Tujuh-Menjadi Piatu

1331 Words
"Mama, kenapa, sih, sekarang Papa suka pergi-pergi? Aku tuh kangen sama Papa, pengen main yang lama sama Papa. Ini, udah kalau hari Minggu nggak bisa jalan-jalan sama Papa, hari-hari biasa yang biasanya Papa di rumah, juga udah jarang." Protes demi protes mulai keluar dari bibir putri Voni dan Malik itu. Ia memang belum tahu tentang sang papa yang menikah lagi. Dan dia memiliki ibu sambung atau ibu tiri. Sebelum ini, dia juga sering bertanya, mengapa ia tidak bisa seperti anak lain, seperti teman-temannya yang selalu bisa berakhir pekan dengan ayah mereka. Namun, pada akhirnya bocah itu menerima alasan sang ayah yang katanya kalau setiap akhir pekan, harus mengurus pekerjaan di kota lain. Tetapi sekarang, di saat waktu yang ia miliki mulai berkurang lagi, Fero mulai kesal. Sebagai ibu, Voni juga merasa tidak tega. Terkadang ada rasa cemburu dan rasa iri. Namun, ia selalu berusaha menepisnya. Ini jalan yang ia pilih. Mau tidak mau, harus dijalani. Dan dia harus membujuk sang putri seorang diri. Karena Malik selain sibuk juga pasti lelah dan kurang tidur karena harus menemani Vania secara bergantian menunggu papanya di rumah sakit. "Sayang ... Papa kan harus cari uang buat Fero. Buat jajan Fero, buat beli baju dan mainan Fero, buat sekolah Fero juga." "Teman-teman Fero yang lain, papanya juga kerja. Tapi bisa selalu temenin jalan-jalan, main juga," bocah itu semakin kritis. "Pekerjaan papa teman-teman Fero kan lain sama pekerjaan papa Fero. Lagian, Fero kan juga ada Mama. Fero mulai nggak suka ya, main sama Mama. Mama jadi sedih. Padahal kan, Mama senang main sama Fero." s*****a Voni terakhir agar putrinya berhenti merajuk adalah pura-pura merajuk juga. Dengan begitu, Feronika akan luluh. Bocah itu mendekat ke arah sang mama, lalu memeluknya. "Mama ... Fero sayang sama Mama. Fero juga senang kok main sama Mama." "Makanya, Fero ngertiin Papa, ya. Nanti kalau Papa udah nggak sibuk, pasti Papa ajak kita jalan-jalan." Fero pun akhirnya menurut, tak lagi ngambek. Voni memang pawang andal untuk putrinya. *** Revan akhirnya sadar. Ia sudah dibawa ke rumah. Karena Vania yang sedang hamil besar, dan Lara juga sibuk mengurus Cilla yang masih kecil, mereka memutuskan untuk membayar suster untuk merawat Revan di rumah. Malik sedang berada di rumah Voni. Ia sedang berbincang dengan istri pertamanya itu. "Sayang, boleh aku bicara sesuatu?" tanya Voni. "Boleh. Apa sih yang nggak buat kamu? Mau tanya apa memangnya?" "Boleh aku minta waktu kamu yang ditambah sedikit buat putri kita? Aku semakin kewalahan membujuk dia kalau dia ngambek. Dia mulai sering protes." Ya, Malik sadar. Akhir-akhir ini, dia terlalu fokus pada keluarga istri keduanya. Dia lupa kalau dia juga punya seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa. "Aku minta maaf, ya ... aku sudah mengabaikan kalian." Dengan cepat, Voni menggeleng. "Enggak, Sayang ... bukan maksudku kami merasa diabaikan. Gini, dulu kan kamu punya waktu lima hari buat putri kita, sekarang, terkadang dalam satu minggu kamu cuma punya waktu dua hari. Ya, maksudku, mungkin bisa jadi tiga atau empat hari. Aku tahu, Vania butuh support kamu. Tapi, putri kita juga butuh figur kamu." Voni menjelaskannya dengan sangat hati-hati. Ia tidak mau kalau sampai membuat renggang hubungan suami dan adik madunya. "Iya ... aku akan usahakan, ya, Sayang. Kondisi papa Vania juga sudah mulai membaik. Kemarin, karena masih di rumah sakit, makanya aku juga harus ikut menemani." Ponsel Malik berdering, pria itu menerima panggilan tersebut. "Apa? Iya, iya. Aku segera ke sana." "Siapa, Lik? Ada apa?" tanya Voni. "Rayhan. Katanya, Vania mau melahirkan," jawab Malik sambil memijit pelipisnya. Ia memang sedang merasa tidak enak badan. “Kamu harus menemaninya. Dia butuh kamu," ujar Voni. “Ya ... aku akan ke rumah sakit.” “Tapi kamu sedang tidak enak badan. Biar aku antar kamu. Nanti setelah bayi Vania lahir, aku akan kembali.” “Bagaimana dengan Fero?” “Aku akan menitipkannya ke Mama.” “Baiklah. Terserah kamu kalau begitu.” Setelah menitipkan Fero kepada orang tua Voni, wanita itu mengantar suaminya menggunakan mobil. Dialah yang mengemudikan mobil. Sayang, di perjalanan mobil mereka mengalami kecelakaan yang cukup parah. Setelah salah satu saksi menelepon ambulance, dan ambulance datang, Malik dan Voni segera dibawa ke rumah sakit terdekat. *** Di rumah sakit lain, Vania sedang merasakan kontraksi yang cukup hebat. Ada Zahra dan Fattan yang setia menemani. “Mas Malik belum bisa dihubungi, Tan?” tanya Vania sambil sesekali meringis menahan sakit. “Belum, Sayang ... nomornya tidak aktif.” “Ck....” Keluarga memang belum ada yang tahu tentang status Vania dalam pernikahannya. Mereka belum tahu kalau Malik memiliki istri lain. Yang mereka tahu, pria itu sedang ada urusan pekerjaan. Kontraksi semakin sering Vania rasakan. Saat dokter memeriksanya, pembukaan telah lengkap. Akhirnya, mereka memutuskan untuk segera melakukan proses persalinan. Sekalipun tanpa kehadiran Malik. Proses persalinan normal yang berjalan sekitar dua jam akhirnya selesai saat tangis seorang bayi perempuan terdengar. Vania menangis haru saat melihat sang putri sudah terlahir ke dunia. Tidak adanya Malik dan Revan sebagai kakek dan ayah, akhirnya papa Malik yang hadir di sana meminta Fattan untuk mengazankan cucunya. Bayi Vania sudah dibersihkan. Kini, bayi merah itu sedang berada dalam dekapan sang ibu yang juga sudah selesai dibersihkan. “Sayang ... kenapa Papa belum datang, ya? Perasaan Mama nggak enak. Semoga papa kamu baik-baik saja,” gumam Vania. *** Di tempat lain, tepatnya di kantor papa Malik sedang terjadi kehebohan. Baru saja ada yang mengabarkan bahwa Malik, seseorang yang memiliki kartu nama beralamat di kantor tersebut mengalami kecelakaan. Wanita yang diduga istrinya, tidak dapat diselamatkan. Semua yang mengetahui kabar tersebut bertanya-tanya. Istrinya tidak dapat diselamatkan? Bukankah istri dari putra bosnya itu baru saja melahirkan di rumah sakit? Itu yang mereka dengar saat sang bos meminta izin untuk tidak hadir di kantor. Salah satu dari mereka akhirnya memutuskan untuk menghubungi papa Malik. Pria yang sudah tidak muda lagi itu sangat terkejut. Ia memerintahkan orang untuk menyelidiki benarkah bahwa sang putra mengalami kecelakaan? Setelah orang suruhannya menyelidiki, benar saja. Orang yang mengalami kecelakaan adalah putranya. Dari rumah sakit tempat Vania bersalin, orang tua Malik langsung pergi ke rumah sakit di mana Malik dirawat. Rayhan dan Fattan mengikuti. Sesampainya di rumah sakit, mereka menanyakan tentang keberadaan Malik. Setelah mendapat informasi, mereka segera menuju ruangan itu. Di depan ruangan, ada beberapa orang dewasa dengan wajah yang cukup menggambarkan kesedihan. Selain orang dewasa, ada juga seorang anak perempuan yang sedang menangis dalam gendongan salah satu orang dewasa itu. “Permisi, kami keluarga Malik. Apa, Bapak yang menolong anak kami?” tanya papa Malik dengan sopan. “Bukan. Kami bukan yang menolongnya. Tapi, anak kami juga menjadi korban. Sayang, anak kami tidak selamat.” “Maksud Bapak?” “Anak kami sedang berada di dalam mobil yang sama dengan Malik.” Papa Malik mengernyit. “Apa ... anak Bapak salah satu karyawan kami?” Papa Malik bertanya demikian, karena yang ia tahu, Malik meninggalkan Vania untuk urusan pekerjaan. Pria yang sedang berdialog dengan papa Malik menggeleng. “Lalu?” “Anak kami istri Malik. Malik, menantu kami.” “Apa?!” seru papa Malik ia sangat merasa terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia memang belum pernah bertemu dengan orang tua Voni, sehingga tidak tahu wajah mereka. Bukan hanya papa Malik, Fattan, Rayhan, dan mama Malik pun terkejut mendengarnya. Apa Vania sudah mengetahui hal ini? “Kami minta maaf. Kami sudah ikut merahasiakan pernikahan anak kita.” “Maksud Anda?” “Anda pasti ingat, enam tahun lalu, ada seorang wanita yang ingin Malik nikahi, namun Anda larang karena mereka berbeda keyakinan.” “Jadi?” “Ya, wanita itu putri kami. Putri kami yang baru saja tidak tertolong dalam kecelakaan. Mewakilinya, saya ingin meminta maaf pada Anda karena dia telah diam-diam menjadi menantu Anda.” Papa Malik tak mampu berkata-kata. Kenyataan yang cukup membuatnya tercengang. “Dan ini ... putri mereka, Fero. Feronika.” Papa Vania mengenalkan Fero pada papa Malik. “Anda tidak perlu khawatir, kami yang akan merawatnya. Kami tidak akan membebankan cucu kami pada keluarga Anda.” Papa Malik belum mampu bicara sampai dokter keluar dari ruangan dan menjelaskan kondisi Malik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD