Enam-Madu

1020 Words
Malik sedang pulang ke rumah untuk membersihkan diri, sementara Vania masih di rumah sakit, menemani sang ayah. Melihat Revan yang matanya terpejam dan tak kunjung terbuka, membuat Vania merasa takut. Setelah menjadi piatu sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, rasanya ia tak sanggup jika harus kehilangan papanya. Selama ini, hanya papanya yang selalu ada. Sesibuk apa pun di rumah sakit, Revan selalu ada untuk sang putri. Tidak peduli tubuhnya yang lelah. "Pa ... baru semalam Papa terbaring di sini, tapi Vania merasakannya seperti sudah lama sekali. Vania merasa kesepian tanpa Papa. Ayo, dong, Pa ... Papa bangun. Vania sedang hamil cucu Papa, lho, Pa. Itu kan yang sejak dulu Papa inginkan. Papa ingin Vania seperti Lara, membina rumah tangga, lalu bisa memberikan Papa cucu. Kenapa sekarang Papa malah tidur di sini?" Tanpa terasa, air mata Vania pun mulai menetes. Ia benar-benar merasa kalut, takut kehilangan papanya. Digenggamnya tangan Revan, lalu ditempelkannya ke pipi. Pintu ruang perawatan Revan terbuka. Muncul Rayhan di sana. "Lo pulang dulu, gih, Van. Papa biar gue yang jaga," suruh pria itu. "Nggak mau. Gue mau nungguin Papa. Gue nggak mau ninggalin Papa, seperti Papa yang nggak pernah ninggalin gue," jawab Vania. "Tapi kan lo butuh istirahat. Tidur di rumah sakit kan beda sama tidur di rumah." "Nggak mau. Nanti kalau Papa sadar nyariin gue gimana?" "Hhh, dasar batu emang. Lo udah sarapan?" "Udah tadi, sarapan bubur sama Malik." "Baguslah." Rayhan berjalan ke arah sofa. Lalu duduk di sana. "Lo nggak lagi ada masalah sama Malik, kan, Van?" "Kok lo nanyanya gitu?" "Mama cerita ke gue, katanya kemarin lo kaya galau gitu. Pas lo dateng ke rumah Mama, sebelum denger kabar Papa kecelakaan," jelas Rayhan. Vania diam sejenak. "Oh, itu. Enggak. Gue kemarin cuma ngerasa lagi capek banget aja." Vania tidak mungkin jujur untuk saat ini. Kalau Rayhan sampai tahu, dia bisa marah besar. "Ray, lo mau dapet keponakan dari gue." Rayhan mencoba mencerna ucapan saudara seayahnya itu. Setelah ngeh maksud perkataan Vania, pria itu langsung berdiri. "Lo hamil?" tanyanya dengan ekspresi bahagia. Vania mengangguk sambil tersenyum. Sementara Rayhan langsung memeluknya. "Selamat ... akhirnya ...," ucap Rayhan sambil mengecup kepala sang kakak. Kemudian, matanya beralih pada papanya yang masih terbaring sambil memejamkan mata. "Pa ... Papa dengar, kan? Tuh, Vania hamil. Selama ini, Papa pengen banget kan, dapet cucu dari Vania. Papa cepet sembuh, cepet bangun. Biar kita bisa main bareng sama anak Vania nanti." Mendengar semua itu membuat Vania kembali sedih. "Papa pasti bangun, kan, ya, Ray?" "Iya, Van ... Papa pasti bangun. Papa kan sayang sama kita." Kedua saudara itu saling memeluk. Saling menguatkan. Meskipun sebenarnya sama-sama merasa takut kehilangan. *** Hari ini, kebetulan Voni sedang berada di kota di mana Malik dan Vania tinggal. Tujuannya karena Feronika, sang putri, ingin sekali bertemu dengan papanya. Akhirnya, mereka pun janjian untuk bertemu. Malik juga mengajak Vania. Mereka memilih restoran yang memiliki playground untuk bertemu. Saat Malik dan Fero sedang bermain sambil menuntaskan rindu, Vania dan Voni saling mendekatkan diri. "Voni." "Vania." Ucap mereka bersamaan ketika berjabat tangan. "Bagaimana kandungan kamu? Sehat?" tanya Voni membuka pembicaraan. Bagaimanapun juga, anak yang dikandung Vania, nantinya juga akan menjadi anaknya, anak sambungnya. "Sehat, Mbak," jawab Vania. "Jangan lupa vitamin sama penambah darahnya, ya ... biar kalian tetap sehat." "Iya, Mbak. Makasih." Vania tidak menyangka, kalau Voni akan seramah ini. Pantas saja, Malik sangat mencintainya. Putri dari Revan itu tidak tahu harus membicarakan apa dengan kakak madunya itu. "Bagaimana kondisi papa kamu?" Karena Vania banyak diam, akhirnya Voni yang kembali membuka topik. "Masih koma, Mbak." "Ikut prihatin, ya...." Vania mengangguk. "Ehm, Mbak ... boleh bertanya sesuatu?" "Apa itu?" "Kenapa Mbak mengizinkan Mas Malik dan aku menikah, Mbak? Aku tahu, dipoligami itu tidak enak." Voni tersenyum sebelum menjawab, "Karena cinta." "Cinta?" tanya Vania, seolah ia salah dengar. Voni mengangguk. "Aku mencintainya. Di saat aku tidak bisa memberikan apa yang dia butuhkan, sudah seharusnya aku melakukan apa pun agar dia bisa mendapatkannya." "Maksud Mbak?" "Aku tahu, Mas Malik sudah bercerita semuanya ke kamu. Yang aku maksud apa yang dia butuhkan adalah restu. Restu orang tuanya. Aku tidak bisa mengikuti keyakinannya. Salah satu yang bisa aku lakukan, ya mengizinkannya menikah dengan orang yang satu keyakinan dengannya. Dengan begitu, restu itu pasti dia dapat." "Apa Mbak tidak sakit hati? Mbak tidak cemburu?" "Sakit hati dan cemburu itu pasti ada. Tapi yang aku fokuskan bukan itu. Apalagi, saat aku mendengar kabar bahwa kamu hamil. Aku ikut bahagia. Itu berarti, Fero akan segera memiliki adik." "Maaf ... apa Mbak Voni-" Ucapan Vania terpotong. Ia tidak enak jika harus melanjutkannya. "Kenapa? Tentang adik untuk Fero?" Vania mengangguk ragu. "Dua tahun lalu, rahimku harus diangkat. Itu kenapa aku tidak bisa lagi memiliki anak. Tidak bisa memberi Fero adik. Bahkan, aku tidak bisa memberikan Mas Malik kepuasan seperti dulu," jelas Voni. "Ikut sedih, Mbak." "Terima kasih ... tapi aku dan Mas Malik sudah bisa menerimanya. Takdir, kan. Mau diapakan lagi." "Terima kasih, Mbak Voni mau menerimaku sebagai istri kedua Mas Malik. Mau menganggapku sebagai adik." "Aku juga berterima kasih karena kamu mau bertahan di sisinya. Aku kira, kamu akan menolak. Waktu itu kamu kelihatan begitu marah." "Aku shock, Mbak. Aku kaget. Apalagi aku punya trauma soal poligami. Tapi setelah dipikir pakai kepala dingin, aku rasa tidak ada salahnya dijalani. Mungkin ini memang sudah jadi takdirku, takdir kita," ucap Vania dengan bijak. Voni pun tersenyum, lalu berkata, "Aku nggak minta apa pun, kecuali, Fero tetap mendapatkan haknya. Itu saja." Vania menggenggam tangan Voni yang ada di meja. Ia meneteskan air mata haru. Ia beruntung, memiliki kakak madu seperti Voni. Dari kejauhan, Malik juga tersenyum melihat kedua istrinya. *** Sudah lima bulan Revan koma. Selama itu juga, Vania selalu setia menemani sang papa. Tentu saja bergantian dengan Rayhan. Sesekali Fattan dan Fachri juga ikut menunggu Revan di rumah sakit. Malik pun lebih sering bersama istri keduanya. Voni sangat memahami itu. Hanya saja, sang putri yang selalu menuntut kehadiran Malik. Malik yang dulu bisa lima hari full bertemu, sekarang tidak bisa. Kandungan Vania kini juga sudah berusia tujuh bulan. Perutnya sudah terlihat membuncit. Malik selalu menemani saat harus memeriksa kandungan. Dokter mengatakan, kandungan Vania sangat sehat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD