkan nyawa tak hanya satu, tetapi dua orang. Namun di balik kebahagiaan itu, ada perasaan yang menggantung di hati Karina. Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir memang sengaja mempertemukan mereka kembali setelah sekian lama? Bagaimana hidup mereka akan berubah setelah pertemuan ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD