Bab 22. Kita Jadi Nikah, Mas?

1136 Words
Selesai makan siang hari ini, Zahwah kembali ke rumah. Perempuan itu berbaring di ranjang memeluk guling. Dia masih mengingat wajah tampan Arsen yang tersenyum padanya. “Mas Arsen ganteng banget sih. Walaupun dia sempet ngilang aku enggak peduli. Yang penting itu sekarang. Aku sudah balikan. Duh, jadi enggak sabar pengen dilamar sama mas Arsen. Apa aku aja yang ngelamar dia duluan ya?” Zahwah senyum-senyum sendiri mengingat kejadian ketika tadi dia makan bersama dengan Arsen. Perempuan itu mengusap layar ponselnya lalu mencari nama Arsen. Dia ingin mengirimkan pesan chat pada Arsen. Zahwah : Mas, aku sudah sampai di apartemen. Mas lagi kerja ya? Arsen : Iya, Za. Mas lagi kerja nih. Syukurlah kalau kamu sudah sampai dengan selamat. Zahwah : Semangat kerjanya ya, Mas. Aku sayang banget sama Mas. Arsen : Makasih ya, Za. Oh ya, besok kamu mau makan siang di mana? Zahwah membaca ulang pesan chat dari Arsen. Dia merasa ada yang aneh saat membaca chat itu. “Kok mas Arsen enggak bilang sayang juga sama aku? Apa dia udah enggak sayang lagi? Ah, biarin aja paling mas Arsen lagi sibuk kerja.” Zahwah menghibur diri sendiri lalu membalas pesan dari Arsen. Zahwah : Mas masih ingat enggak dulu kita suka makan bareng di mana? Aku kok kayanya pengen makan di situ. Arsen : Oh kafe itu? Masih ada enggak ya? Kamu mah makan di sana? Boleh, besok kita ketemu di sana pas jam makan siang ya. Zahwah : Iya, Mas. Zahwah tampak sangat girang membaca pesan dari Arsen. Perempuan itu persis seorang remaja yang sedang jatuh cinta. Dia pun lompat-lompat di atas kasur. Benar-benar lupa umur. Pada saat Zahwah sedang merasa bahagia, pesan chat dari Dafi sedikit mengganggunya. Namun, dia segera membaca pesan dari suaminya. Dafi : Malam ini saya pergi ke luar kota. Ada kerjaan di Semarang. Kamu mau ikut saya, Za? Tentu Zahwah lebih memilih makan siang dengan Arsen daripada ikut dengan Dafi ke luar kota. Zahwah : Berapa hari, Mas? Dafi : Sampai hari Kamis. Zahwah : Dua hari ya? Hm, kayaknya enggak deh, Mas. Aku enggak bisa. Ada janji sama arsitek mau cek desain kamar yang sudah dia buat. Maaf ya, Mas, enggak bisa menemani jas Dafi ke Semarang. Dafi : Oh ya sudah, enggak apa-apa. Saya pulang ke apartemen sebentar lagi. Kanu mau nitip apa? Makanan atau apa saja boleh. Zahwah : Enggak usah, Mas. Aku lagi enggak pengen apa-apa. Dafi : Buat makan malam sudah ada? Zahwah : Ada, Mas. Nanti aku masak sendiri. Dafi : Ok. Nanti bantu saya siapin baju yang buat dibawa ke Semarang ya. Zahwah : Baik Mas. Satu jam kemudian, Dafi tiba di apartemen. Pria itu langsung menuju kamarnya. Zahwah yang sudah menunggu kedatangan Dafi membantu pria itu menyiapkan pakaiannya. “Bawa kemeja dua, kaos dua sama celana cukup kan, Za?” Dafi minta saran pada Zahwah. “Cukup, Mas. Memangnya kerjaannya mulai malam ini, Mas?” “Besok sih. Cuma kalau berangkat besok pagi tuh kayak diburu-buru waktu. Pas datang belum bisa langsung check in. Mending berangkat malam ini, jadi besok bisa santai.” Walaupun harus tambah satu hari menginap di Semarang itu lebih baik daripada diburu-buru. “Kamu yakin enggak pengen ikut? Lumayan, Za kamu bisa jalan-jalan di Semarang.” “Aku ada perlu sama arsitek, kan.” “Kalau kamu mau ikut, ketemu sama arsitek bisa ditunda setelah kamu pulang dari Semarang.” Dafi masih mencoba mengajak Zahwah. “Aku lagi enggak pengen jalan-jalan, Mas.” “Ok. Mas berangkat sama Raka aja. Kamu jaga diri di apartemen. Jangan ngajak cowok masuk ke sini atau Mas akan marah bahkan bisa mengusir kamu dari sini.” Dafi mengingatkan Zahwah. “Iya, Mas.” Setelah semua barang bawaan Dafi dimasukkan ke dalam koper, pria itu mandi. Zahwah kembali ke kamarnya. Di kamar, perempuan itu masih membuka chat dengan Arsen tadi dan membaca pesan yang terakhir. “Kayaknya kalau dua hari berturut-turut makan di kafe itu lagi seru kali ya? Sambil nostalgia pas pacaran sama mas Arsen dulu.” Senyuman mengembang di bibir Zahwah saat membayangkan akan bertemu dengan pujaan hatinya lagi besok. Perempuan itu terkejut saat mendengar pintu kamarnya diketuk. “Iya, Mas.” Dia pun membuka pintu kamarnya. “Mas berangkat sekarang, Raka sudah nunggu di bawah.” Dafi terlihat berbeda dengan pakaian casualnya. Kelihatan lebih santai dan aura ketampanannya pun makin terpancar. Zahwah terkesiap melihat Dafi yang sudah siap berangkat ke Semarang. “Pergi sekarang, Mas? Bukan nanti malam?” tanya Zahwah yang bingung. “Pesawatnya jam tujuh malam. Daripada ketinggalan pesawat lebih baik pergi sekarang. Lagian kamu kan enggak ikut, jadi Mas enggak nunggu siapa-siapa.” Dafi tersenyum. “Oh … iya, hati-hati di jalan ya, Mas.” Zahwah mengantar Dafi sampai ke parkiran. Mobil Raka sudah menunggu di sana dan siap mengantarkan Dafi menuju bandara. “Jaga rumah dengan baik ya, Za.” Dafi pamit lalu mobil yang dia tumpangi meluncur meninggalkan parkiran apartemen. *** Zahwah lebih dulu tiba di kafe tempat dia akan bertemu dengan Arsen. Perempuan itu belum memesan makanan. Dengan sabar dan tenang dia menunggu kedatangan Arsen. Lima menit kemudian, Arsen datang bersama asistennya yang mengantarkan sampai ke meja tempat Zahwah sudah menunggu. Asistennya pamit setelah mengantarkan Arsen. “Gimana kerjaan hari ini, Mas?” tanya Zahwah melihat wajah Arsen yang kelihatan lelah. “Kalau aku jadi istri Mas, aku bisa pijitin Mas setiap hari.” Zahwah memberikan isyarat tentang pernikahan. “Kerjaan hari ini aman, Za. Enggak ada masalah. Kamu mau makan apa?” “Pesen yang biasanya aja. Mas mau pesen makan yang sama dengan dulu?” “Iya, tolong pesankan Mas makanan yang biasanya. Ternyata kafe ini enggak berubah banyak ya?” Arsen memperhatikan seluruh ruangan di kafe itu. “Iya, Mas, makanannya juga masih sama.” Zahwah bangkit dari kursi untuk memesan makanan lalu kembali ke kursinya. Dia tersenyum menatap Arsen. “Hati dan perasaan aku ke Mas Arsen juga masih sama. Apa Mas juga sama kayak aku?” Zahwah lebih terbuka kali ini karena dia pikir di usianya yang sekarang sudah tidak perlu menghabiskan waktu untuk pacaran tidak jelas. Harus fokus pada masa depan dan pernikahan. “Perasaan Mas ke kamu masih sama. Mas masih sayang sama kamu kok, Za.” Bedanya Arsen sudah menikah dengan perempuan lain. Dan dia masih egois ingin merasakan cintanya lagi bersama Zahwah. “Aku seneng banget dengar Mas bilang gitu. Aku kira Mas udah enggak ada perasaan apa-apa lagi sama aku.” Senyuman Zahwah makin lebar. Arsen menggeleng. “Itu enggak mungkin, Za. Bohong kalau Mas bilang enggak ada perasaan apa-apa sama kamu.” Lalu Zahwah beranikan diri menagih janji Arsen yang dulu. “Mas masih ingat kan sama janji Mas yang dulu mau nikah sama aku? Bisa enggak janji Mas itu dibayar sekarang?” Perempuan itu sudah tidak sabar lagi ingin menjadi istri dari Arsen. “Kita jadi nikah kan, Mas?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD