Alisya semakin penasaran dengan sejarah cerita keluarga suaminya, apalagi setelah mendengar cerita dari Sarah, sekretaris suaminya itu. Bukannya mau percaya, tapi kehebatan Sarah saat bercerita benar-benar membuatnya ingin mempercayai semuanya.
"Ayo berangkat," suara Tasya yang terdengar membuat Alisya mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya, menatap ke arah Tasya yang sudah berubah menjadi sosok putri yang ada di dalam dunia dongeng, sangat cantik dan mempesona, dalam hati Alisya berpikir jika laki-laki yang mendapatkannya adalah laki-laki yang sangat beruntung.
"Lho, kak Alisya belum ganti?" Pertanyaan dari Tasya kembali terdengar, membuat Alisya segera tersadar dari pesona sang iparnya itu.
"Bentar, aku ambil tas dulu di atas." Jawab Alisya seraya beranjak dari duduknya berjalan ke arah kamarnya yang ada di lantai dua.
Dalam perjalanannya Alisya masih saja memikirkan sejarah keluarga suaminya, jika mengait-ngaitkan semuanya tentu saja itu tak masuk akal, bagaimana mungkin mereka tidak melakukan pernikahan bisnis jika mengingat tetua keluarga suaminya sama-sama kaya dari keluarga wanita maupun laki-laki?
Alisya membuka almari khusus yang berisi berbagai macam jenis tas dan dompet yang tertata rapi, jangan lupakan dengan merk-merk terkenal yang kini ada di dalamnya, mengambil tas yang menurutnya paling simple. Dirinya yang dari awal memang malas untuk keluar terpaksa keluar karena perintah dari suaminya, hari ini, entah kenapa dirinya sangat malas untuk berdandan.
Alisya menuruni tangga dengan hati-hati, masih dengan pakaian yang sama, hanya tadi sebelum turun Alisya menyisir rambutnya sebentar agar terlihat rapi.
"Nggak ganti baju kak?" Tanya Tasya saat melihat kakak iparnya turun masih menggunakan baju yang sama, perbedaannya kakak iparnya kali ini menguncir kuda rambutnya dan jangan lupakan tas yang bertengger manis di bahunya.
"Males, udah ayo berangkat." Jawab Alisya seraya tersenyum kecil, hari ini perasaannya sedikit tak nyaman, apalagi setelah muntah berkali-kali tadi pagi.
******
Gerald duduk di ruang rapat dengan raut wajah dinginnya, mendengarkan penjelasan demi penjelasan yang di katakan bawahannya pada semua orang yang hadir.
"Bukankah kemarin saya mengusulkan pola kupu-kupu sebagai hiasannya? Kenapa di ganti dengan beruang?"
Ketegangan tiba-tiba terasa sangat mencengkam di dalam ruangan itu, saat tiba-tiba Gerald membuka suaranya, mengkritik hal yang seharusnya tak seperti itu.
"Siapa yang bertanggung jawab atas semua itu?" Tanya Gerald sekali lagi.
Semua orang terdiam, berdo'a dalam hati jika semoga saja ada penolong yang akan meredakan amarah bosnya itu.
Suara dering ponsel terdengar nyaring, Gerald semakin melorotkan matanya saat mendengarnya, di dalam ruangan sempit seperti ini siapa yang berani membiarkan ponselnya berbunyi.
"ANGKAT," teriak Gerald membuat semua orang segera kembali mengecek ponselnya yang mereka ingat sudah di matikan sebelum memasuki ruangan rapat yang merangkap menjadi ruangan mematikan jika Gerald sudah berbaur di dalamnya.
Suara deringan yang terputus membuat ruangan semakin hening, raut wajah Gerald pun sudah tak perlu di tanyakan bagaimana marahnya, semua orang bahkan berani bertaruh jika pemilik ponsel itu akan langsung di depak dari perusahaan jika itu benar-benar deringan dari salah satu karyawannya.
Suara deringan kembali terdengar, membuat Gerald marah bukan main, berdiri dari duduknya dan keluar ruangan begitu saja.
Ruangan sempit yang tadi terdengar berisik kini kembali hening, semuanya menghela nafasnya lega saat ternyata ponsel atasannya yang sedari tadi berbunyi, meskipun semuanya lega, dalam hati mereka masih mempertanyakan tentang keteledoran atasannya itu, sangat jarang sekali jika atasannya itu akan membuat kesalahan remeh seperti itu.
"Kalian udah baca belum? Artikel tentang Alisya yang merayu pak Gerald sampai hamil?"
Suara yang terdengar memecah keheningan, ruangan yang mulanya di gunakan untuk berunding kini berubah menjadi gosip yang terdengar bersahutan-sahutan.
"Yakin banget nih, pasti mood buruknya itu karena terpaksa menikah dengan tuh si jal*Ng Alisya, bisa-bisanya dia berani berurusan sama pak Gerald," lanjut orang yang sama kembali membuat suara.
"Gue sih kurang yakin, kalaupun pak Gerald terpaksa, nggak mungkin juga dia bakal mencoba menghapus tentang berita buruk itu di medsos, apalagi ini nyangkut perusahaan loh, tahu sendiri pak Gerald jarang sekali menggunakan perusahaan jika menyangkut hal-hal pribadi." Sahut yang lain menanggapi.
"Lagian kayak nggak kenal pak Gerad aja, Lo nggak lihat gimana ekspresi datar dia? Ngelihat dari wajahnya aja gue udah tahu kalau pak Gerald gak bakalan suka sama cewek, lagian Lo lupa gosip yang Alisya terus kena marah sama pak Gerald gara-gara teledor?" Sahut yang lainnya.
"Bodo amat dah, gue mau mikirin hidup gue sendiri." Kata salah satu karyawan dan beranjak dari duduknya.
"Mending bubar deh dari pada ntar lanjut lagi sidang uji nyalinya." Kata yang lain yang langsung di setujui semua orang.
Mereka bubar dari kursinya masing-masing, berjalan keluar dari ruangan rapat dengan helaan nafas lega.
****
Gerald menatap ponselnya dengan datar, memijit kepalanya yang tiba-tiba pening, beberapa hari ini dirinya benar-benar butuh pelampiasan kemarahan yang sudah ia tahan berhari-hari.
Tadi Sarah menelponnya, menyampaikan jika mereka sudah sampai di salah satu butik yang ada di bawah namanya, ia tak bisa memarahi bawahannya itu karena bagaimanapun dirinya juga yang meminta Sarah untuk mengabarinya, takut-takut jika Alisya menolak untuk pergi, mengingat wanita itu tadi pagi terlihat lemas setelah keluar dari kamar mandi. Itu juga yang menjadi alasan Gerald membiarkan ponselnya menyala saat rapat, dan dengan tidak malunya dirinya malah berteriak kasar dengan karyawannya, sebenarnya Gerald juga heran kenapa para karyawannya masih betah bekerja dengannya?
*****
"Mbak gaun yang sudah di pesan atas nama pak Gerald," kata Sarah bersuara pada penjaga butik atasannya itu.
"Tadi kata pak Gerald kalau Mbak Alisya nggak suka bisa milih yang lain," lanjut Sarah seraya menoleh ke arah Alisya.
Alisya mengangguk mengerti, menoleh ke sana ke mari untuk memperhatikan berbagai macam gaun indah yang tertata rapi di manekin, jika di pikir-pikir dirinya benar-benar bisa menikmati karya suaminya ya saat ini, bisa mengamatinya tanpa harus mendumel setelah kena marah. Mengingat semua itu Alisya tersenyum tipis.
Berbeda dengan Alisya dan Sarah, justru Tasya yang sedari tadi dalam perjalanan terlihat semangat kini malah menekuk wajahnya, mencibir dalam hati karena abangnya yang benar-benar pelit, buat apa kartu hitam yang di berikan jika ujung-ujungnya malah belanja di butik miliknya sendiri? Benar-benar dah, abangnya memang minta di tabok, nggak ada modalnya sama sekali.
"Ini pesanan gaun dari pak Gerald, silahkan di lihat dulu," kata pelayan butik ke arah Alisya, Sarah dan Tasya.
Tasya mengekor di belakang kakak iparnya, melihat-lihat beberapa gaun yang di pilih oleh abangnya untuk kakak iparnya itu.
"Ini warnanya memang putih semua? Nggak ada warna lain?" Tanya Alisya seraya menatap ke arah pelayan butik.
Tasya setuju dengan kakak iparnya, bisa-bisanya menyuruh wanita untuk mengikuti seleranya yang nggak ada tren-trennya sama sekali, putih, putih s**u, putih tulang, dan banyak lagi warna putih yang terpampang mengerikan.
"Sesuai pesanan pak Gerald, dia berpesan untuk memberikan warna putih," jawab pelayanan butik dengan ramah, mu di pikir bagaimanapun suaminya benar-benar beruntung karena memiliki banyak karyawan yang cantik dan ramah.
"Tapi aku pengen warna biru mbak!" Seru Alisya tiba-tiba seraya sedikit meninggikan suaranya.
Bukan hanya pelayanan butik yang terkejut, Sarah serta Tasya pun terkejut mendengarnya, tiba-tiba saja gitu kakak iparnya yang biasanya lemah lembut berteriak kepada orang lain hanya karena masalah sepele?
"Aku pengen lihat warna yang biru," kata Alisya lagi, membuat pelayanan butik melihat ke arah Sarah yang mengangguk, sebagai sesama wanita tentu saja Sarah tahu apa yang di lakukan istri bosnya, meskipun dirinya belum mengalaminya tapi melihat keinginan yang menggebu-gebu dari istri bosnya membuat dirinya bergidik, ngidam memang bukanlah hal yang bisa di sepelekan.
Pelayanan butik berlari ke arah Alisya dengan raut wajah takut, tentu saja dirinya tahu jika Alisya adalah istri dari bosnya, dirinya memilih cari man dari pada harus di pecat dari sana, mengingat gaji yang di tawarkan bosnya benar-benar paling menjanjikan selama dirinya bekerja.
"Ini Bu, masih ada beberapa model di sebelah sana dengan warna biru," kata pelayan butik seraya membawa dua gaun dengan model berbeda.
"Yang ini simpan dulu, biar aku lihat yang gaun lainnya." Kata Alisya seraya berjalan ke arah gaun yang tadi di tunjukkan pelayan butik suaminya.
"Kak Alisya suka warna biru ya?" Tanya Tasya yang tiba-tiba saja mendekati kakak iparnya.
Alisya tersenyum ke arah Tasya dengan lembut, membuat Tasya bergidik sendiri melihatnya, jika melihat senyuman hangat dari kakak iparnya ini tentu saja tak akan ada yang percaya jika kakak iparnya itu baru saja meninggikan suaranya hanya karena sebuah warna.
"Enggak kok, aku nggak suka banget, tapi tiba-tiba aja pengen," jawab Alisya seraya melebarkan senyumnya, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Tasya ikut tersenyum dengan sangat lebar namun terkesan garing, tak percaya mendengar jawaban kakak iparnya yang sesimpel itu, benar-benar tak terduga. Tadi marah hanya karena warna tak disukainya tapi tiba-tiba pengen pakai gaun warna biru? Benar-benar membuat Tasya semakin tak percaya, ingatkan Tasya untuk menceritakan semuanya pada bundanya nanti.
"Wah, bagus banget ya Sya?" Tanya Alisya saat melihat ke arah gaun mewah dengan berbagai manik-manik yang tertata apik dan elegan di mata Alisya.
"No, big no." Teriak Tasya dalam hati, karena nyatanya kini Tasya malah melebarkan senyumnya ke arah kakak iparnya itu, tentu saja dirinya tak akan setuju, itu gaun paling norak yang pernah Tasya lihat.
Tasya menatap ke arah kakak iparnya itu, menelisik dari atas hingga bawah, jika di ingat-ingat tentu saja model seperti itu tak seperti pilihan kakak iparnya yang sangat tak menyukai hal-hal berbau mewah seperti dirinya.
"Aku cobain ya Sya?" Tanya Alisya lagi ke arah Tasya.
Tasya yang sedari tadi hanya melebarkan bibirnya untuk terus tersenyum membuat Alisya berpikiran jika Tasya juga setuju dengan pilihannya.
"Itu gimana? Abang bisa marah kalau tahu kak Alisya pakai Gaun terbuka seperti itu," kata Tasya tiba-tiba setelah Alisya berhasil masuk ke dalam ruang ganti yang sudah tertutup.
"Siapa yang naruh gaunnya di sana? Kalian mau di pecat?" Murka Tasya yang tak bisa menahan pikirannya.
"Bagus nggak Sya?" Tanya Alisya yang tiba-tiba keluar dengan gaun yang sudah melekat di tubuh rampingnya.
Gaun warna biru muda dengan berbagai macam manik-manik untuk menutupi bagian d**a yang sedikit terbuka, panjang gaun itu pun hanya sebatas lutut, memperlihatkan kaki jenjang Alisya yang terlihat putih mulus tanpa cela, bahu yang terbuka dan leher yang terlihat sangat menggiurkan pun terpampang nyata karena rambutnya yang di kuncir kuda.
"Ayo ganti aja deh kak, kurang cocok," kata Alisya pelan, seraya ingin membawa kakak iparnya kembali ke ruang ganti.
"Ini bagus loh Sya, nanti mas Gerald juga bakalan suka." Kata Alisya menolak dengan tegas, menahan tubuhnya yang hendak di dorong kembali masuk ke dalam ruang ganti oleh adik iparnya.
"Kalian nggak denger? Bungkus gaun yang di pilih kak Alisya!" Seru Tasya yang akhirnya tak bisa berbuat apa-apa, menatap ke arah para pelayan yang kini tengah berlarian untuk membantu kakak iparnya untuk melepas gaunnya.
Menunggu pesanan di bungkus, Tasya duduk seraya memijit kepalanya pelan, tiba-tiba saja dirinya enggan kembali mengajak kakak iparnya untuk belanja selama masih masa ngidamnya.
"Sama set kemeja dan jasnya juga ya mbk, yang warnanya senada," kata Alisya lagi seraya tersenyum puas.
"Apalagi ini?" Teriak Tasya dalam hati, dirinya benar-benar berdo'a jika nanti abangnya tak akan marah pada kakak iparnya yang tengah mengandung itu.
Berbeda dengan Tasya yang terus saja frustasi, Sarah sendiri memilih diam dan diam, dirinya bahkan tak berani memberi masukan, ia takut akan kena marah oleh bumil yang sedang sensitif itu.
"Ini Bu, semuanya totalnya 20 juta," kata pelayan kasir seraya menyerahkan paper bag yang berisi gaun serta set kemeja yang senada ke arah Alisya.
"Mahal ya," gumam Alisya pelan seraya menyerahkan kartu yang tadi di berikan Sarah untuknya.
"Terima kasih, selamat datang kembali." Kata pelayan butik seraya menyatukan kedua tangannya, menatap tersenyum ke arah perginya tamu yang tak lain tak bukan adalah bos wanitanya.
*****
Di dalam mobil Alisya menatap ke arah paper bag yang ada di sampingnya, jika mengingat-ingat perjuangan hidupnya, dirinya sangat menyayangkan membuang uang sebanyak itu hanya untuk beberapa helai pakaian yang bahkan tak bisa ia gunakan sehari-hari.
"Sar, ini kartunya nanti balikin ke pak Gerald ya, bilang kalau tadi aku boros." Kata Alisya seraya menyodorkan kartunya ke arah Sarah yang duduk di samping kemudi.
"Bilangin juga, kalau aku nggak ada niatan buat matre kok, ini kan terjadi karena tadi lupa nanyain harganya, iya kan Sya?" Lanjut Alisya di akhiri dengan pertanyaan yang ia tujukan kepada Tasya yang kini fokus mengemudi.
Tasya tersenyum mendengarnya, apa mood kakak iparnya sudah kembali ya?
"Nggak boros kok kak, lagian ini kan juga nggak setiap hari, di jamin deh nggak bakalan marah kak Geraldnya." Jawab Alisya yang di jawabi anggukan juga oleh Sarah.
Sebenarnya dari pada pemborosan, Alisya lebih mengkhawatirkan jika kakak iparnya itu akan bertengkar dengan abangnya, karena selama ini yang ia tahu, abanganya itu tak pernah sekalipun menerima penolakan ataupun bantahan dari orang lain, kecuali bundanya. Tasya pun hanya bisa berdo'a dalam hati agar apa yang ia pikirkan tak akan terjadi nanti.
Tbc