Tiga-Sebuah Fakta

1102 Words
Vania tidak peduli bagaimana pandangan pengunjung food court terhadapnya. Wanita itu hanya ingin meluapkan emosi. Malik cukup terkejut. Wanita juga anak kecil yang bersamanya juga langsung mengarahkan pandangannya kepada wanita yang baru saja membentak pria yang bersamanya. "Vania ... kamu ... kamu di sini?" tanya Malik terbata. Ia tidak menyangka jika akan bertemu dengan sang istri di tempat ini. "Iya! Kenapa? Terkejut karena akhirnya aku tahu kebusukanmu?!" Vania benar-benar merasa telah dibohongi dan dipermainkan sehingga ia tidak bisa menjaga kata-katanya. "Aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Malik dengan suara pelan. "Menjelaskan kalau sebenarnya kamu tidak selingkuh meskipun kenyataannya kamu melakukannya?! Menjelaskan kalau kamu tidak bermaksud membohongiku meskipun nyatanya kamu sudah berbohong padaku?!" Malik hanya menggeleng. Mala sudah berada di samping Vania. Tangannya merangkul pundak sahabatnya, memberi ketenangan. "Lebih baik, kita bicara di luar. Aku tidak ingin mengganggu pengunjung lain," ucap Malik. Dia berdiri sambil menggendong anak kecil yang tadi digendongnya, kemudian berjalan keluar setelah sebelumnya meninggalkan beberapa lembar uang seratusan ribu di meja. Wanita yang datang bersamanya mengikutinya. Vania dan Mala pun demikian. Mereka sampai di tempat parkir di mana mobil Malik berada. Wanita dan anak itu disuruhnya masuk ke mobil. "Fero di mobil dulu sama Mama, ya, Nak." Bocah kecil itu diam saja. Sementara si wanita memberikan senyum tipis seolah meyakinkan Malik bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Apa yang ingin kamu dengar?" tanya Malik dengan tenang. Ia ingin menjadi air di saat kobaran amarah Vania begitu menggebu-gebu. "Siapa mereka?!" teriak Vania, meluapkan semua emosi. "Kamu benar-benar ingin tahu?" "Jangan bertele-tele! Aku muak!" "Baiklah," ucap Malik kemudian menghela napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang cukup membuat sang istri tercengang. "Mereka istri dan anakku. Anak kandungku." "Apa?! Jadi benar kamu selingkuh?!" Vania murka. Ia pukul-pukul d**a Malik dengan kencang. Malik memegangi kedua tangan Vania. Namun, wanita itu mencoba memberontak. "Aku tidak pernah selingkuh darimu. Yang ada, aku menikahimu karena izinnya." Ucapan Malik seketika menghentikan pergerakan istrinya. "Maksud kamu?!" "Dia istri pertamaku. Anak itu juga putri pertamaku," jawab Malik lagi dengan tenang. "Jadi selama ini kamu membohongiku? Kamu dan keluarga kamu menipuku?" tanya Vania penuh rasa kecewa dan tidak percaya. "Tidak. Hanya aku. Keluargaku tidak ada yang tahu kalau aku telah menikah sebelum aku menikahi kamu. Kami menikah di luar negeri. Tanpa ada satu pun keluargaku yang menghadiri. Hanya keluarga dia yang tahu." "Kenapa? Kenapa!" Vania sudah memelankan suaranya. Putri dari Revan itu berjongkok, kakinya benar-benar lemas, seolah tak mampu menopang tubuhnya. Ia sama sekali tidak menyangka akan seperti ini. "Maafkan aku ... aku tidak bermaksud menyakitimu. Dia dulu kekasihku. Kami bertemu saat kami kuliah. Kami saling mencintai. Tapi sayang, kami beda agama dan orang tuaku tidak memberikan restu untuk kami," jelas Malik. "Harusnya kamu menolak saat kita dijodohkan," bisik Vania. Ia sudah tidak mampu lagi bersuara. "Aku tidak ingin menyakiti mereka. Aku ingin menjadi anak yang baik." "Dengan cara kamu menyakiti istrimu? Menjadikanku sebagai madunya?" Vania tidak habis pikir. Ia memang tidak pernah secara langsung merasakan pernikahan poligami, tetapi ia juga menjadi salah satu orang yag ikut merasakan efeknya. Dan itu sangat tidak enak. "Dia merestui pernikahan kita. Asalkan aku bisa adil kepada kalian. Dan kenyataannya, sebelum hari ini, semuanya baik-baik saja, kan? Aku tidak pernah menyakitimu. Aku tetap berusaha membagi waktuku dengan adil. Menafkahi kalian sesuai kebutuhan masing-masing." "Tapi di sini, aku yang terlihat paling jahat. Meskipun kenyataannya, aku tidak tahu apa-apa," jawab Vania pelan. Ia tak lagi memiliki tenaga. "Tidak, kamu tidak jahat. Kita akan memulai semuanya dari awal. Kamu mau, kan?" Tangan Malik terulur ingin meraih tubuh istri keduanya, tetapi sang istri buru-buru menepisnya. "Maaf, aku lebih memilih untuk mengakhiri semuanya," ucap Vania kemudian mengajak Mala untuk segera pergi meninggalkan Malik. Ia lebih memilih sendiri daripada harus berbagi suami. Dan wanita itu juga yakin, ia mampu membesarkan anaknya seorang diri. Vania dan Mala berjalan menjauh. Tidak ada tanda Malik mengejarnya. Putri Revan itu semakin yakin dengan keputusannya. *** "Ma ... Tante Zahra baik, lho, Ma. Vania ingin deh, keluarga kita bisa berkumpul. Kan katanya Vania sama Rayhan adik-kakak." Vania, bocah yang masih sangat belia itu tak ubahnya ingin seperti anak yang lain. Memiliki keluarga yang hangat, yang harmonis. Nyatanya, semua itu hanya mimpi. Sejak dirinya bisa mengingat, kenangannya hanyalah sang mama yang temperamen, suka marah-marah, dan sangat membenci tantenya, ibu dari adiknya. Untung saja, ia memiliki seorang ayah yang begitu menyayanginya. Ia tidak bisa membayangkan kalau sang ayah tidak ada. Waktu bayi, ayahnya yang menjaga setiap malam. Membuat s**u, mengganti popok, bahkan juga menyuapi dan memandikan, meskipun di kala pagi sampai sore, ada suster yang mengasuh Vania. Vania kecil selalu iri pada Rayhan. Mengapa Rayhan memiliki ibu yang begitu penyayang, keibuan, dan selalu ada untuk mendengar keluh kesahnya. Sementara dirinya, untuk menghadiri acara penting sekolah yang hanya setahun sekali saja, ibunya enggan. Terkadang, Vania merasa, apa dia hanya anak pungut? Namun, semakin besar ia tahu, bahwa Agni Rara Gupita adalah memang ibu kandungnya. Obsesi yang berlebihan yang membuatnya depresi hingga menjadi ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). "Mama ... Mama nggak ingin pulang? Vania kangen sama Mama. Vania pengen tidur sama Mama." Saat itu, Vania datang ke Rumah Sakit Jiwa, di mana sang ibu dirawat untuk menjenguk. Namun, Agni hanya diam saja. Pandangannya kosong. "Ma ... Mama tahu? Sebentar lagi Vania masuk SMP. Doakan Vania bisa masuk ke sekolah yang Vania inginkan ya, Ma." Lagi-lagi Agni tak merespon apa pun. Begitulah wanita itu setiap ada yang menjenguk. Mau itu ibu atau adiknya sekalipun, responsnya tetap sama. Seiring berjalannya waktu, Vania pun tahu permasalahan yang sebenarnya. Apa yang membuat mamanya mengalami gangguan jiwa. Dan dengan sangat dewasanya, ia pun menerima. Sampai akhirnya dia menjadi seorang piatu. Untung saja ada Zahra, mantan istri ayahnya, yang menyayangi layaknya anak kandung. "Van!" Suara Mala mengejutkan Vania, terbangun dari lamunannya. "Lo kenapa? Gue panggilin dari tadi juga." Vania mengembuskan napas kasar. "Lo percaya karma, nggak, Mal?" "Dalam agama kita nggak ada karma, ya, Beb." "Ya, apa ya istilahnya, pokoknya balasan untuk tindak tanduk kita." "Heum. Terus?" "Apa ini karma nyokap gue ya, yang akhirnya nurun ke gue?" "Ah, jangan ngawur, deh, lo. Nyokap lo udah nggak ada juga." Mala mencoba meyakinkan Vania untuk tetap positif thinking. "Gue itu ada trauma, Mal. Makanya kan, gue nggak buru-buru menikah. Tapi ternyata, gini cerita hidup gue." "Say, kita nggak pernah tahu garis hidup kita bakal kayak gimana. Lo serahin semuanya sama Tuhan. Kalau memang Malik ternyata jodoh lo?" "Dan gue harus ngejalanin poligami?!" "Nih, lo tenangin pikiran lo dulu. Kalau udah adem, baru deh lo ambil keputusan. Jangan sekali-kali lo ambil keputusan saat emosi, bisa-bisa ujungnya nyesel." Omongan Mala ada benarnya, pikir Vania. Ia meminta sahabatnya itu untuk mengantar ke rumah Zahra, siapa tahu di sana bisa mendapat ketenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD