Malik sudah dipindahkan ke ruang perawatan, lukanya tidak terlalu parah. Namun, tidak ada satu pun orang yang berani memberitahukan tentang kecelakaan yang menimpa Malik pada Vania.
Papa Malik masih menunggu penjelasan dari sang putra. Ia tidak menyangka putranya telah membohonginya selama ini. Enam tahun, pria itu sudah dibohongi oleh putra kandungnya sendiri. Sedangkan Voni sudah disemayamkan di rumah duka.
"Voni ... Pa! Bagaimana keadaan wanita yang bersamaku, Pa?" tanya Malik. Sejak ia sadar, tidak ada yang mau memberi tahu tentang keadaan Voni. Ditanya pun, mereka hanya diam saja.
"Siapa dia, Lik? Siapa Voni? Bukankah nama mantan pacar kamu yang dulu itu juga Voni?" tanya papa Malik, pura-pura tidak tahu.
Seketika Malik teringat jika orang tuanya tidak tahu dirinya masih menjalin hubungan dengan wanita itu. Papa Malik tahu, sang putra sedang merasa kebingungan.
"Dia sudah pergi. Dia tidak tertolong," ucap papa Malik tanpa memikirkan perasaan sang putra.
Malik pun membatu. Tidak mungkin. Tidak mungkin istrinya tidak tertolong. Tidak mungkin istrinya meninggalkannya. Bagaimana nanti Fero, putri mereka.
“Kenapa, Lik? Apa dia orang yang berharga buat kamu? Sepertinya kamu merasa sangat terpukul?"
Malik menunduk. Air mata pun keluar dari ujung mata.
"Papa menunggu penjelasan kamu, Malik!” ucap papa Malik.
Di ruang rawat Malik, kini hanya ada mama dan papanya. Fattan dan Rayhan sudah kembali ke rumah sakit tempat Vania bersalin. Malik juga sudah mengetahui keadaan Vania yang baik-baik saja.
“Maafkan Malik, Pa,” pinta Malik. Penuh rasa bersalah.
“Kenapa kamu berani menentang Papa?”
“Karena Malik sangat mencintai Voni.”
“Apa cinta kamu lebih besar padanya, daripada pada kami?”
“Tolong, Pa ... saat ini aku sedang merasakan kehilangan. Aku sudah kehilangan istriku, wanita yang sangat aku cintai. Tolong, Papa jangan menambah kesedihanku untuk saat ini," pinta Malik, penuh permohonan.
“Apa yang diucapkan Malik benar, Pa. Meskipun kita kecewa pada Malik, tentang apa yang telah dia lakukan di belakang kita selama ini, tapi saat ini suasananya sedang berduka. Tidak etis rasanya jika kita harus meributkan apa yang telah Malik dan wanita itu lakukan,” ujar mama Malik yang sedari tadi diam.
“Tapi, Ma ... Malik sudah berkhianat pada kita, Ma!” Papa Malik memang tipe orang yang tegas. Dia juga tipe yang tidak suka ditentang, apalagi dibohongi.
“Pa, kita bisa membahasanya besok-besok, setelah duka ini hilang. Mama yakin, Malik sedang sangat terpukul. Apalagi dia sedang bersamanya ketika kejadian."
Mau tidak mau, papa Malik akhirnya menuruti perkataan sang istri.
“Bagaimana kondisi Vania?” tanya Malik.
“Dia sehat. Anak kalian perempuan. Tadi, Pak Fattan yang mengazankan karena papa mertua kamu, belum bisa datang ke rumah sakit,” jawab mama Malik.
“Bagaimana kamu bisa kecelakaan?”
“Tadi, aku sedang berada di rumah Voni, Pa.”
“Apa itu alasan kenapa kamu memilih ditempatkan di luar kota?”
“Maaf, Pa. Iya.”
“Apa Vania sudah tahu?”
“Sudah. Sejak pertama kali dia tahu hamil, waktu itu pas Papa Revan kecelakaan, aku sudah mengatakan semuanya.”
“Bagaimana tanggapan dia?”
“Dia menerimanya. Bahkan, dia juga sudah bertemu dengan Voni. Kami bertiga baik-baik saja. Kemarin, dia juga tahu kalau aku pergi untuk menemui Voni dan Fero. Karena Fero protes, semenjak Papa Revan kecelakaan, waktuku lebih banyak di sini."
“Apa keluarga Vania juga sudah tahu?”
Revan menggeleng. “Belum, Pa. Kami belum menceritakannya. Keadaan belum memungkinkan."
“Oke, kembali lagi, kenapa kamu bisa kecelakaan?”
“Rayhan meneleponku kalau katanya Vania mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Saat itu, aku sedang tidak enak badan. Kepalaku pusing. Akhirnya, Voni memutuskan untuk mengantarkanku menemui Vania. Sayang, kami mengalami kecelakaan. Dan demi bertemu istri keduaku, aku harus kehilangan istri pertamaku.” Tanpa terasa, air mata Malik menetes.
Mama Malik sebagai wanita yang tentu saja memiliki perasaan yang lebih peka, langsung merangkul pundak putranya, memberinya kenyamanan dan ketenangan.
“Takdir. Papa harap, kamu tidak akan menyalahkan Vania setelah ini. Pelajaran buat kamu. Melakukan hal tanpa restu orang tua, itu sama artinya juga, tanpa restu Tuhan. Sudahlah, kamu laki-laki, tidak usah cengeng. Papa akan menemui dokter. Kita harus menghadiri pemakaman Voni. Setelah itu, kamu juga harus menemui Vania. Kasihan dia."
Setelah itu, papa Malik keluar dari ruang perawatan sang putra. Sementara mama Malik tetap menemani putra satu-satunya itu.
***
Fattan dan Rayhan sudah sampai di rumah sakit bersalin. Fattan sudah menceritakan semua tentang Malik pada Zahra.
“Ya, Tuhan ... kasihan sekali Vania. Apa menurut Abang, Vania sudah tahu tentang ini?” tanya Zahra. Wanita itu merasa sangat kasihan pada keponakannya.
“Abang juga tidak tahu. Tadi, saat Abang dan Rayhan pulang, Malik belum sadar. Tapi, untunglah ... tidak ada luka serius.”
“Syukurlah....”
Zahra masuk ke ruang perawatan Vania. Keponakannya itu sedang memberi sang putri ASI. Sambil memperhatikan Vania, Zahra merasa iba. Kenapa nasib putri dari mantan suaminya itu harus seburuk itu. Sejak kecil, ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Setelah menikah, ia harus merasakan menjadi istri kedua, meskipun Zahra tidak tahu, sudah tahukah Vania tentang statusnya? Sepengalamannya, tidak ada hal yang indah dari pernikahan poligami. Apalagi yang berawal dari sebuah kebohongan atau perselingkuhan.
“Tante....” Panggilan Vania membuyarkan lamunan Zahra.
Ibu dari Rayhan dan Fachri itu langsung berjalan mendekat.
“Belum ada kabar dari Mas Malik, Tan?” tanya Vania.
“Belum, Sayang,” jawab Zahra ragu-ragu.
“Duh ... ke mana, sih, dia? Apa terjadi sesuatu sama Fero? Atau Mbak Voni?” gumam Vania. Namun, Zahra dapat mendengarnya.
“Apa, Van? Fero? Voni? Siapa mereka?”
“Eh ... enggak, kok, Tan ... bukan siapa-siapa,” jawab Voni terbata. Ia tidak akan menceritakan tentang status istri keduanya.
“Jangan bohongi Tante, Vania. Apa kamu merahasiakan sesuatu dari kami?” cerca Zahra.
Vania ragu, haruskah ia menjelaskan semuanya?
“Vania?” panggil Zahra kemudian karena Vania diam saja.
“Ehm, oke, Tan ... Vania akan menceritakan semuanya. Tapi, Mas Malik nggak sejahat Papa, kok, Tan.”
“Maksud kamu?”
“Oke ... seperti Tante, aku juga dimadu sama Mas Malik.”
“Jadi, kamu sudah tahu semuanya?”
Vania bingung. Mengapa sepertinya tantenya sudah tahu tentang Malik. Siapa yang menceritakannya?
“Apa Tante sudah tahu tentang Mas Malik? Tentang status Mas Malik?”
“Justru kami pikir, kamu belum tahu semuanya.”
“Dari mana Tante tahu? Sejak kapan? Apa sejak kami akan menikah?”
Zahra menggeleng. “Baru saja. Baru saja kami tahu tentang kondisi pernikahan kalian.”
“Dari mana Tante tahu?” Kini giliran Vania yang mencerca sang tante.
“Sesaat setelah kamu melahirkan, papa mertua kamu mendapat kabar soal Malik.”
“Kabar apa, Tan?” tanya Vania, harap-harap cemas.
“Tentang Malik yang mengalami kecelakaan.”
“Apa?!” pekik Vania.
“Sssttt, kamu tenang. Malik baik-baik saja. Tapi....”
“Tapi apa, Tan?”
“Wanita yang bernama Voni, yang saat itu berada di mobil yang sama, nyawanya tidak terselamatkan.”
“Apa? Mbak Voni meninggal?”
Zahra mengangguk pelan. Vania menangis. Ia tak menyangka, sesingkat itu umur Voni. Kakak madu yang menurutnya sangat baik.
“Ikhlaskan. Tuhan lebih sayang padanya. Kamu tidak boleh stres. Karena itu akan berpengaruh pada produksi ASI kamu. Kasihan anak kamu.”
“Iya, Tan,” jawab Vania dalam isakannya.