Malik sedang dalam perjalanan mengantar istri dan putrinya. Ia tidak menyangka, kejadiannya akan seperti ini. Padahal rencananya, ia akan menjelaskan dengan cara yang lebih baik tentang statusnya.
"Maafkan aku ya, Sayang. Aku tidak tahu kejadiannya akan seperti ini," ucap pria itu pada wanita yang bernama Vony.
Vony pun tersenyum sambil memperhatikan sang putri yang berada dalam pelukannya. Putrinya yang bernama Fero, masih diam saja sejak tadi. Tampaknya bocah itu shock dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kenapa harus minta maaf? Sekarang yang harus kamu pikirkan, bagaimana caranya agar Vania mau menerima keadaan. Jangan risaukan kejadian tadi. Fero biar menjadi urusanku," ujar Vony.
Malik mengangguk. "Oya, kita tidak jadi makan tadi. Nanti kita istirahat dan makan di rest area, ya. Kasihan Fero," tawar Malik.
"Terserah kamu saja."
Voni Diandra, dia adalah wanita pertama yang mampu membuat Malik jatuh cinta. Layaknya muda-mudi seusia mereka, saat kuliah Malik dan Voni memutuskan untuk berpacaran. Orang tua Malik pun tidak mempermasalahkan siapa wanita yang sedang dekat dengan putranya itu. Hak tersebut sebelum mereka tahu bahwa Voni memiliki keyakinan yang berbeda dari mereka. Seketika, orang tua Malik meminta mereka untuk mengakhiri hubungan, jika Voni tidak mau berpindah keyakinan. Dan putus, adalah jalan yang mereka pilih.
Cinta yang sudah Malik dan Voni miliki nyatanya sudah tumbuh dengan begitu subur. Dan perpisahan benar-benar membuat keduanya merasakan sakit sesakit-sakitnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjalani hubungan secara backstreet dari orang tua Malik.
Dengan restu orang tua Voni, mereka memutuskan untuk menikah di luar negeri. Saat itu, Malik mengatakan pada orang tuanya jika ia ingin menemui teman lama. Pada kenyataannya, dia pergi untuk menikah. Di mana di luar negeri, pernikahan dengan agama yang berbeda, jauh lebih mudah.
Voni adalah seorang wanita yang keibuan. Selama menikah, tidak pernah sekalipun ia marah pada Malik, juga pada sang putri, Fero. Saat Malik mengatakan, jika orang tuanya sudah mendesak untuk menikah pun, Voni justru mendukung suaminya untuk mencari wanita yang benar-benar baik.
"Von, Papa memintaku untuk segera menikah. Aku harus bagaimana?" tanya Malik saat itu. Mereka sedang makan malam.
Malik memang bertugas mengurus anak perusahaan papanya yang berada di luar kota, yang jaraknya bisa ditempuh selama tiga jam melalui perjalanan tol dari rumah orang tuanya.
Saat belum menikahi Vania, Malik bisa pulang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau bahkan sebulan sekali. Beda ketika sudah menikahi putri dari Revan itu, ia rutin pulang seminggu sekali. Dulu, jika tidak pulang, orang tua Malik mengira jika putranya sibuk dengan teman-temannya. Faktanya, Malik sibuk dengan anak-istrinya.
"Ya, sudah. Cari wanita yang baik, yang berpendidikan, yang mau menerima keadaan kamu, keberadaanku juga Fero."
"Apa kamu tidak apa-apa?"
Voni menggeleng. "Saat menikah denganmu, aku sudah persiapkan mental untuk segala kemungkinan. Termasuk, menjadi yang kedua, meskipun sebenarnya akulah yang pertama. Tidak apa-apa. Asalkan kamu bisa tetap menyayangi Fero seperti sedia kala, aku tidak masalah." Saat mengucapkan itu, Voni terlihat begitu sabar. Tidak terlihat kemarahan di wajahnya sedikit pun. Hal itu salah satu yang membuat Malik tidak mau dan tidak bisa meninggalkan ibu dari putrinya itu.
"Aku tidak tahu harus mengucapkan apa lagi selain terima kasih. Bagiku, kamu wanita hebat. Kamu wanita kuat. Aku beruntung memiliki kamu. Dan aku sama sekali tidak menyesal telah memilih kamu menjadi istriku."
Pernikahan Voni dan Malik memang adem ayem saja. Pun ketika Malik sudah menikahi Vania. Sayang kejadian tadi harus terjadi.
Di rest area yang mereka lewati pertama, Malik berhenti. Lalu memilih salah satu makanan cepat saji untuk mengisi perut mereka. Selain Fero yang sangat menyukai ayam krispi, Malik lebih nyaman membeli makan di tempat tersebut karena harga dan rasanya sudah pasti terjamin. Pernah sekali Malik makan di rumah makan yang lain, yang tidak terkenal, yang ada rasa tidak enak. Harganya pun seperti aji mumpung, sangat mahal.
Selesai makan siang, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Sampai di rumah yang mereka tinggali, Fero sudah tidur. Malik pun dengan sigap menggendong sang putri untuk ditidurkan di kamarnya.
"Kamu tidak apa-apa aku tinggal lagi?" tanya Malik.
"Tidak apa-apa. Kamu sendiri bagaimana? Apa tidak capek bolak-balik seharian ini?" Voni sangat mengkhawatirkan suaminya. Takut di jalan ngantuk dan terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Tidak. Aku akan tidur sebentar. Nanti habis maghrib bangunin ya. Aku akan berangkat malam saja."
"Baiklah."
"Ayo dong, kamu juga temenin aku!"
Tanpa disuruh dua kali, Voni pun mengikuti Malik ke kamar. Menemani suaminya tidur.
Dengkuran halus terdengar dari bibir Malik. Padahal waktu baru berlalu beberapa menit saja. Voni memandangi wajah pria itu. Tampan dan berkharisma. Mungkin itu yang awalnya membuatnya jatuh cinta. Apalagi setelah mengenal lebih jauh, sifat Malik memang idaman setiap wanita. Andai saja mereka tidak berbeda keyakinan, dan orang tua Malik tidak menentang, sungguh! Voni tidak rela berbagi suaminya dengan wanita lain.
***
Ingin melupakan rasa sakitnya, Vania memilih untuk mengunjungi Zahra. Kebetulan, Zahra juga sedang berada di rumah.
“Halo, Sayang,” sapa wanita yang sudah tidak lagi muda itu, namun tetap cantik.
“Halo juga, Tante,” jawab Vania kemudian masuk ke rumah tante yang selama ini sudah dianggapnya ibu. Ia duduk di sofa ruang tamu.
Di mata Zahra, wajah sang keponakan terlihat begitu lelah. Apalagi ketika Vania menyenderkan kepala di senderan sofa.
“Kamu kenapa, Sayang? Capek banget kayaknya," tanyanya dengan lembut.
Vania menggeleng. “Enggak, Tan. Vania nggak kenapa-napa.”
“Yakin, kamu nggak mau cerita?”
Vania berpikir sejenak. Ya, tidak ada salahnya bercerita kepada wanita bijak di depannya. Namun, ketika ia ingin memulai bercerita, ponselnya berdering. Nomor rumah.
“Ya, Bik?” Raut wajah Vania terlihat begitu panik.
“Apa?”
“Oke-oke, Vania akan segera ke sana.”
Buru-buru Vania memasukkan ponsel kembali ke dalam tas.
“Ada apa, Van?” tanya Zahra, ikut merasa panik.
“Papa kecelakaan, Tan. Sekarang ada di rumah sakit.” Vania berdiri dan bersiap untuk segera pergi.
“Apa?”
“Ini tadi Bibi yang telepon.”
“Kamu mau ke rumah sakit?”
“Iya.”
“Kalau begitu, Tante ikut.”
“Ayo, Tante.”
"Sebentar, Tante siap-siap dulu."
Akhirnya mereka pergi ke rumah sakit menggunakan mobil Zahra. Karena Vania memang tidak membawa mobil.
***
Sesampainya di rumah sakit, Vania dan Zahra segera mencari tahu di mana Revan berada. Pria itu memang dibawa ke rumah sakit umum, bukan rumah sakit milik keluarga.
Mereka sudah berada di depan ruangan di mana Revan berada. Dokter juga sudah menjelaskan tentang keadaan Revan. Kata dokter, Revan kritis.
Vania menangis di dalam pelukan Zahra.
“Vania nggak mau kehilangan Papa, Tan,” isak wanita itu. Ia sangat merasa takut.
“Sssttt, papa kamu akan baik-baik saja. Kita berdoa agar Tuhan menyelamatkan Papa, ya....”
Berjam-jam mereka menunggu Revan ditangani dokter. Fattan, Rayhan, dan Fachri juga sudah berada di rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, tepatnya pukul sepuluh malam, Malik datang.
“Apa yang terjadi?” tanya pria itu yang memang baru mendapat kabar yang kurang jelas dari ART Revan. Itu pun karena tadi ia menelepon rumah. Karena tidak bisa menghubungi nomor Vania.
“Papa kamu kritis, Lik,” jawab Fattan.
“Apa yang terjadi sebenarnya, Om?”
“Dia kecelakaan. Mobilnya ringsek. Banyak mengeluarkan darah juga.”
“Ya, Tuhan!” seru Malik.
Pria itu mendekati sang istri yang masih menangis dalam pelukan tantenya.
“Sayang...,” panggil Malik.
Zahra cukup peka. Ia menggeser tubuh, melepaskan diri dari pelukan Vania. Ia rasa, pelukan Malik-lah yang paling Vania butuhkan saat ini. Vania pun tidak menolak saat sang suami memeluknya. Ia tidak ingin ribut di saat ayahnya sedang dalam keadaan kritis.
Malik mendekap erat tubuh Vania. Ia mengusap-usap lengan wanita itu agar istrinya itu mendapat ketenangan. “Papa akan baik-baik saja, Sayang.”