Pertunangan yang berubah menjadi Pernikahan

2188 Words
Gerald membuka pintu mobilnya, satu menit yang lalu mobil miliknya sudah memasuki gerbang rumahnya, setelah mendapat telpon dari bundanya, Gerald mempercepat laju mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dirinya tak akan membuat wanita yang sangat ia sayangi menunggu kedatangannya yang lambat. Bukan Alisya, tapi bundanya yang baru saja dirinya maksud. **** Persiapan pertunangan sederhana yang ia pikirkan tiba-tiba saja hangus dari bayangannya, tergantikan dengan pemandangan yang cukup indah di depannya. Banyak sekali tamu undangan yang datang, mulai dari keluarga besar kedua orang tuanya, dan bahkan tak jarang juga ada banyak kolega bisnisnya yang juga hadir. SELAMAT ATAS PERNIKAHAN GERALD DAN ALISYA, SEMOGA SELALU BAHAGIA DENGAN MENUA BERSAMA. tulisan yang ada di karangan bunga yang ada di sampingnya membuat Gerald sadar, sejak dirinya turun dari mobil sudah ada karpet merah yang tertata rapi di bawah, di tambah dengan berbagai karangan bunga di kanan kirinya. Gerald terus mempercepat langkahnya, memperhatikan sekitar yang semakin terdengar riuh, sejalan dengan pijakan yang ia lakukan. Di sana, di ujung karpet merah yang tergelar, sudah ada Alisya, Tasya, serta bundanya yang tengah sibuk berbincang-bincang. Membuat Gerald sadar, jika langkahnya menuntun ke arah taman samping rumahnya, bukan di dalam rumahnya. Suara kamera dengan kilat yang terus terarah padanya membuat Gerald diam mematung, memudarkan pandangannya ke depan karena terhalangi oleh kilat lampu yang terus terarah padanya. "Apakah ini kisah cinta tentang CEO dan sekretarisnya? Tolong jawabannya tuan," pertanyaan yang mereka arahkan padanya dengan mikrofon yang sudah ada di depannya. Kenapa pertunangan yang ia siapkan dengan diam-diam menjadi sebesar dan semeriah ini? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Gerald, Gerald memejamkan matanya sebentar dan menelan ludahnya kasar. Mulai hari ini, kehidupannya akan selalu menjadi sorotan publik. Gerald berlari melewati beberapa orang yang mencari informasi tentangnya, mengabaikan mereka semua dengan Meninggalnya begitu saja tanpa sebuah jawaban sekata pun. Tepuk tangan terdengar semakin riuh kala langkah Gerald mendekati pengantin wanitanya, membuat ketiga wanita yang akan ada di sampingnya menoleh, menatap ke arah Gerald yang juga menatap ketiganya. Pandangan Gerald tertuju pada bundanya yang tengah tersenyum ke arahnya dengan senyuman yang khas, lalu beralih pada Tasya yang kini tengah mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan terakhir, Gerald menatap ke arah Alisya yang terlihat tidak nyaman berdiri di tengah-tengah keduanya. "Karena mempelai prianya sudah datang, mari kita lanjutkan acaranya" Suara mc yang membawakan susunan acara terdengar nyaring, membuat semua orang kembali diam, fokus pada kedua mempelai yang tengah saling pandang dengan tatapan yang berbeda. "Ijab kabul akan di laksanakan sebentar lagi, mohon ketenangannya" lanjut pembawa acara tersebut, membuat Gerald mau tak mau tersenyum dan terus melangkah ke depan. Wanita yang akan menjadi istrinya, wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya, dan wanita yang akan mendampingi dirinya seumur hidup. Pilihan Gerald sudah tertuju pada Alisya. Dalam hati, dia berjanji akan menjadikan Alisya satu-satunya wanita yang akan menjadi istrinya, seperti ayahnya yang selalu ada untuk bundanya. Gerald mengulurkan tangannya ke arah Alisya, jika dirinya tak bisa menuntun istrinya hari ini, maka dirinya akan menuntunnya nanti saat Tuhan kembali memberi kesempatan untuknya. Gerald berdo'a, semoga saja dirinya kembali mendapat kepercayaan wanita di depannya. Alisya terdiam, menatap ke arah uluran tangan yang sudah menanti sambutannya, dirinya ragu, apa yang baik darinya hingga bisa bersanding di sisi laki-laki itu? Apa yang ia miliki? Bagaimana jika dunia menentangnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tertumpuk bagaikan sampah yang sulit untuk ia hilangkan. Laki-laki tampan di depannya, laki-laki dingin yang paling ia takuti di tempat kerja, dan laki-laki yang berhasil membuat dirinya menjadi seorang ibu, apa yang harus ia lakukan? Sekali saja, biarkan dirinya mencoba percaya pada laki-laki itu. Alisya menoleh ke arah Krystal yang juga menatapnya penuh harap, dan dengan gerakan lambat, Alisya menyambut uluran tangan Gerald yang mungkin saja sudah bosan untuk menantinya. Gerald dan Alisya berjalan ke arah meja yang sudah di siapkan untuk ijab kabul, Gerald menarik kursi untuk Alisya, membantu Alisya duduk dengan hati-hati. Alisya duduk diam, ingin sekali dirinya menangis saat tak melihat siapapun keluarganya yang datang, pernikahan sebesar ini pun terasa hampa begitu saja. "SAYA TERIMA, NIKAH DAN KAWINNYA ALISYA ANISA BINTI BAPAK SUYONO DENGAN MASKAWIN TERSEBUT DI BAYAR TUNAI" Ucapan lantang dan jelas terdengar menyejukkan di telinga para tamu undangan, wali hakim yang dipersiapkan oleh keluarga Pratama pun membuat acara itu berjalan dengan lancar. Hampir semua tamu undangan bertanya-tanya, apa mas kawinnya? Berapa banyak? Alisya mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan laki-laki yang sudah menjadi suaminya, di balas dengan ciuman hangat di keningnya. Riuh petir terdengar begitu saja, diikuti oleh awan mendung serta rintikan hujan yang sudah turun. Krystal mengumpat pelan, ramalan cuaca yang ia baca hari ini benar-benar keliru, membuat kacau acara yang sudah dirinya persiapkan dengan hati-hati. "Apa yang bunda lakukan? Kenapa tidak lari ke rumah?" Suara putranya yang tengah memarahinya terdengar begitu nyata, membuat Krystal terkejut bukan main saat putranya melepas jas yang di pakainya seraya memeluknya erat untuk membawanya ke arah rumah. Lalu bagaimana dengan Alisya? Alisya terdiam, gaun berat yang ia pakai, suami yang tengah mengkhawatirkan orang tuanya, dan hujan yang sudah berhasil membasahi tubuhnya. Alisya menangis pelan, tersenyum getir saat mengingat dirinya yang malang, siapa yang akan membantunya? Langkah demi langkah Alisya lakukan dengan pelan, dirinya tak bisa berlari dengan gaun berat yang sudah basah akan air hujan, petir yang terus menyambar membuat Alisya menutup telinganya rapat, apa yang dirinya harapkan dari pernikahan ini? Kasih sayang? Kebahagiaan? Atau cinta? Dirinya tak berani mengharapkan semua itu. **** Krystal menatap putranya tak percaya, putranya yang baru saja mengucapkan ijab kabul dan mengambil alih seorang wanita untuk menjadi tanggung jawabnya dibiarkan begitu saja. Gerald menoleh ke arah bundanya yang tengah menatapnya marah, apa dirinya berbuat salah? Plak. Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Gerald, suara beradunya telapak tangan Krystal dan pipi Gerald terdengar menggema, membuat semua orang tamu undangan yang meneduh di sana menoleh ke arah keduanya. "MANA TANGGUNG JAWABMU SEBAGAI SUAMI? APA YANG KAMU LAKUKAN PADA ISTRIMU?" Teriakan Krystal terdengar begitu nyaring, membuat hampir semua orang menatap ke arah taman, melihat ke arah pengantin wanita yang tengah berjalan hati-hati dengan mengangkat gaunnya yang terlihat sangat berat. Gerald menoleh, menatap ke arah Alisya yang berjalan menunduk dengan memegangi gaun sisi kanan kirinya, apa yang ia lakukan? Gerald berlari ke arah Alisya yang kini terdiam di pijakannya, Alisya mendongak saat melihat sepatu di bawah sana, menatap ke arah wajah laki-laki yang beberapa saat lalu telah menjadi suaminya. Alisya menangis diam, matanya memerah saat mengingat bagaimana dirinya akan menjadi perbincangan publik? Ia tahu, setuju menikahi laki-laki di depannya sama dengan mencari masalah dengan publik, apakah dirinya bisa hidup seperti itu? Tanpa perhatian seorangpun yang akan mengerti isi hatinya? "Sya, aku minta maaf, aku belum terbiasa." Suara Gerald yang terdengar dingin tanpa adanya rasa bersalah semakin menyadarkan Alisya dari bayangannya, apa yang dirinya harapkan? "Aku juga sudah terbiasa seperti ini, tidak perlu meminta maaf." Jawab Alisya seraya tersenyum ke arah Gerald, membuat Gerald ikut tersenyum melihatnya. Pada dasarnya, Gerald tak tahu apa yang ada di pikiran seorang wanita yang mengatakan AKU JUGA SUDAH TERBIASA. Dengan langkah pelan, Gerald menuntun Alisya untuk mencapai kediamannya, tempat untuk berteduh dari hujan yang tiba-tiba saja turun. "Apakah mereka benar-benar saling mencintai?" Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar membuat Alisya menoleh setelah sampai di area perumahan suaminya, tersenyum tipis ke arah orang yang tengah membicarakan dirinya dengan kejam. Alisya menoleh ke arah Gerald, laki-laki itu masih diam dengan aura dinginnya, tidak ada tanggapan apapun yang laki-laki itu perlihatkan untuk menyambut cibiran orang-orang tentangnya. "Hati-hati, kamu lagi hamil, lantainya licin" Suara Gerald bagaikan petir yang menyambar langsung tepat di dadanya, dadanya terasa sesak saat riuh yang terdengar semakin ribut, membuat dirinya susah untuk bernafas. Alisya memegang lengan Gerald dengan erat, dirinya takut akan mendapatkan cacian dari seluruh dunia, dirinya benar-benar takut mendengarnya. "Ternyata hamil duluan." Alisya memilih memejamkan matanya saat kalimat pertama terngiang di telinganya. "Sekretaris jaman sekarang kan emang gitu, menggoda atasannya biar dapat jackpot dengan mudah." "Ia pikir dengan mengandung anak bosnya akan langsung mendapatkan hati bosnya juga? Ia pikir ini drama teater dengan seorang penulis?" Tiba-tiba saja Alisya merasa pusing dan mual, perutnya terasa melilit, menyakitkan, belum lagi dengan kepalanya yang seolah tengah berputar, diikuti oleh kalimat-kalimat yang tengah menjelekkan harga dirinya. Alisya menatap ke arah Gerald dengan samar, raut wajah laki-laki itu tetap sama, tak ada rasa khawatir atau apapun tentang keadaannya nanti? * Semakin jauh aku melangkah, semakin dekat pula dengan hinaan dari orang-orang yang tak tahu tentang cerita aslinya. * Alisya limbung begitu saja, membuat Gerald hampir saja tak bisa menangkap tubuh Alisya dengan baik, riuh dari keluarganya membuat Gerald ikut panik saat melihat wajah pucat Alisya yang kini tengah memejamkan matanya rapat, suhu dingin yang ia rasakan dari wanita itu membuat Gerald takut terjadi hal yang tak ia inginkan. Gerald menggendong Alisya keluar, menerobos hujan yang turun lebih deras untuk menuju ke arah mobilnya, ia panik, dirinya takut terjadi apa-apa dengan wanita yang kini sudah ada di gendongannya. Mau bagaimanapun, dirinya orang yang paling pantas di salahkan karena telah membiarkan seorang wanita hamil hujan-hujanan di bawah petir yang terus terdengar. Gerald menendang mobilnya kesal saat ingat jika kunci mobilnya ada di saku jasnya, hingga sebuah mobil sudah berhenti di depannya, menurunkan kacanya untuk menawarkan bantuan. Tak peduli siapapun itu, dengan segera dirinya masuk ke dalam mobil dengan Alisya yang ada di pangkuannya. "Cepat sedikit," perintah Gerald yang langsung mendapat umpatan pelan dari sang pemilik mobil. Untuk saat ini Gerald tak peduli, yang ia pedulikan adalah kesehatan wanita yang tengah mengandung anaknya. "Wanita menyedihkan," gumam laki-laki yang tengah mengemudikan mobilnya dengan laju sedikit di atas rata-rata, menatap lewat cermin wanita yang tengah terbaring di pangkuan Gerald dengan wajah pucat. Gerald turun dari mobil saat mobil itu sudah berhenti di rumah sakit terdekat, Gerald berlari dengan Alisya yang masih di gendongannya, baju basah kuyup tak ia hiraukan lagi. Berbeda dengan laki-laki pemilik mobil yang kini baru saja turun setelah memarkirkan mobilnya dengan benar, membuka payung yang akan ia gunakan untuk menghindari hujan yang akan membasahi tubuhnya. Deringan ponsel yang terdengar membuat laki-laki itu terus melangkah dengan mengambil ponselnya di saku celana, menggeser icon hijau yang ada di layar ponselnya. "Batalkan semua jadwal pagi ini, ada urusan mendesak yang harus aku tangani." Kata laki-laki itu seraya menutup sambungan telepon tanpa menunggu seseorang di sebrang sana berbicara sekata pun padanya. **** Gerald duduk di depan ruang ICU dengan gelisah, terus menatap ke arah pintu yang tertutup meninggalkan dirinya sendiri di luar. "Gantilah dulu, biar gue gantiin bentar." Suara seorang laki-laki membuat Gerald menoleh, menatap ke arah laki-laki yang tengah berdiri di depannya dengan mengulurkan paper bag ke arahnya. "Gue tau, hubungan kita nggak cukup baik untuk saling meminjamkan baju ganti, tapi ya gimana? Gue kasihan sama cleaning servis yang akan kesusahan membersihkan air yang terus mengalir dari baju basah yang lo pakai." Lanjut laki-laki itu seraya tersenyum tipis seraya melirik ke arah lantai yang sudah basah karena baju Gerald. Gerald mengambil paper bag itu dengan kasar, raut wajah tak bersahabat yang terlihat membuat laki-laki itu hanya mengendikkan bahunya tak peduli. Gerald menatap dirinya di pantulan cermin, mengusap wajahnya yang masih basah karena air hujan, dirinya benar-benar frustasi pada dirinya sendiri. Tong sampah yang tersedia menjadi pelampiasan paling enak untuk tendangan yang ia layangkan, benar-benar kesal karena ulahnya yang tak tahu apapun. Gerald memasuki bilik kamar mandi, melepas kemejanya yang basah kuyup, setelah sebelumnya meletakkan paper bag itu dengan kasar di atas wc duduk yang tertutup rapat. **** Laki-laki yang memberi Gerald baju ganti masih duduk santai di kursi, setidaknya sebelum pergi dirinya harus menggantikan orang yang kini tengah berganti pakaian, siapa tahu tiba-tiba dokter keluar dan mempertanyakan keluarga wanita itu? Baru saja ia bicarakan dalam hati, pintu ICU terbuka tiba-tiba, memperlihatkan dokter yang keluar dengan pakaian kebesarannya yang berwarna putih. "Kelurga pasien?" Tanya dokter membuat laki-laki itu kebingungan bukan main, menoleh ke sana kemari, mengumpat dalam hati kenapa Gerald lama sekali untuk berganti pakaian? "Maaf pak, keluarga pasien?" Ulang dokter itu lagi yang akhirnya membuat laki-laki itu menoleh, tersebut canggung ke arah dokter dengan langkah pelannya. Sialan. "Anda suaminya?" Tanya dokter lagi saat mereka semua sudah masuk ke dalam ruangan. "Ah, anu," Bingung, tak tahu harus menjawab apa. "Maaf nama bapak sebelumnya siapa? Biar mudah untuk menjelaskan keadaan pasien saat ini." "Ken dok." Jawab laki-laki dengan nama Ken itu menjawab. "Kondisi istri anda sekarang cukup kurang baik, banyak pikiran yang membebaninya di tambah dengan kehamilannya yang lemah, jika pak Ken tidak menjaganya dengan baik, bisa saja kalian akan kehilangan bayi yang Bu Alisya kandung," suara Dokter yang menjelaskan membuat Ken diam, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa yang harus dirinya lakukan? Apa yang harus ia jawab? "Maaf dok, saya suami pasien." Suara yang terdengar dari arah pintu membuat Ken menoleh, menatap ke arah Gerald dengan binar mata yang terlihat sangat senang. Tentu saja Ken senang, dirinya saja bahkan belum pernah menjalin hubungan kekasih, apalagi memiliki istri tiba-tiba? Sangat mustahil, dan dirinya bersyukur karena Gerald sudah kembali dan menghilangkan kebingungannya tentang pertanyaan dan pernyataan yang baru saja dokter katakan padanya. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD