PART 5 - ABANG KAMBING.

1464 Words
PART 5 – ABANG KAMBING Nisa menatap heran melihat dua gadis yang belum lama pamit mau olah raga, kini kembali dengan waktu yang sangat cepat. Bahkan ia saja belum selesai memasak sarapan pagi. Baru ada teh manis yang sudah ia siapkan di atas meja makan. Dahinya mengernyit melihat penampakan putrinya. Seingatnya tadi putrinya tampil cantik dan fresh saat pamit untuk pergi olah raga pagi. Tapi kini, dalam sekejap penampilan putrinya berbeda. Apalagi keadaan Clarisa seperti habis main lumpur. "Lho kamu kenapa Ris? Kok lumpuran gitu?" Clarisa masih memasang muka cemberut. Walau hatinya kesal, ia masih mau menjawab. "Nih gara-gara orang jarang piknik ke ragunan," keluhnya. Nisa menoleh pada Anggita karena tak mengerti, dimana hubungannya jogging dengan ragunan. Seingatnya ragunan jauh dari tempat ini. "Kenapa?" tanya Nisa pada Anggita. Anggita meringis, sambil menggaruk kepalanya yang  tidak gatal. "Itu tan, kami lihat ada lomba layangan di lapangan sana. Terus ada kambing menyeruduk Risa, Tante." Mata Nisa membola. Membayangkan putrinya di seruduk kambing. Clarisa paling alergi binatang itu. Menurutnya baunya gak ketulungan. Itulah sebabnya dia gak suka dekat dengan binatang apapun. Karena menurut putrinya, binatang itu tidak mandi dua kali sehari. "Lho kok bisa menyeruduk?" Sebuah pertanyaan timbul di kepala Nisa. Perasaan gak mungkin Clarisa menggoda kambing. Apa kambing itu lepas dari kandang? Anggita mengatupkan bibirnya. "Aku gak tau Tan, aku cuma elus-elus kepalanya itu kambing, tapi yang satu ngamuk dan ...." Nisa mengangguk. Pantes, jadi Anggita yang elus dan Clarisa yang di seruduk. "Ooooo." Clarisa mendatangi keduanya sambil membawa handuk. "Gue gak mau liat lo ngelus-ngelus kambing lagi kaya tadi." Anggita memberikan dua jarinya berbentuk V. Sorry. Ucapnya tanpa suara. "Oke, gue janji gak akan ngelus kambing lagi. Karena ...." Anggita mendekatkan wajahnya ke wajah Clarisa. "Ada yang lebih menarik dari sekedar ngelus kambing," bisiknya. Clarisa menjauhkan wajahnya dari sahabatnya. Sepertinya Anggita mulai eror. "Jangan bilang kalau lo mau cari sapi apa kerbau. Disini gak ada." Setelah bicara, Clarisa melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Sementara Anggita terdiam. Lalu ia menoleh ke arah Nisa yang masih asyik memotong sayuran. "Tante, memangnya di sini ada sapi atau kerbau gitu?" ** Anggita memilih keluar rumah, dari pada terus di dalam kamar. Lama-lama jenuh juga. Buat apa coba kemari jauh-jauh kalau cuma berselancar dunia maya. Mending dia di rumahnya saja sekalian. Pandangan Anggita tertuju pada sosok tubuh yang kemarin mengatakan dia cantik. Pipinya merona seketika. Itu'kan si abang bisep. Bisiknya. Anggita berdehem. Lelaki yang sedang sibuk mengukur kabel, dan ternyata memang lelaki yang sama yang kemarin membantu Anggita saat gadis itu berteriak minta tolong segera menoleh. "Siang Bang. Kok ada di sini?" tanyanya ramah tentunya dengan wajah di pasang secantik dan semanis mungkin. "Siang, iya sedang membantu Pak Firman pasang kabel." "Ooo." Anggita mengangguk sambil melirik ke arah lengan si lelaki. Yah gagal deh lihat bisepnya, dia pake kaos tangan panjang. "Kemarin siapa yang menang lomba layangannya bang?" Anggita masih menatap dengan wajah memuja pada lelaki di depannya. "Itu orang dari desa Cimenyan," Mata Anggita membola. "Desa apa mas?" Lelaki di depannya menghentikan gerakannya yang sedang menggulung kabel. "Desa Cimenyan, sebelah sana," tunjuknya. "Memang kenapa?" "Oh gak apa-apa," jawab Anggita. Ini kenapa desa namanya aneh-aneh ya. Sudah Cibebek, Cimenyan. Apa emang gak ada lagi nama untuk sebuah desa yang lebih normal gitu kosa katanya. "Jangan bilang kalau ada desa Cisapi di deket-deket sini," ucap Anggita. Lelaki di depan Anggita mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" "Ya tadi abang bilang sebelah sana desa Cimenyan, di sini desa Cibebek. Barangkali ada desa Cisapi gitu?" Tak ayal lelaki itu terbahak sambil geleng kepala. Sementara Anggita justru menampakkan kebingungan. Adakah yang salah dari pertanyaannya? "Saya jamin, sejak saya kecil disini tidak ada desa yang namanya Cisapi." Lelaki itu tersenyum. Dan Anggita makin terpana, ketika melihat ada lesung pipi di pipi kanan si abang bisep. Lelaki dengan lesung pipi. Batinnya meronta. Jadi pengen elus dan toel-tole itu titik. "Oh ya, nama mbaknya siapa?" Ditanya begitu Anggita langsung merona pipinya. Hatinya secara tak kasat mata berbunga oleh pertanyaan yang bahkan bisa dikatakan biasa saja andai yang bertanya satpam depan komplek rumahnya. Tapi ini yang bertanya seorang lelaki dengan postur tinggi dan tegap. Jangan lupakan wajahnya yang semakin tampan dengan lesung pipinya. Kira-kira selain nanya nama, dia akan nanya apa lagi ya? Alamat gitu? Iyes, lepas segel jomblo dong sebentar lagi gue. Anggita  langsung mengulurkan telapak tangannya, yang langsung disambut orang di depannya. "Anggita Cahyani, boleh panggil Anggi." "Bima." Bima? Nama yang gagah perkasa. Namanya sesuai dengan postur tubuhnya. Kira-kira namanya Bima apa ya? Bima, lelaki yang kini tengah di genggam tangannya oleh Anggita, mengeryit heran. Pasalnya gadis ini tak juga melepas genggamannya. "Mbak Anggi, maaf. Tangannya." Uppss. Anggi langsung melepas tangan Bima secepat yang ia bisa. Huff. Ketahuan banget gak sih kalau  gue naksir dia? Namun, rasa yang Anggita pikir akan terus bersemayam di dalam hatinya, serasa menghempaskan tubuhnya ke tanah, saat mendengar pertanyaan dari Bima. "Temannya yang kemarin siapa namanya?" Anggita mendelik. Ia menipiskan bibirnya. Jika seorang lelaki sudah bertanya tentang Clarisa, jangan harap Anggita bisa menyaingi sahabatnya itu. Mending dia mundur teratur. Daripada sakit hati. Di tolak kalau lagi sayang-sayangnya itu sakit banget. Mending mundur waktu lagi suka-sukanya. Mumpung rasa suka belum berganti ke rasa sayang. "Anggiiiiii." Terdengar teriakan dari dalam rumah. Anggita merengut saat mendengar suara teriakan sahabatnya yang melebihi toa mesjid itu. Clarisa tuh tampang aja cantik. Tapi kelakuan udah kaya tarzan, teriak sana sini. Untung sahabat, jadi Anggita sudah kebal. Anggi menoleh ke arah Bima. "Eh bang Bima, saya masuk ke dalam dulu ya. Nanti tanya aja sama orangnya langsung kalau mau kenalan. Tapi siap-siap budek ya." "Anggiiiii." Kembali terdengar suara Clarisa dari dalam rumah. Kali ini teriakan lebih kencang. "Iya-iya. I'm coming." Anggita berteriak tak kalah kencangnya. Sementara Bima hanya menggeleng mendengar dua gadis ini saling berteriak. Seperti tinggal di hutan saja. Bukankah mereka berasal dari kota? Apa memang orang kota identik dengan teriak? Mengingat bisingnya jalanan di sana? Anggita melihat Clarisa sudah bertolak pinggang di depan kamar. "Lo dari mana sih, dipanggil gak nongol-nongol." Anggita cengengesan. "Gue dari depan, dari ...." "Jangan bilang lo keluyuran nyari kambing tetangga!" Mata Anggita mendelik. Maksudnya? "Gue gak mau di demo orang kampung sini, karena kambingnya stress lo godain." Anggita berdecak. "Gue liat orang lagi betulin kabel di depan. Ada apa emangnya?" Clarisa memutar bola matanya. "Nyokap nyariin, katanya lo minta rujak, gimana sih." Astaga. Anggita menepuk keningnya. "Gue lupa hehehe." Tanpa menunggu lama Anggita langsung ngacir menuju dapur. Sementara Clarisa melangkah ke luar rumah. Seketika ia menoleh, melihat seseorang yang ia kenal. Tidak, ia tidak kenal. Ia hanya ingat lelaki ini yang membuatnya jadi tertawaan orang-orang di lapangan kemarin. Ia menipiskan bibirnya demi menahan kesal. Ngapain orang ini di rumahnya? Jadi selain dia tukang kambing, tukang layangan, dia juga tukang kabel gitu? Clarisa melihat kabel menjuntai di lantai rumahnya "Hey, abang kambing lagi ngapain ya disini?" Muka Clarisa bahkan harus menengadah ke atas. Bima yang sedang konsentrasi pada kabel, menoleh ke bawah. Tampak sesosok gadis yang kemarin terjerembab ke lumpur sedang memandangnya dengan sinis. Hey, jangan bilang gadis cantik ini masih dendam karena kasus kemarin. Bima yang sedang berdiri di atas tangga, turun demi menghormati pemilik rumah. Ia menepuk kedua telapak tangannya pada samping tubuhnya. Lalu mengulurkan telapak tangan itu pada gadis di depannya. "Nama saya ...." "Gue gak perlu tahu nama lo." Clarisa bahkan memotong perkataan Bima. Bima membuang napas. Jadi benar, gadis ini masih dendam. Bima menatap tangannya yang tadi di anggurin. Ia menariknya kembali ke samping tubuhnya. "Gue tanya lo ngapain di rumah ini?" selidik Clarisa sambil menatap Bima. Sementara Bima, di tatap seintens itu, membuat sesuatu dalam dadanya berdegup kencang. "Hmm saya sedang memasang kabel." Bima menunjukkan kabel yang ia pegang. "Gue juga tahu lo memasang kabel. Kan yang lo pegang kabel," ketus Clarisa. "Terus kalau sudah tahu, kenapa bertanya?" Bima menatap wajah cantik yang masih melotot ke arahnya. Beneran cantik gadis ini. "Buat?" selidik Clarisa. Dia sendiri gak tahu mau di apakan kabel sebanyak itu. "Pasang CCTV. Sesuai permintaan Ayah anda." Tatapan mata Clarisa menajam, mencoba mencari tahu kebenaran kata-kata lelaki di depannya. Zaman sekarang banyak orang pura-pura baik, padahal maling. "Kalau gak percaya boleh tanya ibu anda," usul Bima. Clarisa mengibaskan tangannya. "Gak perlu, gue percaya sama lo." Bima mengulum senyum. "Jadi selain dagang kambing, lo juga tukang pasang CCTV ya. Boleh juga sampingan lo." Alis Bima naik satu. Maksudnya? "Pasang yang bener ya, jangan asal-asalan. Awas kalau ada yang salah. Apalagi sampe rusak tuh alat-alat yang lo pegang. Itu mahal tau gak. Gak mungkin lo bisa ganti. Belum tentu kan lo dagang kambing laku setiap hari." Lalu Clarisa melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Bima yang masih terpaku menatap punggungnya. Senyum tak henti keluar dari kedua sudut bibir Bima. Judul : Benang Cinta Sang Duda. Romance 18+ Pen Name : Herni Rafael. https://m.dreame.com/novel/tOaXZ4PBN2yegw4OowaHVA==.html Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 7 Juli 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD