Sembilan-Orang Tua Baru

1050 Words
Voni sedang dimakamkan. Voni berada dalam gendongan Malik. Untuk bocah seusianya, dia sudah cukup mengerti dengan apa yang terjadi. Sejak tadi pun, ia hanya bisa menangis tanpa suara. Malik yang merasakan lehernya basah karena air mata, hanya bisa membiarkan. "Fero sabar, ya. Ada Papa. Papa akan selalu ada buat Fero. Sekarang yang Mama butuhkan adalah doa kita, doa Fero. Untuk saat ini, nggak apa-apa Fero nangis. Tapi setelah ini, Fero harus janji nggak nangis lagi, ya," bisik Malik. Fero pun mengangguk pelan dalam ceruk leher sang ayah. "Von, terima kasih sudah menemaniku selama ini. Sudah mencintaiku, menyayangiku dengan tulus. Sudah selalu mengertiku. Kamu cinta pertamaku, dan selamanya akan tetap seperti itu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan. Terima kasih sudah memberiku bidadari kecil. Aku janji akan selalu menjaganya, menyayanginya, apa pun yang terjadi. Kamu tenang di sana, ya. Doaku akan selalu menyertai kamu," ucap Malik dalam hati. Ia segera mengusap air mata ketika dirasa mulai keluar. Ia tidak ingin putrinya melihatnya menangis. Takut menambah kesedihan. Pulang dari pemakaman, Malik mampir ke rumah mertuanya, orang tua Voni. Di sana, mereka membicarakan tentang Fero, bagaimana kehidupan bocah itu selanjutnya. "Biarkan Fero bersama Malik, Ma, Pa," pinta Malik. Ia sangat menyayangi putri sulungnya itu. "Tapi orang tuamu tidak menyukai Voni, Lik. Pasti juga tidak akan menyukai putrinya," ujar mama Voni. "Enggak, Ma. Lambat laun, pasti mereka juga akan menerima Fero. Orang tua Malik bukan orang jahat. Lagi pula, Fero putra Malik. Tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan Malik." Akhirnya orang tua Voni pun mengizinkan sang cucu diasuh menantunya. Dengan catatan, mereka tidak dibatasi untuk bertemu. Namun, untuk sekarang, Fero tinggal dulu bersama oma-opanya. Malim harus menemui Vania dan putrinya yang baru lahir. *** Malik sampai di rumah sakit, di ruangan di mana istri dan bayinya berada. Di sana ada Zahra, juga Rayhan. Rayhan memasang wajah tidak suka pada kakak iparnya. Karena sejak tadi dia memang menunggu kehadiran Malik, ingin menumpahkan rasa marah dan kesalnya. Belum juga Malik menemui Vania yang sedang tidur, Rayhan langsung mendorong tubuh Malik ke luar ruangan. "Ada apa, Ray?" tanya Malik. "Gue ingin bicara!" Rayhan membawa Malik jauh dari ruang perawatan Vania, ke kursi taman yang biasa digunakan untuk berjemur. Malik diam menunggu Rayhan mengeluarkan suara. Ia tahu, saudara iparnya itu pasti sudah tahu tentang status pernikahan Vania dan dirinya. "Lo pilih mau gue ludahin, apa mau gue tonjok, Lik?!" tanya Rayhan berbasa-basi, penuh dengan emosi. "Terserah kamu mau apakan aku, aku akan terima." Rayhan geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya lo giniin saudara gue! Gue tahu, lo pasti udah tahu tentang masa lalu Vania, tentang trauma dia. Tapi lo dengan teganya berbuat begitu!" "Tapi aku berusaha untuk adil, untuk tidak menyakiti dia. Kemarin ketika Papa koma saja, aku lebih banyak menemani Vania." "Nggak menyakiti dia?! Lo pikir berbagi cinta dan raga itu nggak menyakiti? Pendek banget pemikiran lo. Kalau aja bukan di rumah sakit, gue udah kasih lo pelajaran. Vania adalah salah satu wanita yang bakal gue lindungi di dunia ini. Kali ini lo gue maafin. Tapi sekali lagi lo berbuat hal yang menyakiti Vania, gue bakal kasih lo pelajaran!" Rayhan mengingatkan masih dengan emosi dan kemarahan yang sama. Tanpa mengajak Malik, Rayhan kembali ke ruang perawatan Vania. Malik pun mengikuti di belakangnya. Meskipun Zahra juga merasa kecewa kepada Malik, ia tetap mencoba memahami keadaan. Ia pun mengajak Rayhan untuk pulang. Memberikan waktu kepada ayah dan ibu baru itu. Tentu saja sebelum pulang, Rayhan kembali memperingatkan Malik. Menjadi ibu baru, nyatanya bukan hal yang mudah. Bayi perempuan yang masih kemerahan itu belum bisa tertidur pulas. Apalagi ASI Vania juga belum deras. Malik mencoba membujuk Vania agar bayinya diberi s**u formula saja. Namun, Vania menolak. Ia ingin memberikan ASI eksklusif untuk putri pertamanya. Malam pertama menjadi orang tua, Malik dan Vania tidak bisa tertidur sama sekali. Si bayi maunya dipangku dan tak mau lepas dari putiing ibunya. Sebagai suami dan ayah, tentu saja Malik pun merasa tidak tega untuk memejamkan mata. Meskipun badannya terasa remuk akibat kecelakaan. "Kalau kamu mau tidur, tidur saja, Mas. Aku tidak apa-apa," ujar Vania yang merasa tidak tega, melihat suaminya yang sangat lelah. "Jangan. Aku kan juga orang tuanya. Aku juga punya hak dan tanggung jawab untuk menjaganya." Ya, sebisa mungkin Malik tidak ingin pilih kasih. Dulu ketika Feronika baru lahir pun, Malik setia menemani Voni. "Tapi kamu terlihat sangat lelah. Badan kamu juga pasti sakit semua, kan?" "Aku benar, tidak apa-apa." Keduanya terdiam. Beberapa saat kemudian, Vania kembali bersuara. "Turut berduka cita, ya, Mas. Semoga Mbak Voni dilapangkan kuburnya." "Aamiin," jawab Malik singkat. "Oya, Fero bagaimana keadaannya?" "Dia masih sangat terpukul. Tapi dia bersama oma-opanya, semoga mereka bisa menghibur Voni." Vania mengangguk-angguk. "Besok setelah pulang, Mas bawa Fero tinggal sama kita, ya, Mas." "Ya, tentu saja." Esoknya, kebetulan Zahra libur. Ia memutuskan untuk menemani Vania. Menjadi ibu baru sudah pasti sangat butuh bimbingan. Kalau bukan dirinya, siapa lagi. Bersama ibu mertuanya, Vania juga pasti merasa sungkan. Saat Zahra sampai di kamar rawat Vania, terlihat Malik sedang tidur di ranjang yang memang dikhususkan untuk penjaga pasien. "Wah ... semalam hanya berdua, Van?" tanya Zahra. "Iya, Tan. Semalaman nggak bisa tidur. Baru habis subuh tadi Mas Malik tidur. Dede bayinya juga mau tidur tadi abis subuh. Pas dimandiin aja terngantuk-ngantuk," jawab Vania sambil memandangi bayi yang sedang memejamkan mata di pangkuannya. "Wah ... cucu Oma udah pinter ternyata," ujar Zahra sambil mengusap-usap pipi bayi Vania. "Mau dikasih nama siapa, Van?" "Felice, Tante. Tapi belum nemu nama panjangnya. Kemarin pas hamil, sibuk memikirkan hal lain. Sampai lupa nyari nama bayi." Zahra tersenyum sambil mengusap-usap rambut Vania. "Insya Allah pahala buat kamu, Nak. Kamu sangat telaten merawat papamu." "Aamiin, Tante." "Oya, Tante masakin sayur bening daun katuk buat kamu. Biar ASI kamu lancar." "Wah, makasih, Tante. Vania jadi ngerepotin Tante." "Hush! Kayak sama siapa saja. Tante kan orang tua kamu juga." Zahra mengambil sayur katuk untuk Vania. Lalu ia menyuapkannya. "Jadi ibu baru memang nggak mudah. Pasti kamu akan kurang tidur, capek. Tapi selama kita bisa menikmatinya, bisa mensyukuri kalau tidak semua wanita seberuntung kita, insya Allah, kita bisa tetap waras. Apa yang terjadi kemarin, jangan terlalu kamu pikirkan ya, Sayang. Karena kalau kamu stres, akan berimbas juga sama bayi kamu," pesan Zahra. "Iya, Tante. Insya Allah, Vania bisa menjaga kewarasan. Pokoknya, Tante ingatkan dan ajari Vania terus, ya, Tan. Biar Vania bisa menjadi ibu yang baik." "Tentu saja, Sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD