PART 6 - TAMU AYAH.
Clarisa baru saja bagun dari tidur siangnya. Dia tadi memilih tidur setelah makan siang.
Mungkin udara pedesaan ini yang sejuk, membuat matanya cepat lelah jika usai makan.
Namun, jadwal tidurnya menjadi terganggu ketika telapak tangan Anggita yang mendarat di pipinya. Clarisa terbangun, dan melihat sepasang lengan menempel di wajahnya.
Ini anak tidurnya ngabisin tempat amat ya. Batinnya
Lalu karena matanya tak bisa lagi terpejam Clarisa memilih bangkit dan mengusap wajahnya.
Sepertinya tidur siangnya tak bisa lagi ia lanjutkan. Dengan menguap Clarisa membawa langkahnya ke dapur.
Perutnya kok keroncongan lagi ya?
Padahal tadi sebelum tidur dia sudah makan. Bisa repot kalau dia doyan makan. Clarisa paling tidak suka gemuk. Karena gemuk itu menjurus ke gendut. Ia amat sangat menjaga pola makannya.
Wajah cantik tapi gendut? No way!
Walau sering diet, penyakit maag kerap menyerangnya. Tapi demi menjaga tubuh, Clarisa kadang tak peduli.
Clarisa menoleh ke arah dapur.
Tak ada salahnya pergi ke dapur.
Siapa tahu ibu sedang buat kue.
Sampai dapur, keningnya berlipat melihat ibunya sedang membuat minuman.
"Ada tamu ya bu?"tanya Clarisa sambil mendekat.
Nisa menoleh dan melihat wajah bantal sang putri.
"Kamu sudah bangun?"
Clarisa mendengkus.
"Anggita tidurnya kaya kebo, gak bisa diem. Makanya aku bangun."
Nisa tertawa.
"Kalian tuh udah kaya anak kembar saja ya."
"Ih, ogah kembaran sama si Anggita," tolak Clarisa.
"Nyatanya, kalian gak terpisahkan sejak taman kanak-kanak. Semoga kamu sama dia bisa mendapatkan jodoh yang baik ya. Jadi persahabatan kalian tetap terjaga sekalipun sudah sama berumah tangga," saran Nisa.
"Oh iya, ibu lupa. Tolong bawa ke depan ya," pinta Nisa, lalu beranjak ke kamar mandi.
"Tamunya siapa sih bu? Banyak amat gelasnya."
"Nanti ibu kenalkan. Sudah bawa dulu saja ke depan ya," teriak Nisa.
Dengan kepala mengangguk, ia membawa nampan berisi empat gelas, yang terisi teh manis.
Belum lama tinggal di desa ini, Ayah dan Ibunya sudah menerima tamu segini banyak.
Ayah dan ibu memang cepat berbaur. Ayah memiliki sifat ramah ditambah ibu yang murah senyum. Semoga nanti ia bisa bahagia bersama pasangannya seperti kedua orang tuanya.
Saat mencapai ruang tamu, dahinya berkerut, melihat dua anak sedang duduk manis di sofa rumahnya. Bukan dua anak, tapi sepasang anak dan kembar.
Wah anak kembar.
Clarisa paling suka dengan anak kembar. Menggemaskan. Entah itu sepasang atau sejenis.
"Hallo," sapanya.
Anak kembar yang berjenis kelamin lelaki dan perempuan menatapnya.
"Ya ampun anak kembar. Kalian menggemaskan sekali."
Clarisa duduk dilantai dan menghadap kepada kedua anak itu.
Kepala menoleh bergantian ke kanan dan ke kiri. Seolah apa yang ia lihat sesuatu yang menggemaskan. Senyum tak berhenti di wajah cantiknya.
"Nama kalian siapa?" tanya Clarisa dengan wajah memasang senyum seramah-ramahnya.
"Lia."
"Lio."
Kedua anak itu menjawab bersamaan. Clarisa kembali menatap bergantian ke wajah keduanya.
"Ih, pintar sekali. Pasti orang tua kalian bukan orang sembarangan ya."
Sesaat mata Clarisa menatap ke arah anak yang bernama Lia.
"Kamu cantik sekali sayang. Pasti mirip sama mama kamu."
Lalu kepala Clarisa menoleh pada anak yang satunya lagi yang berjenis kelamin laki-laki yang bernama Lio.
"Hallo Lio sayang. Kamu tampan sekali. Pasti wajah kamu menurun dari wajah papa kamu," tutur Clarisa sambil memandang takjub pada keduanya.
"Terima kasih."
Suara di belakang membuat tubuh Clarisa menegang.
Ia langsung menolehkan kepalanya, karena merasa kenal suara itu.
Dahinya terlipat.
Abang kambing masih ada disini? Seriusan dia belum pulang? Ngapain dia lama-lama di mari?
"Maksudnya apa ya bilang terima kasih?" Wajah Clarisa hanya menoleh sedikit. Karena dia gak berminat menatap orang dibelakangnya.
Orang yang tak lain adalah Bima, mengulum senyum.
"Terima kasih atas pujiannya."
Clarisa bangkit dan mendekati lelaki yang menurut dia agak kepedaan.
Memang siapa yang memuji dia?
"Maaf ya abang kambing. Perasaan dari tadi gak ada yang memuji anda tuh. Jadi gak usah ke-geer-an gitu deh." Tatapan Clarisa bahkan sudah memicing.
"Lho bukannya kamu tadi mengatakan sesuatu sama mereka?" Bima mengarahkan telunjuknya pada sepasang anak kembar yang menatap interaksi keduanya.
Mungkin mereka heran, karena dua orang di depan mereka saat ini seperti bukan orang yang sedang beramah-tamah.
Kepala Clarisa ikutan menoleh pada si kembar dan lelaki di depannya.
"Ya memang, aku sedang bicara sama mereka. Aku memuji karena mereka tampan dan cantik. Yang aku yakin pasti di warisi dari wajah kedua orang tuanya yang ...."
Ucapan Clarisa berhenti. Lalu ia menoleh ke arah sepasang anak kembar yang masih menatap ke arahnya, lalu bergantian menatap pada lelaki di depannya secara cepat. Telunjuk Clarisa bahkan ikut begerak menunjuk bergantian seiring kepalanya yang menoleh.
"Jangan bilang kalau mereka ...."
Bima tersenyum.
"Yah, mereka anak-anak saya."
Mendengar itu semua, wajah keterkejutan tampak diwajah Clarisa.
Astaga, jadi gue muji si abang kambing ini? Pantes dia gede kepala.
Beneran nih, dia bapaknya nih anak berdua?
"Lho nak Bima, kok belum di minum teh manisnya."
Suara Nisa yang dari dalam membuyarkan pikiran Clarisa.
"Terima kasih bu, ini baru saya mau minum."
Bima meminum teh hangat yang tadi Clarisa bawa dari dalam.
Jadi, nampan tadi buat dia? Tau gitu ogah gue bawa kemari.
"Adelia, Adelio mau minum?" tanya Nisa pada dua anak kembar.
Ketika melihat kedua anak itu mengangguk, Nisa membantu mereka minum.
"Oh ya nak Bima, kenalkan ini putri ibu. Namanya Clarisa." Nisa mencoba mengenalkan putrinya yang kini lebih mirip patung pajangan di toko karena berdiri dengan mata yang tak berkedip, seolah sedang berpikir.
"Kami sudah kenalan kok bu," jawab Bima.
"Eh, kapan?" tanya Clarisa tak terima.
Sesaat Clarisa mengumpat. Nanti yang ada, dia dikira mau salaman dengan orang ini.
"Oh sudah bu, kita sudah kenalan. Risa sudah kenal sama abang kambing."
Clarisa memelankan suara ketika sampai pada kosa kata di ujung.
"Risa, tidak sopan begitu. Namanya nak Bima." Nisa menegur putrinya.
Clarisa mencebik.
Bima, Bim-kam-bim-bing. Beda dikit kok. Bisiknya dalam hati dengan rasa tak terima.
"Ayo Adelia, Adelio pamit sama Nenek, dan Tante. Kita pulang sekarang."
Mendengar ucapan di samping, Clarisa kembali mendelik.
Apa-apaan panggil tante.
"Nanti main lagi kemari ya, temani nenek," saran Nisa. Dia memang menyukai sepasang anak kembar ini.
"Risa, tolong antar nak Bima ke depan ya. Ibu tanggung sedang masak."
Tak menunggu lama Nisa langsung kedalam rumah, mungkin menuju dapur.
"Ayo Lia,Lio. Salim sama Tante." Bima mengajari keduanya sopan santun. Setelah tadi kedua anaknya mencium telapak tangan Nisa.
Clarisa berjengkit ketika melihat kedua anak yang memang menggemaskan itu mengulurkan tangannya.
Dia menoleh sedikit ke arah Bima, lalu kembali lagi ke tangan yang terulur bersamaan itu.
Dengan gerakan perlahan, Clarisa memberikan telapak tangannya, dan langsung dicium keduanya. Rasa hangat menerpa hati Clarisa. Baru kali ini ada anak yang mencium telapak tangannya.
Bima tersenyum melihat raut wajah gadis di depannya.
"Bilang apa sama tante?" tanya Bima lagi pada keduanya.
"Terima kasih Tante," ucap keduanya.
"Tante? Kapan aku nikah sama Om mereka?" gerutu Clarisa, yang bahkan masih bisa di dengar di telinga Bima.
"Kalau gak mau di panggil Tante, maunya dipanggil apa?" tanya Bima sambil menatap wajah yang masih menunjukan sikap ketidak sukaan. Clarisa mengangkat bahunya.
Kenapa ia merasa tua, jika dipanggil dengan sebutan Tante.
"Gimana kalau dipanggil Bunda?"
Semoga suka ya.
Love Herni.
11 Juli 2021