"Papa... Papa, kenapa Papa peluk Tante ini?" Suara seorang gadis remaja tiba-tiba terdengar dari belakang tubuh Edwin, memecah keheningan yang penuh emosi itu.
Edwin segera melepaskan pelukannya dengan sedikit kikuk, lalu berusaha tersenyum, meskipun masih terlihat jejak perasaan yang campur aduk di wajahnya.
"Emma, sini... Papa kenalin kamu sama Tante yang pernah menyelamatkan hidupmu dulu."
Mata Emma melebar seketika. "Oh... Ini Tante yang Papa bilang menyelamatkan hidupku dan Mama? Wah... Terima kasih, Tante. Tante sungguh hebat," ucap Emma sambil memeluk Karina erat, senyumnya tulus dan hangat, seperti mentari pagi. Gadis muda itu jelas memiliki hati yang baik.
Karina tersenyum kecil, hatinya tersentuh. "Tidak, Tante biasa saja. Tidak hebat. Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang Tante lakukan," jawab Karina dengan nada rendah hati.
Sementara itu, Kanaya yang berdiri di samping Karina mencolek lengan ibunya, memberikan isyarat bahwa mereka harus segera pulang karena hari sudah semakin malam.
Karina mengangguk mengerti dan berkata, "Baik, Kanaya. Ayo kita pulang. Jangan lupa pamit dulu pada Pak Edwin dan Emma."
Edwin, yang masih tampak terkejut oleh pertemuan ini, bertanya, "Kalian pulang ke mana?"
"Ke Bekasi, Pak. Sekarang sudah jam sembilan, jadi kami harus cepat pulang supaya tidak ketinggalan kereta api," jawab Karina.
"Saya antar saja, tapi nanti setelah acara selesai ya," tawar Edwin dengan ramah. "Biar kalian juga bisa menikmati acara lebih lama."
Karina tersenyum lembut, tetapi menolak tawaran itu dengan sopan. "Tidak usah, Pak. Terima kasih. Kami tidak mau merepotkan. Kami sudah biasa naik kereta api."
Kanaya mulai mengemas semua peralatannya dan memasukkan piala yang baru dimenangkannya ke dalam koper. Setelah itu, dia menundukkan kepala sedikit sebagai tanda pamit kepada Edwin dan Emma.
Namun, Emma dengan ramah berkata, "Kak Kanaya, biar Papa saja yang antar kalian pulang. Jadi nggak repot bawa-bawa koper dan naik kereta."
Kanaya tersenyum, lalu menggeleng pelan. Dia menggoyangkan tangannya ke kiri dan kanan sebagai tanda penolakan, kemudian mengangkat dua jari telunjuk kanannya ke bibir dan menurunkannya ke telapak tangan kirinya, sebuah isyarat yang berarti
'terima kasih'
Karina, yang berdiri di samping Kanaya, tersenyum dan menjelaskan kepada Edwin dan Emma, "Kanaya bilang, 'terima kasih'."
"Maaf Pak, kami pamit dulu," kata Karina, mengangguk sopan ke arah Edwin dan Emma.
Edwin tampak ingin mengantar mereka, tetapi sebagai Direktur Operasional, ia harus menunggu acara selesai untuk menerima laporan dari pelaksana. Ia merasa berat melepas mereka begitu saja, tapi yakin bisa menghubungi Karina lain waktu, mungkin melalui data pendaftaran lomba.
Saat Karina dan Kanaya berjalan menuju pintu keluar, koper hitam yang dibawa Kanaya tanpa sengaja menyenggol kaki seseorang. Orang itu hampir terjatuh dan langsung berteriak, "Aduh! Ini ballroom hotel atau terminal? Emang mau keluar kota, kok bawa-bawa koper segala?"
Kanaya terkejut, lalu mengepalkan tangannya di depan d**a sebagai tanda isyarat permohonan maaf. Namun, lelaki muda dengan wajah tampan yang tampak seperti model itu malah menggoda, "Apa sih kamu, elus-elus dadamu? Nggak usah flirting sama aku deh. Aku tahu, aku ganteng."
Karina dengan cepat menghampiri Kanaya, berkata dengan tenang, "Maaf Pak, anak saya tidak bermaksud menggoda Anda. Maaf kalau koper kami terkena kaki Anda. Tadi anak saya memberi isyarat permohonan maaf. Anakku tidak bisa berbicara, dia bisu."
Suara Edwin terdengar dari belakang, "Denis, nggak usah heboh. Kamu toh nggak jatuh."
"Jadi harus nunggu aku jatuh dulu, baru boleh heboh, Om?" balas Denis dengan nada bercanda, meski tatapannya masih tajam mengarah pada Kanaya.
"Kanaya tidak sengaja. Dia sudah minta maaf," ujar Edwin, lalu berpaling pada Karina.
"Maaf Bu, Denis ini keponakanku. Kalian pulanglah, nanti bisa ketinggalan kereta terakhir."
"Terima kasih, Pak Edwin. Kami pamit dulu," kata Karina, menggandeng tangan Kanaya. Mereka pun beranjak pergi, meninggalkan Edwin dan Denis.
Setelah mereka pergi, Denis bertanya dengan nada penasaran, "Siapa mereka, Om?"
"Kamu nggak lihat acaranya?" Edwin heran, Denis menggeleng.
"Kanaya yang bawa koper itu, juara tiga lomba perancang yang diselenggarakan perusahaan kita. Dia bisu, tapi rancangannya sangat bagus. Mamamu yang nggak setuju dia jadi juara pertama karena katanya tidak sesuai dengan citra perusahaan yang memproduksi kain-kain eksklusif. Lebih cocok si Aliya yang menang karena dia lulusan sekolah mode dari Perancis," jelas Edwin, menghela napas panjang.
Denis tertawa kecil. "Hah, kayak Om nggak tahu aja sifat Mama. Hebat ya si Kanaya itu. Sayang aku nggak lihat rancangannya. Aku baru datang, tadi ada rapat sama manajemenku. Aku mau jadi bintang iklan shampoo," katanya, lalu menjatuhkan diri di kursi dengan santai.
"Mama Papamu izinin kamu jadi model iklan shampoo?" Edwin bertanya dengan alis terangkat.
"Aku nggak peduli. Aku udah dewasa, Om. Dua puluh tiga tahun, nggak perlu minta izin sama orangtua soal apa yang harus aku lakukan. Aku saat ini belum mau kerja di perusahaan. Aku nggak cocok kerja kantoran, 9 to 5, itu bukan gayaku," jawab Denis sambil tertawa lebar.
"Jadi gayamu gimana?" tanya Edwin dengan sorot mata menggoda keponakan kesayangannya ini.
"Aku baru bisa 'on' kerja jam 1 siang, habis berenang, nge-gym, nonton Netflix, makan siang, baru deh aku berangkat kerja. Jadi model, buat konten dan bintang iklan itu kan nggak tiap hari, bisa kuatur jadwalnya. Kalau suka, aku ambil kerjaannya, kalau nggak, ya kutolak," kata Denis ringan.
Edwin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "Dasar kamu. Om speechless sama kamu. Terserah kamu ajalah. Toh seperti katamu, kamu sudah dewasa."
"Emma mana, Om?" tanya Denis, melihat sekeliling.
"Tuh, dia di sana, sibuk nonton tutorial bahasa isyarat dari YouTube. Katanya biar dia bisa ngerti bahasa isyarat dan bisa komunikasi sama Kanaya kalau mereka ketemu lagi," jawab Edwin, menunjuk ke arah Emma yang duduk tidak jauh dari mereka.
Denis memandang Emma sejenak, lalu bertanya, "Emang Om mau ketemu mereka lagi?"
"Mungkin nanti. Om mau ke rumah mereka, mau ngucapin terima kasih dengan benar. Karena Mamanya Kanaya itu yang dulu menyelamatkan almarhum Tantemu dan Emma," kata Edwin pelan, suaranya mengandung rasa syukur yang dalam.
Denis tersenyum lembut pada Edwin. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur Om yang paling disayanginya ini. Edwin adalah pria dengan hati emas, tapi nasibnya begitu malang, istrinya meninggal bunuh diri karena baby blues saat Emma masih berusia lima atau enam bulan.
Sejak tragedi itu, hidup Edwin berubah drastis. Kesedihan mendalam yang menyelimuti hatinya membuatnya menarik diri dari kehidupan sosial. Ia tak pernah lagi berhubungan dengan wanita mana pun. Rasa kehilangan yang begitu besar membuatnya sulit untuk membuka diri dan mempercayai cinta lagi. Setiap kali melihat Emma, ia merasakan campuran kebahagiaan dan kesedihan yang dalam, mengenang istrinya yang tak sempat melihat putri mereka tumbuh dewasa.
Edwin mengalihkan seluruh perhatiannya pada pekerjaan dan Emma. Dia bekerja keras dari jabatan paling bawah sampai mencapai jenjang direktur operasional di Perkasa Tekstil, milik Kakek Denis. Edwin menghabiskan waktu berjam-jam di kantor, seolah-olah kesibukan itu bisa mengusir rasa sepi yang menggerogoti hatinya. Namun, setiap malam ketika pulang ke rumah mewah yang menjadi tempat tinggal seluruh keluarga Perkasa, kenyataan kembali menghantamnya. Kamar nya terasa kosong, meski saat Emma bayi dia bisa menemani Edwin, tapi sekarang , gadis kecil itu telah beranjak remaja dan Edwin sepi sendiri tinggal di kamarnya .
Emma adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya, alasan mengapa ia masih bisa tersenyum. Dari saat Emma masih bayi hingga sekarang, Edwin dengan bantuan mamanya, menjaga dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang, meski ia tahu, tanpa kehadiran seorang ibu, ada kekosongan yang tak bisa ia isi. Edwin sering merasa bersalah, takut tak bisa menjadi ayah yang cukup baik, takut Emma merasakan kehilangan yang sama seperti yang ia rasakan. Namun, Emma tumbuh menjadi gadis yang kuat, cerdas, dan penuh perhatian, sesuatu yang membuat Edwin bangga sekaligus terharu.
Meski demikian, hidup Edwin tetap terasa sepi. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan istrinya. Hatinya tertutup rapat, dan ia tak pernah berniat membuka diri untuk cinta yang baru. Bagi Edwin, cinta sejatinya telah pergi, dan tugasnya kini hanyalah membesarkan Emma dan bekerja di perusahaan keluarga mereka dengan sebaik-baiknya.
Denis, yang menyadari semua ini, hanya bisa menghela napas panjang Ia tahu betapa besar cinta yang pernah dimiliki Om Edwin untuk istrinya, dan betapa dalam luka yang ditinggalkan kepergiannya. Edwin adalah om kesayangan bagi Denis. Yang bisa Denis lakukan hanyalah berada di sampingnya, menjadi keponakan yang selalu siap mendengar dan mendukung, meski ia tahu, ada bagian dari Edwin yang mungkin takkan pernah bisa sembuh.
Namun, malam ini, melihat interaksi Edwin dengan mamanya Kanaya Denis merasakan ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, pikir Denis, pertemuan ini akan membawa perubahan yang tak terduga dalam hidup Omnya. Tapi, ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menyimpan harapan kecil dalam hati, bahwa mungkin, setelah lima belas tahun yang panjang, Edwin akhirnya bisa menemukan kembali secercah kebahagiaan yang pernah hilang.