Dua

1620 Words
Kecupan mendarat di kening, mata, pipi, juga bib1r wanita itu. Ya, wanita, karena baru saja semalam ia menanggalkan statusnya sebagai seorang gadis. Pria yang baru saja menikahinya kemarin, dialah yang merenggut keper4wan4n wanita itu. Masih dengan mata terpejam, si wanita tersenyum. Tubuh mereka sama-sama masih pol0s di balik selimut yang mereka kenakan. "Terima kasih, sudah menjaga ini untukku. Meskipun usiamu sudah tiga puluh satu tahun, tapi kamu hebat bisa menjaganya," ucap Malik, memuji wanita yang kini telah sah menjadi istrinya. Tangan pria itu menyentuh bagian paling sensitif milik Vania. Membuat wanita itu refleks memukul tangan sang suami. "Kenapa aku dipukul, Sayang?!" protes Malik. "Sudah siang. Ayo, bangun! Bukannya malah pegang-pegang!" "Kita pengantin baru, Sayang. Seharian di kamar pun, tidak akan ada yang melarangnya." "Tapi aku malu sama Papa. Nggak enak sama Lara...." Tidak mau mendengar protes Vania lagi, Malik langsung mencium bibir Vania. Ditindihnya lagi tubuh wanita itu. Tanda Malik akan meminta jatahnya lagi. *** Satu minggu berlalu. Hari ini waktunya Malik kembali ke kota di mana ia biasa tinggal. Kota yang merupakan di mana cabang perusahaan papa Malik berada. "Kamu di sini dulu, ya. Aku akan menyiapkan tempat tinggal untuk kita. Kalau udah siap, kita tinggal di sana," ucap Malik saat ia akan pergi. Ada alasan yang membuatnya tak bisa membawa istrinya ikut serta. Vania pun menurut. Saat ini, ia masih bekerja menjadi sekretaris mertuanya. Malik yang memintanya, agar Vania tidak kesepian. Orang tua Malik pun tidak keberatan, karena ia juga sangat menyukai kinerja menantunya. "Aku pasti kangen sama kamu, Mas. Udah biasa tidur ada yang nemenin, ada yang meluk." Vania merajuk sambil memeluk Malik. "Ada yang minta nyu5u juga, ya," goda Malik. "Ih, Mas ... filter dong, omongannya! Aku malu tahu!" Malik tertawa. "Akhir pekan pasti aku pulang. Kita bisa melepas rindu. Oke?!" Vania tidak menjawab. Ia mengerucutkan bib1rnya. Sungguh, ia merasa tidak rela harus berpisah dengan suaminya dalam waktu cepat. Melihat tingkah istrinya, membuat Malik tidak tahan untuk mencium bib1r yang seolah mengundangnya itu. "Satu ronde sebelum pergi," bisik Malik, sebelum akhirnya ia membawa tubuh istrinya ke ranjang. Meskipun sebenarnya Malik sudah rapi, siap berangkat, ia rela harus mandi lagi demi istrinya agar tidak terus merajuk. *** Hari terasa begitu lama untuk Vania. Akhir pekan yang ditunggunya tidak juga kunjung datang. Dari lima hari yang harus dilaluinya, baru berkurang dua hari. Wanita itu mengobati rasa rindu kepada suaminya hanya dengan video call. Itu pun hanya bisa saat jam makan siang. Karena kata Malik, malam hari dia harus lembur. Untuk mengobati kesepiannya, Vania mengunjungi rumah tantenya, Zahra. Sepulangnya dari kantor. Karena papanya masih dinas di rumah sakit, sementara Lara dan Rayhan juga sedang menginap di rumah mamanya juga. "Lara sama Cilla mana, Tan?" tanya Vania begitu sampai di rumah Zahra. "Lagi diajak jalan-jalan sama Rayhan." "Aira nggak pernah ke sini, Tan?" "Paling sebulan sekali, Aira sama Fachri kan, sibuk kuliah. Untungnya ada Cilla sama Lara yang kadang menginap di sini, jadi Tante nggak kesepian. Oh, ya. Papa kamu sehat?" Pernah menjadi istri yang didzalimi, nyatanya Zahra masih sangat peduli pada mantan suaminya itu. Memang, hanya sebatas karena pria itu adalah ayah dari putranya. "Sehat, Tan. Belum pulang dari rumah sakit." "Malik juga masih di luar kota?" "Iya, Tan. Paling pulang akhir pekan. Rasanya berat banget, Tan. Pengantin baru harus tinggal terpisah," keluh Vania. "Ujian kesetiaan buat kalian. Biar kalian makin kuat pondasinya," hibur Zahra. "Iya juga, sih, Tan...." Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ada yang mencium pipi Zahra. Fattan, suami Zahra, yang melakukannya. "Abang! Udah pulang?" "Udah, dong, Sayang. Buktinya udah di sini," jawab pria yang sudah tidak lagi muda itu. "Hai, Van. Kamu libur?" "Nggak, Om. Pulang kerja, langsung mampir ke sini. Rumah sepi. Eh, ke sini si Cilla-nya juga lagi pergi." "Malik masih di luar kota?" "Masih, Om. Jatahku kan, Sabtu sama Minggu." "Oh ... kasian sekali, kamu, Van," goda Fattan pada keponakannya. "Memang kasian. Makanya, Om nggak usah pamer kemesraan di depan aku. Bikin envy soalnya." Fattan tertawa. "Ya sudah. Lanjutkan lagi ngobrolnya. Om mandi dulu, ya?!" Fattan sudah akan mencium Zahra lagi. Namun, wanita itu melotot. "Oh iya, lupa ada Vania." Tawa Fattan terdengar lagi. Pria itu memang sangat humoris. *** Akhir pekan tiba. Vania sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Malik. Ia berdandan secantik mungkin untuk menyambut kepulangan suaminya itu. Pukul tujuh malam, suara mobil terdengar. Vania segera berlari untuk membuka pintu. Benar saja, pria yang sangat dirindukannya turun dari mobil. Malik merentangkan kedua tangannya mengundang Vania untuk memeluknya. "Aku kangen banget sama Mas," ucap Vania saat sudah berada dalam pelukan Malik. "Rindu tidak membuatmu sakit, 'kan?!" "Lebih dari sekedar sakit." Malik tersenyum. "Kok sepi?" "Iya, nggak ada orang." Asisten rumah tangga Revan memang datang pagi hari, dan akan pulang sore harinya. Mengetahui hal itu, Malik langsung menggendong Vania. Membawanya ke dalam rumah, lalu ditutupnya pintu kembali. "Ayo kita tuntaskan rindu kita!" Vania menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Malik. *** Pasangan pengantin baru itu benar-benar menuntaskan perasaan rindu mereka. Bahkan, Malik tidak berpikir untuk mengisi perutnya sedikit pun. Ia hanya ingin meghabiskan waktu bersama sang istri. Agar Vania tidak merasa dinomorsekiankan. Baik dari pekerjaan, maupun dari yang lain. Saat di luar kota, fokus Malik ada pada pekerjaannya. Saat bersama Vania, ia juga mengusahakan agar fokusnya hanya pada Vania. Membahagiakannya, memberikan perhatian untuknya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka sudah melewatkan makan malam. Tadi, Lara sempat mengetuk kamar Vania karena Revan yang menyuruhnya untuk makan malam. Namun, Vania menolak. Vania mengatakan, jika ia dan Malik akan makan nanti, jika lapar. Lara pun akhirnya menyampaikannya pada Revan. Revan maklum, pasti putri dan menantunya sedang saling menuntaskan rindu. *** "Mas lapar?" tanya Vania. "Sedikit. Apa kamu lapar?" Vania mengangguk. "Apa Mas mau menemaniku makan?" "Tentu saja. Tidak mungkin aku menolak. Aku membersihkan tubuhku dulu, ya?!" "Aku panaskan makanan." Mereka bangun dari rebahannya. Malik masuk kamar mandi. Sedangkan Vania menggunakan baju tidur, kemudian keluar kamar untuk menyiapkan makan malam. Setelaha makan malam siap, Vania membawanya ke kamar menggunakan nampan. Ia tidak ingin mengganggu papa, adik, dan keponakannya yang sudah tidur jika nanti ia makan di ruang makan. Diletakkannya nampan itu di meja. Saat Vania ingin mengambil ikat rambut di nakas, ponsel Malik yang di-mode silent berkedip. Tanda ada pesan masuk. Melalui notifikasi pesan yang terlihat, Vania bisa membaca pesan itu. [Fero demam. Panasnya tinggi] Kening Vania berkerut. ‘Fero? Siapa Fero?' batinnya. Malik keluar dari kamar mandi. Tangannya tengah sibuk mengeringkan rambut dengan handuk. "Ada apa, Sayang?" tanya Malik, melihat ponselnya berada di tangan istrinya. "Ini, Mas. Ada pesan, katanya Fero demam. Siapa Fero, Mas?" Raut muka Malik berubah. Ada kecemasan di sana. "Siapa, Mas?" tanya Vania lagi karena Malik tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Oh ... dia ... dia orang kepercayaanku," jawab Malik sambil meraih ponsel dari tangan sang istri cepat. "Sebentar, ya, aku telepon dia dulu," sambung Malik kemudian berjalan keluar kamar menjauh dari Vania. Vania merasa ada yang janggal. Mengapa untuk telepon saja harus keluar dari kamar? Tetapi ia mencoba untuk percaya pada ucapan suaminya. *** Esoknya pagi-pagi sekali Malik sudah bersiap untuk kembali ke kota di mana ia tinggal. Meskipun Vania sempat merajuk, Malik meyakinkan sang istri agar mau mengerti dirinya. Malik mengatakan, jika ada pekerjaan yang di-handle Fero yang terbengkalai, dan itu akan digunakan untuk meeting esok hari. Dan Malik tidak bisa mengerjakannya dari jauh. "Kan cuma demam, Mas...." Begitu yang Vania ucapkan agar Malik bisa lebih lama lagi di sampingnya. "Dia masuk angin. Muntah-muntah, juga buaang aiir. Dia nggak bisa konsen mengerjakannya." Malik terus memberi Vania pengertian. "Ya, sudah, kirimkan saja file-nya ke Mas," saran Vania. "Aku nggak bawa laptop." "Bisa pakai laptopku, Mas...." "Nggak bisa. Aku nggak terbiasa pakai laptop orang lain." "Alasan!" "Bukan, Sayang. Beneran. Aku janji, minggu besok aku pulang, kita jalan-jalan. Quality time. Mau, ya?!" Dengan susah payah, akhirnya Vania mengizinkan Malik untuk pergi pagi itu. *** Sebulan berlalu. Tidak ada hal yang patut Vania curigai. Setelah Malik meninggalkan Vania pagi itu, Malik menepati janjinya untuk mengajak istrinya jalan-jalan. Hal itu mampu mengobati kekecewaan yang wanita itu rasakan. Hari ini, akhir pekan yang suram untuk putri Revan dan Agni tersebut. Malik tidak bisa pulang karena harus lembur. Untuk mengobati kesepiannya, Vania mengajak sahabatnya, Mala, untuk mengunjungi pusat perbelanjaan, sekadar untuk berjalan-jalan. "Kenapa lo nggak ikut suami lo aja, Van?" tanya Mala. "Orang nggak boleh. Lagian, gue udah biasa tinggal di kota yang ramai kayak gini. Bayangin buat tinggal di kota kecil, kayaknya gue nggak sanggup," jawab Vania apa adanya. Karena memang itu yang Malik katakan. "Kalau lo cinta sama suami lo, sih, harusnya lo sanggup." "Mala ... gue ngajak lo jalan buat ngehibur gue, bukan malah bikin tambah galau ...," protes Vania. "Hahaha, iya ... sorry. By the way, suami lo tahu tentang kehamilan lo?" Saat ini Vania memang sedang hamil, baru memasuki minggu kelima. Dan baru saja tahu kemarin setelah dicek ke dokter karena ia merasakan kejanggalan pada tubuhnya. "Belum, gue mau kasih kejutan buat dia, nanti kalau dia udah pulang." Mereka berhenti di food court untuk memesan makanan. Karena perut yang memang sudah memanggil untuk diisi. Meja paling pojok yang menjadi pilihan mereka. Vania dan Mala mengobrol sambil menunggu pesanan. Suasana food court siang ini lumayan ramai. Banyak yang kelihatannya satu keluarga, banyak juga yang kelihatannya masih usia sekolah juga kuliah. Pandangan Vania tertuju ke pintu masuk saat tak sengaja melihat sosok yang sangat dikenalinya. Pria itu tidak sendiri, ada wanita di sampingnya yang sedang melempar senyum padanya. Dalam gendongannya juga ada anak perempuan yang kira-kira usianya sekitar lima atau enam tahun. Pria itu adalah Malik. Mata Vania terkunci memperhatikannya. Mereka duduk dalam satu meja. Sosok yang ia kenal itu, terlihat sangat menyayangi si anak. Sambil menunggu pesanannya, Malik tak hentinya menciumi pipi anak itu. Tak sanggup menahan emosi, Vania berdiri lalu menghampirinya. "Oh, jadi gini kelakuan kamu?! Bilangnya ada kerjaan, nggak tahunya enak-enak selingkuh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD