bc

Cinta Kedua (Putri yang Tak Dianggap)

book_age12+
1.1K
FOLLOW
4.8K
READ
love-triangle
love after marriage
drama
bxg
loser
realistic earth
first love
affair
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Aku bahagia memilikimu. Aku bahagia dicintai juga mencintaimu. Aku bahagia bisa menghabiskan sisa hidupku denganmu. Semoga kita bisa terus bersama.

Namun, itu hanya untaian kalimatku dulu. Sebelum akhirnya aku tahu, siapa aku di hatimu dan di hidupmu.

-Vania Atmadeva-

 

Sejak awal, aku tahu aku salah. Tapi sungguh, aku tidak main-main dengan pernikahan kita. Adanya dia ataupun mereka, tidak akan mengubah perasaanku terhadapmu. Sungguh....

-Malik Alfareed

 

 

chap-preview
Free preview
Satu
"Kapan kamu akan menikah?" Seorang pria paruh baya bertanya kepada putranya, saat putra satu-satunya itu datang ke kantor miliknya. "Nanti, Pa. Malik belum menemukan wanita yang cocok," jawab sang putra dengan santainya. "Usia kamu sudah tiga puluh lima tahun. Kami juga sudah ingin menimang cucu, Lik." "Iya, Malik tahu. Papa tenang saja, setelah menemukan wanita yang cocok, pasti Malik akan menikah." Malik Alfareed, seorang pria berusia tiga puluh lima tahun yang masih lajang. Hingga orang tuanya selalu mendesaknya untuk segera menikah. Malik bukannya memiliki kelainan. Hanya saja, dulu ia memiliki kekasih, mereka hampir saja menikah. Namun, orang tua Malik menentangnya karena beda keyakinan. Wanita itu tidak mau masuk ke agama Malik, dan orang tua Malik juga melarang putranya pindah agama. Akhirnya, hubungan mereka berakhir. "Yang penting jangan lama-lama, usia tidak ada yang tahu. Jangan sampai, Tuhan lebih dulu memanggil pria tua ini, sebelum kamu menikah." "Papa ngomong apa sih, Pa?! Jangan mengada-ada," sanggah Malik. "Bukannya mengada-ada, omongan Papa benar, 'kan?! Usia tidak ada yang tahu." "Hhh, terserah Papa saja." *** Wanita berusia tiga puluh satu tahun itu sedang sibuk di mejanya di depan ruangan bosnya. Sudah hampir lima tahun wanita itu bekerja sebagai sekretaris. Dia bernama Vania Atmadeva. Putri dari seorang dokter bernama Revan Atmadeva. Namun, lebih memilih menjadi seorang sekretaris. Dulu saat masih SMA, sang ayah meminta agar Vania mau kuliah di jurusan kedokteran. Namun, dengan tegas Vania menolak. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bidang itu. Sang adik-Rayhan-pun demikian. Akhirnya, Revan hanya bisa pasrah. Untung saja, anak adiknya-Reia-ada yang mau menjadi dokter. Setidaknya nanti setelah ia tiada, ada orang yang meneruskan menjalankan rumah sakit, amanah dari keluarga almarhum sang papa. Semenjak Vania bekerja, ia sudah sering bertemu dengan Malik. Ada rasa kagum di hati Vania untuk Malik memang. Namun, Vania tidak pernah terang-terangan memperlihatkannya. Dia memang sangat pemilih. Sampai di dua puluh tujuh tahun usianya, Vania masih melajang. Masa lalu almarhumah sang mama yang pernah menghancurkan rumah tangga papanya dengan istrinya terdahulu, membuat gadis itu dilanda ketakutan. Takut kalau sampai apa yang dilakukan mamanya berbalik padanya. Tangan Vania sedang sibuk menyentuh keyboard di depannya, saat suara Malik menyapa telinga. "Sudah waktunya istirahat." "Eh, Bapak. Iya, Pak. Sebentar lagi. Tanggung," jawab Vania dengan senyum di bibirnya. "Dikerjakan nanti lagi saja. Aku ingin mengajakmu makan siang." "Makan siang, Pak? Sama saya?" tanya Vania tidak percaya. "Iya ... kamu mau, 'kan?" "Ehm, iya, Pak. Sebentar, saya simpan dulu laporan ini." Setelah Vania mematikan komputer, ia berdiri kemudian berjalan bersama Malik menuju kantin kantor. *** Sesampainya di kantin kantor, Malik dan Vania mengambil makanan yang mereka sukai. Kemudian duduk di kursi yang kosong. "Kamu betah kerja di sini?" tanya Malik basa-basi. "Ehm, Betah. Kalau tidak betah, mana mungkin saya bertahan sampai tiga tahun," jawab Vania sambil mengunyah makanan di mulutnya. "Papaku nggak pernah marahin kamu, 'kan?" "Tidak pernah. Kalaupun marah, pasti karena saya melakukan kesalahan. Jadi, ya tidak apa-apa." "Syukurlah kalau begitu. Ehm, Van!" "Iya, Pak?" Malik ragu. Haruskah ia menanyakannya atau tidak. Menanyakan hal yang sangat pribadi untuk Vania. "Maaf, aku ingin bertanya tentang masalah pribadi. Boleh?" tanya Malik ragu. "Masalah pribadi? Tentang apa, Pak? Silakan saja." "Apa ... apa kamu sudah memiliki kekasih? Ehm, maaf. Kalau kamu tidak berkenan menjawab juga tidak apa-apa." Vania tersenyum. "Belum, Pak. Memangnya kenapa?" "Aku bukan orang yang suka berbasa-basi. Jadi, langsung saja. Apa kamu mau jadi istriku? Maaf, jika tidak sopan. Hanya saja, Papa sudah berulang kali menanyakan kapan aku menikah." Mendengar ucapan Malik, membuat Vania tidak percaya. Mulutnya ternganga. "Saya, Pak?" "Iya, kamu." "Kenapa saya?" "Karena yang kulihat, kamu keibuan. Dan aku yakin, kamu akan menjadi istri idaman." "Bapak terlalu berlebihan. Saya banyak kekurangan lho, Pak." Meskipun Vania mengucapkan itu, dalam hatinya ia sedang kegirangan. Pria yang dikaguminya memujinya, bahkan mengajaknya menikah. "Bagaimana?" "Saya tanyakan dulu sama papa saya ya, Pak. Apa orang tua Bapak sudah tahu?" "Belum. Tapi aku rasa, mereka pasti tidak akan melarang. Apalagi jika tahu kalau wanita itu kamu. Aku tunggu jawaban kamu ya, Van. Ini nomor ponselku." Malik menyodorkan ponselnya ke arah Vania. Gadis itu menerima ponsel Malik, lalu menyalin nomor Malik di ponselnya. "Mumpung aku lagi di sini, nanti sore aku antar pulang, ya?!" "Apa tidak merepotkan Bapak?" "Tidak." "Baiklah. Terserah Bapak kalau begitu." *** Sorenya, Malik mengantar Vania pulang. Sebelum mengantar ke rumah, Malik mengajak Vania jalan-jalan. Mereka duduk-duduk di taman kota, menghabiskan senja mereka. Hal itu sengaja Malik lakukan, agar bisa lebih dekat dengan Vania. Bukan tanpa alasan akhirnya Malik memilih Vania untuk dijadikan istri. Hal itu karena ia melihat, Vania sangat penyabar. Ia yakin, jika suatu hari masalah datang, Vania tidak akan meninggalkannya. Meskipun saat ini belum ada rasa cinta di hatinya, Malik berjanji kalau dia akan berusaha untuk mencintai gadis itu. Malik memperlakukan Vania dengan sangat baik. Perlakuan manisnya, mampu membuat hati Vania bersorak. Hingga Vania sudah yakin dengan jawaban apa yang akan diberikannya pada pria yang sedang membukakan es krim untuknya itu. *** Malik dan Vania sudah sampai di depan rumah gadis itu. "Terima kasih, Bapak sudah mengantar saya." Malik mengangguk. "Ehm, Pak!" "Iya?" "Saya sudah punya jawaban untuk pertanyaan Bapak. Saya ... saya ... mau menikah dengan Bapak," ucap Vania mantap, tetapi rona merah di pipinya, tanda ia sedang malu, tidak bisa disembunyikan. "Benarkah? Apa kamu sudah yakin?" tanya Malik, agar Vania tidak menyesal nantinya. "Yakin, Pak. Tinggal kita bicarakan pada orang tua masing-masing. Setelah saya bicara pada Papa, saya hubungi Bapak." "Baiklah, aku juga akan bilang ke Papa. Aku tunggu bagaimana keputusan papa kamu, kalau bisa, besok sudah dapat jawabannya." "Iya, Pak." "Ya, sudah. Habis ini, kamu istirahat, ya. Jangan sampai kecapaian. Nanti malah sakit." Mendapat perhatian seperti itu membuat Vania makin melambung tinggi. Rasa ingin menjadi istri sah Malik, makin menggebu. "Iya." "Ya, sudah. Aku pulang." "Hati-hati di jalan, Pak." Malik mengangguk. Vania membuka pintu mobil Malik berniat untuk turun. Namun, tangan Malik memegang pergelangan tangan Vania, membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Matanya menatap mata Malik. "Ada apa, Pak?" "Terima kasih sudah mau membantuku." "Terima kasih juga, Bapak sudah membebaskan saya dari predikat perawan tua." Malik tersenyum mendengarnya. Setelah itu, Vania benar-benar turun. Sedangkan Malik kembali melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya. *** Vania sudah selesai membersihkan diri. Vania tinggal bersama papanya, Revan, juga bersama adik angkat yang sekarang sudah menjadi adik iparnya karena dinikahi oleh Rayhan, adik Vania yang kebetulan satu ayah beda ibu. Meskipun sudah menikah, Lara dan Rayhan tetap memilih untuk tinggal bersama sang ayah. Mereka tidak ingin ayahnya hidup dalam belenggu sepi. Sebab, Revan memutuskan untuk tidak menikah lagi di sisa hidupnya. Zahra dan Fattan, orang tua Rayhan, juga tidak keberatan atas pilihan putra dan menantunya. Sedangkan Lara adalah yatim piatu, di mana ibunya ditabrak oleh Revan (ada di extra part Cinta Sendiri). "Papa sama Rayhan belum pulang, Ra?" tanya Vania. Lara sedang memasak makan malam di dapur. "Belum, Kak. Kalau Kak Rayhan lagi di jalan. Nggak tahu kalau Papa." "Oh.... Cilla udah tidur?" Cilla adalah putri Rayhan dan Lara yang baru berusia satu tahun. "Udah, Kak. Dari siang nggak mau tidur. Ada Fachri ke sini juga tadi." "Fachri?!" "Iya." "Ehm, Ra ... kalau aku menikah, menurutmu gimana?" "Kakak mau menikah, Kak? Sama siapa? Tentu aja aku seneng banget, Kak," jawab Lara antusias. "Tadi, mendadak aku dilamar sama anaknya bos-ku. Aku memang udah lama, sih, ada rasa suka sama dia. Tapi, masa iya dia juga suka sama aku." "Kalau nggak suka, ngapain lamar, Kak." "Karena orang tuanya yang udah maksa dia buat nikah. Umurnya udah tiga puluh lima." "Minta petunjuk sama Allah, Kak. Tapi aku yakin, dia mau melamar Kakak, pasti dia juga udah tahu konsekuensinya," saran Lara. "Begitu, ya?!" Lara mengangguk. "Ok, makasih, ya ... aku mau ngomong ke Papa dulu nanti kalau udah pulang.” *** Setelah Revan pulang, akhirnya Vania menceritakan tentang lamaran Malik. Revan sangat senang mendengarnya. Akhirnya, putrinya mau melawan traumanya. Vania pun langsung memberitahukannya pada pria yang sudah mengajaknya menikah. Esoknya, Malik menemui Revan. Ayah Vania itu memberikan wejangan pada calon menantunya agar jangan sampai menyakiti sang putri. Awalnya Malik ragu menjawab karena takut tak bisa memenuhi janji. Namun akhirnya, Malik mau berjanji pada calon mertuanya. Dua hari kemudian, keluarga Malik datang ke rumah Revan untuk melamar Vania secara resmi. Saat Malik mengatakan pada orang tuanya bahwa ingin menikahi Vania, orang tua Malik sangat senang mendengarnya. Pernikahan diputuskan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Dua bulan rasanya cukup untuk mengurus semuanya. *** Hari pernikahan tiba. Semua terlihat bahagia. Tidak terkecuali kedua mempelai. Di acara resepsi semua keluarga dan sanak saudara berkumpul. Dari pihak Malik, juga dari pihak Vania. Ada Rayhan, Lara, dan si kecil Cilla, ada Fattan dan Zahra, Fachri dan Aira, ada juga orang tua Aira yang merupakan besan Fattan dan Zahra yang memang diundang. Acara berjalan lancar. Tidak ada kendala sama sekali. Vania merasa sangat bersyukur akhirnya ia bisa melepas masa lajangnya. Lepas dari bayang-bayang masa lalu kisah almarhumah mamanya. 'Ma, doakan Vania agar rumah tangga Vania bahagia, ya, Ma. Doakan agar tidak ada cobaan yang berarti untukku dan Mas Malik. Aamiin,' doa Vania dalam hati.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook