Lima-Poligami

1052 Words
Malik dan Vania sedang menjaga Revan di rumah sakit. Rayhan terpaksa harus meninggalkan sang papa karena ada pekerjaan yang harus ia kerjakan. “Sarapan dulu, Sayang ... kamu harus makan meskipun hanya sedikit,” ucap Malik sambil menyodorkan sesendok bubur ayam yang baru saja dibelinya di depan rumah sakit. Vania menggeleng. “Aku nggak lapar.” Mana tertarik untuk makan melihat kondisi sang papa yang belum juga sadar. “Harus dipaksa. Kalau kamu sakit, Papa pasti sedih. Kamu juga harus punya tenaga, kan, untuk menjaga Papa," bujuk Malik. Vania pun akhir mau. Benar, ia harus tetap sehat demi papanya. Baru saja wanita itu menerima suapan Malik, tiba-tiba rasa mual menderanya. Segera ia berlari ke toilet. Malik mengikuti. Malik memijit tengkuk Vania saat sang istri sedang memuntahkan isi perutnya di wastafel toilet rumah sakit. “Kamu nggak apa-apa, Sayang? Apa kamu sakit? Masuk angin mungkin?” Vania membersihkan mulutnya dengan air. Setelah itu, ia berdiri menghadap Malik. Ditatapnya mata pria itu. “Aku tidak tahu bagaimana hidupku setelah ini.” Vania menunduk. Air matanya menetes. Ia kembali teringat tentang kejadian kemarin. “Semua akan baik-baik saja,” ucap Malik. “Dulu, almarhumah Mama dan Tante Zahra juga menjalani poligami. Haruskah aku merasakan apa yang mereka rasakan?” tanya Vania pilu. "Mamaku depresi sampai akhirnya meninggal. Apa aku akan begitu juga?" “Bagaimana pernikahan mereka dulu? Mengapa Mama bisa sampai depresi?” tanya Malik. “Ehm, kita duduk lagi sambil sarapan. Kita akan bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Aku akan ceritakan semuanya dengan detail." Vania mengangguk. Mereka kembali duduk di tempat yang tadi mereka duduki. “Mas ... boleh aku tahu, kenapa kamu menikahiku? Padahal, kamu sudah memiliki istri dan putri. Aku rasa, dia wanita yang sangat baik.” “Apa kamu sudah siap mendengar semuanya?” tanya Malik meyakinkan. “Ya, aku siap.” “Tidak akan menanggapinya dengan emosi?” “Untukku sekarang, memikirkan kesehatan Papa lebih penting, daripada harus emosi. Buang-buang tenaga. Aku ingin mendengar semuanya dari mulut Mas sendiri. Kemarin, aku masih dalam keadaan kaget, shock. Belum bisa menerima semuanya." “Baiklah.” Malik menghela napas panjang, kemudian diembuskan. “Namanya Voni. Voni Diandra. Dia adalah teman kuliahku dulu, sekaligus kekasihku. Hubungan kami sangat serius waktu itu. Tujuan kami adalah pernikahan. Kehidupan kami yang terbiasa dengan adat luar negeri, yang tidak pernah mempermasalahkan keyakinan, nyatanya menjadi sandungan terberat untuk kami.” Malik menjeda ucapannya. “Maksud Mas?’ “Begitu lulus kuliah, aku perkenalkan Voni pada Mama dan Papa. Awalnya mereka menerima Voni dengan baik. namun, ketika mereka tahu kalau Voni berbeda agama, mereka langsung menentang keras. Aku harus menikah dengan wanita yang seagama.” “Apa Voni tidak mau berpindah keyakinan?” “Dia orang yang sangat taat beribadah.” “Lalu?” “Karena kami sangat saling mencintai, akhirnya kami menikah di luar negeri. Mama dan Papa tidak tahu, karena aku bilangnya ada urusan sama temanku di sana. Keluarga dia tahu, tapi keluargaku tidak ada satu pun yang tahu.” “Selama itu? Sampai anak kalian sebesar itu?” “Ya ... karena itulah, aku memilih bekerja di luar kota. Mereka tinggal di sana. Aku tinggal bersama mereka." "Apa yang waktu itu yang Fero demam, itu adalah putri Mas?" "Ya. Aku minta maaf. Saat itu aku belum bisa jujur padamu." Vania diam. Bingung harus bagaimana menanggapi kenyataan yang baru saja diketahuinya. “Bagaimana? Kamu mau, kan, bertahan di sisiku? Seperti sebelum kamu tahu tentang pernikahanku, aku akan bersikap adil pada kalian. Aku jamin, semuanya akan baik-baik saja. Tentang Mama, apa yang membuat Mama depresi?" "Jadi dulu, Papa pernah melihat Mama. Kebetulan Mama sedang menemani temannya di rumah sakit keluarga kami. Mereka sudah saling tertarik. Tapi ketika Papa ingin mengungkapkan perasaan dan ingin berkenalan, Mama sudah pulang karena temannya sudah diperbolehkan pulang. Papa pun kehilangan jejak Mama. Papa hanya tahu nama mama itu Rara. Lalu, ketika di rumah Oma ada acara, Tante Zahra datang. Kebetulan, Tante Zahra juga kadang dipanggil Rara. Karena Papa melihat Mama selalu dari kejauhan, Papa menemukan kemiripan di wajah Mama dan Tante Zahra, jadi Papa kira, Tante Zahra itu Mama. Ketika resepsi pernikahan, datanglah Mama karena ternyata Mama dan Tante Zahra itu sepupuan. Mama dan Papa sama-sama terkejut. Sejak malam itu, mereka memulai hubungan terlarang sampai menikah secara diam-diam. Tante Zahra pun akhirnya tahu. Tante Zahra mau menerima Mama, sayangnya Mama hanya ingin menjadi istri Papa satu-satunya. Akhirnya, Tante Zahra yang mundur. Karena cinta dan mungkin rasa obsesinya, Mama selalu takut Papa akan meninggalkannya. Sampai depresi, menjadi ODGJ, dirawat di rumah sakit jiwa, dan meninggal." Air mata menggenang di pelupuk mata Vania. Selalu seperti itu jika ia mengenang sang Mama. "Kamu takut akan seperti itu?" “Ya, tentu saja. Untuk memutuskan menikah saja, kemarin aku masih takut," jawab Vania dengan jujur. "Aku janji, tidak akan membuat kamu menjadi depresi. Aku akan tetap sama dalam memperlakukan kamu dan Voni. Juga dalam memperlakukan Fero dan anak kita kelak." "Bagaimana dengan Mbak Voni? Apa dia tidak merasa terluka? Menerima dimadu itu butuh jiwa yang besar, dan hati yang lapang. Yang ikhlas juga.” Malik menggeleng. “Tidak. Justru dia yang memintaku untuk menikah lagi. Karena dia tahu, Papa dan Mama tidak akan menerimanya. Dia juga sangat cocok saat aku menceritakan semua tentang kamu. Kapan-kapan, aku akan ajak kamu bertemu dengannya.” Berat memang. Vania merasa tidak rela. Dirinya ternyata hanyalah istri kedua. Namun, kalau dia memilih mundur, bagaimana nasib anak yang sedang dikandungnya? Papanya juga sedang kritis. Ia tidak akan sanggup menghadapi semuanya sendiri. Rayhan sudah punya keluarga kecil, keluarga Zahra dan Fattan, Vania tidak ingin terus menerus merepotkannya. Wanita itu mengambil tas, membukanya, dan memberikan sebuah benda kecil memanjang. Lalu, memberikannya pada Malik. Malik menerimanya. Ia sudah sangat paham benda apa yang sekarang berada di tangannya. Pria itu mengamatinya. “Kamu hamil?” Vania mengangguk. “Ya, Tuhan ... terima kasih.” Malik langsung memeluk Vania, menciumi kepala dan kening istrinya berulang kali. Dari perbuatan Malik, Vania dapat merasakan kalau Malik benar-benar menyayanginya. ‘Tuhan, jagalah rumah tanggaku, agar semuanya baik-baik saja, aamiin,’ doanya dalam hati. Ya, Vania akan mencobanya. Mencoba menjalani semuanya. Poligami. Berbagi. Berbagi hati, berbagi waktu, berbagi kasih sayang, dan berbagi semuanya. Dia akan belajar menjadi seperti Zahra. Semuanya sudah menjadi takdirnya, ia tidak mungkin menolak. Dia akan menjalani dan mengusir jauh-jauh rasa iri. Menguatkan hati, dan menanamkan dalam diri kalau semuanya akan baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD