Bab 21. Balikan?

1076 Words
Zahwah memikirkan alasan untuk membohongi Dafi. Dia tidak mau berkata jujur menceritakan tentang Arsen pada pria itu. Hanya ingin merasakan sendiri kebahagiaan bertemu dengan Arsen. “Ini Mas, ada grup teman sekolah dulu kirim foto-foto waktu sekolah. Kan, masih cupu ya? Jadi lucu aja gitu pas lihatnya.” Dafi malah setuju dengan ucapan Zahwah yang hanya sebuah kebohongan itu. “Eh, iya memang bener loh, Za. Pas sekolah itu emang masih pada culun sih. Jadi, ya memang jadi lucu pas dilihat lagi, Sampe mikir kok aku dulu bisa seculun itu.” Seriusnya Dafi menanggapi Zahwah. “Pas sekarang berubah jadi cantik sama ganteng, Mas. Ada yang beda jauh gitu ya wajahnya. Ya, zaman sekolah belum kenal skincare. Kalau sekarang semua skincare dicoba. Jadi, banyak yang berubah jadi putih.” Tiba-tiba Dafi bangkit dari kursinya. Dia berjalan mendekati Zahwah yang duduk di kursi lalu duduk di samping perempuan itu. “Kamu punya foto waktu masih SMA? Kalau ada Mas pengen lihat dong, Za. Kayak gimana kamu dulu waktu masih SMA.” Dafi penasaran dengan wajah Zahwah dulu. Dia pun mencari foto-fotonya sewaktu SMA untuk dia tunjukan pada Zahwah. Perempuan itu mencari foto lama di galeri. Di sana banyak foto dirinya bersama dengan Arsen. Namun, Zahwah tidak akan menunjukkan foto itu pada Dafi. Dia cari fotonya bersama dengan Rena. Lalu dia tunjukkan pada Dafi. “Ini aku dan yang ini Rena.” Dafi memperhatikan wajah Zahwah ketika masih SMA. Perempuan itu terlihat cantik bahkan sekarang semakin cantik jika dibandingkan dengan dulu. “Dari dulu memang sudah cantik, ya?” gumam Dafi yang didengar oleh Zahwah. “Emang aku cantik dari lahir sih, Mas.” Zahwah menyombongkan diri di hadapan Dafi. Dia pun tersenyum lebar. Dafi pun tertawa. “Ini foto Mas.” Dafi berikan ponselnya pada Zahwah. “Ini Mas, Deva, Dafa sama Mahendra. Waktu itu kami suka banget main basket. Walaupun enggak masuk tim basket sekolah, tapi seneng aja gitu masih basket.” “Anak basket ya? Pasti banyak yang naksir Mas Dafi ya? Anak basket dulu itu dipandang kayak gimana gitu ya? Populer aja gitu.” Zahwah pun mengenang masa SMA. “Yang paling banyak ditaksir itu anak basket dan yang pintar. Di sekolah Mas Dafi sama enggak?” Zahwah dulu suka dengan Arsen karena pria itu adalah bintang di sekolah dengan banyak prestasi. Dia juga termasuk bintang sekolah, tetapi masih di bawah Arsen. Wajar jika pria itu sudah memiliki gambaran tentang masa depannya. “Mana ada yang naksir Mas dulu, Za. Pintar mah jauh deh.” Dafi merendah. Sebenarnya dulu banyak perempuan yang naksir dia, tetapi dia masih malas pacaran ketika SMA. Soal prestasi jangan diragukan tentunya. Namun, Zahwah memilih percaya dengan apa yang dikatakan Dafi. Hanya murid biasa saja. Padahal dia lulusan S2 di Jerman. *** Malam harinya, Dafi mengajak Zahwah makan di luar supaya mereka tidak perlu masak. Pulang tinggal mandi, ganti baju lalu tidur. Sampai di rumah mereka mandi di kamar masing-masing. Lalu memakai piyama tidur. Dafi sedang merapikan tempat tidur saat Zahwah masuk ke kamarnya. Perempuan itu langsung membantu Dafi merapikan sprei. Setelah itu, Zahwah naik ke ranjang lalu berbaring di sana. Lalu disusul oleh Dafi juga berbaring di samping Zahwah, tetapi dia miringkan tubuhnya agar menghadap Zahwah. “Kamu mau cerita apa tentang hari ini?” tanya Dafi. Lama-kelamaan obrolan sebelum tidur menjadi hal yang menyenangkan baginya. Zahwah berpikir apa yang harus dia ceritakan pada Dafi hari ini? “Hari ini aku ketemu kak Dika di hotel. Dia mau lihat fisiknya hotel itu gimana, aku temani aja dia keliling, Mas. Habis itu aku jalan ke kantor Mas Dafi. Kayaknya hari ini cuma itu deh kegiatan aku di luar. Kalau Mas Dafi gimana?” “Ya sama dengan hari-hari yang lain, kerja, baca dokumen, tanda tangan, ngobrol sama kamu. itu aja, enggak ada yang aneh.” “Kania enggak datang ke kantor Mas Dafi?” Dafi menggeleng. “Bagus deh. Aku tidur duluan boleh, Mas?” “Boleh.” Zahwah memejamkan matanya. Rasanya dia ingin cepat tidur, tetapi dalam pikirannya dia teringat pertemuannya dengan Arsen setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Zahwah masih kuliah tingkat dua adalah saat terakhir Arsen menghubunginya. Pria itu menghilang begitu saja. Zahwah mencarinya, tetapi tidak menemukan sosok pria itu. Namun, dia masih menunggu dengan setia bahkan ketika dia melanjutkan pendidikan S2 di Inggris, Zahwah masih memikirkan pria itu. Dia masih terus berharap mereka bertemu lagi. Betapa bahagianya Zahwah bisa bertemu dengan Arsen tadi pagi. Dia harap setelah pertemuan tadi, mereka bisa merajut kembali hubungan yang sempat terjeda dulu. Besoknya, Zahwah berada di kafe bersama Arsen. Mereka sedang makan siang bersama. Pria itu yang mengajak Zahwah makan siang bersama. “Gimana makanannya, enak?” tanya Arsen sambil tersenyum pada Zahwah. Jika waktu bisa diulang, dia ingin menikah dengan Zahwah bukan dengan istrinya yang sekarang. “Enak banget, Mas.” Zahwah tersenyum lebar. Bisa makan siang bersama Arsen lagi sangat menyenangkan. “Mau tambah lagi, Za? Boleh kok, apa mau Mas pesankan buat kamu?” “Enggak, Mas. Sudah cukup kok. Makasih ya sudah ngajak aku makan siang di sini.” Setelah menghabiskan semua makanan, Zahwah tidak langsung pergi. Dia dan Arsen masih duduk santai di sana menikmati suasana kafe. “Mas … aku boleh tanya sesuatu enggak?” “Kamu mau tanya apa, Za?” “Gini … kalau masih ada kesempatan … aku pengen kita balik kayak dulu. Mas jadi pacarku. Bisa, Mas?” Zahwah pikir Arsen masih lajang sehingga dia bebas kembali merajut cinta dengan pria itu. “Kalau itu yang kamu mau, Mas setuju saja.” Arsen pun masih ingin menikmati kebersamaanya dengan Zahwah. Pria itu belum move on dari Zahwah. Dia ingin merasakan kembali perasaan cintanya dulu pada perempuan itu yang dulu sangat dia cintai. Zahwah tersenyum lebar, jika nanti Arsen melamarnya lagi, dia tidak akan menolak, sebelumnya dia akan minta cerai pada Dafi dan mengembalikan semua uang pria itu. Zahwah akan minta bantuan Arsen menyelesaikan renovasi hotel sampai selesai dan bisa dibuka kembali. Dengan itu dia bisa membayar utangnya pada Dafi. Semua terasa mudah dalam pikiran Zahwah. Padahal kenyataan tidak akan berjalan semudah itu. “Jadi … kita pacaran lagi, Mas? Mas mau enggak tiap makan siang kita ketemu, terus makan bareng kayak gini?” Zahwah sangat berharap bisa bertemu dengan Arsen setiap hari. “Nanti Mas yang atur makan siang buat kita. Sesekali kamu boleh milih kafe atau restoran tempat kita ketemu.” Zahwah tambah senang. Dia membayangkan menjadi perempuan paling bahagia bisa balikan dengan Arsen dan bisa bertemu setiap harinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD