Bab 19. Masih Ada Rasa?

1111 Words
“Mas, hari ini aku rasanya capek banget, terus aku juga sudah ngantuk berat, pengen cepet-cepet tidur. Bisa enggak ceritanya dirapel sekalian sama besok?” Zahwah memohon pada Dafi. “Eits … enggak bisa gitu. Memangnya kamu capek kenapa hari ini? Kamu tuh tadi siang aja tidur di ruangan kerja Mas. Mana lama lagi, dua apa tiga jam ya? Gimana bisa kamu kecapekan?” Dafi tahu Zahwah sedang menghindarinya. “Kamu sendiri yang bikin aturan, kamu yang melanggar. Mestinya tadi tuh kita bikin hukuman kalau ada yang melanggar. Apa kita tentukan sekarang aja hukumannya?” Zahwah langsung bangun lalu duduk di atas kasur mendengar kata hukuman. “Memangnya harus pakai hukuman, Mas?” “Iya. Kayak sekarang kamu melanggar aturan, kalau terus dibiarkan apa kamu enggak makin ngelunjak? Jadi, biar Mas aja yang menentukan hukumannya. Hukumannya adalah ini.” Dengan gerak cepat, Dafi langsung mencium bibir Zahwah. Perempuan itu terkejut. Matanya terbuka lebar dan jantungnya berdebar cepat. “Tunggu kenapa hukumannya ini sih? Kalau hukumannya kayak gini, aku yang rugi,” protes Zahwah dalam hati. Dia pun mendorong tubuh Dafi sekuat tenaga agar menjauh. “Mas, aku belum setuju kalau hukumannya itu. Kenapa Mas Dafi ambil keputusan sepihak? Pokoknya aku enggak setuju.” “Artinya hukumannya sudah pas. Hukuman itu kan sesuatu yang enggak kita sukai karena kamu enggak suka dicium, itu jadi hukuman kamu.” Dafi tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin sudah menemukan hukuman yang tepat. “Mas, tolong diganti hukumannya dong. Ganti aja sama enggak mandi sore atau enggak makan malam.” Zahwah coba menawar pada Dafi. “Oh tidak bisa. Pokoknya itu sudah jadi hukumannya. Sekarang kamu boleh tidur. Besok pagi bangun kita sarapan sama-sama. Kali ini biar Mas yang masak sarapan buat kamu.” Zahwah sebenarnya masih mau protes, tetapi dia sudah malas untuk bicara lagi. Dia pejamkan matanya sambil berharap bisa segera tertidur. Karena kenyataannya, Zahwah tidak bisa tidur sampai tengah malam. Pagi-pagi sekali Dafi sudah membuka mata. Dia lihat ke samping, Zahwah masih tertidur. Dafi pun membangunkan Zahwah dengan menepuk-nepuk lengannya. “Za, bangun! Kamu bilang tadi malam mau masak sarapan buat Mas, kenapa sekarang kamu masih tidur?” Zahwah menggeliat. Dia masih belum mau bangun karena masih mengantuk. “Mas … aku masih pengen tidur, Mas aja yang bikin sarapan ya.” Zahwah bicara tanpa membuka matanya. “Kamu tidur jam berapa sih? Sudah tahu harus masak sarapan, tapi kok malah begadang? Terus sarapan pagi ini gimana?” Zahwah yang masih setengah sadar lupa kalau pagi ini Dafi sudah berjanji akan masak sarapan. “Tolong ya, Mas. Nanti kalau sudah mateng sarapannya, Mas bangunin aku ya.” Dafi merasa kasihan pada Zahwah. Dia pun berhenti mengganggu istrinya. Dia biarkan Zahwah tidur sampai dia selesai membuat sarapan. Dafi pergi ke dapur untuk memeriksa ada bahan makanan apa yang bisa dia masak di dapur. Pria itu menemukan spaghetti dan saus bolognese. Dia ambil dua bahan itu lalu mulai memasak di dapur. Hanya dalam waktu setengah jam saja sarapannya sudah siap. Dafi kembali ke kamar untuk membangunkan Zahwah. “Za, sarapan sudah siap. Kamu mandi dulu aja, ya!” Dafi menuju kamar mnadi karena sebelum masak sarapan pria itu memang belum mandi. Ketika Dafi selesai mandi, dia lihat Zahwah sudah tidak ada di kamarnya. Pria itu segera memakai kemeja dan celana bahan. Dafi siap untuk sarapan bersama Zahwah. Di meja makan dia sudah menyjikan dua piring spaghetti untuknya dah Zahwah. Perempuan itu keluar dari kamarnya lalu duduk di meja makan bersama Dafi. “Mas Dafi yang masak ini? Wah hebat banget. Ternyata Mas Dafi bisa masak juga.” Dafi merasa Zahwah sedang meledeknya. “Mas masak yang gampang aja ini, Za. Spaghetti tunggak direbus, sausnya instan tinggal dipanasi. Terus hebatnya di mana?” Zahwah tersenyum. “Paling tidak Mas enggak bikin masakannya gosong.” Dafi tersenyum manis. “Ya susah, ayo makan!” Keduanya menikmati sarapan buatan Dafi. Rasanya enak karena memang Dafi memakai saus instan yang sudah pasti enak rasanya. “Kamu mau Mas antar atau pergi sendri, Za?” Dafi menawarkan tumpangan. “Pergi sendiri aja, Mas.” “Ok. Hati-hati ya. Keluarnya bareng aja, Za.” Zahwah menunggu Dafi mengambil tas dan memakai jas. Dia sendiri sudah menyiapkan tasnya di ruang tengah. Mereka pun keluar dari apartemen bersama-sama. Zahwah sudah memesan ojek online. Jadi, ketika dia tiba di pintu masuk apartemen, ojek sudah menunggu. Ojek pun meluncur menuju lokasi hotel milik Adikusumah. Hotel itu sudah lama ditinggal karena mengalami kerusakan di banyak bagian. Harus segera direnovasi. Ketika Zahwah tiba di sana, Dika belum datang. Namun, ada seseorang yang berada di dekat hotel itu seperti sedang mengamati sesuatu. Zahwah mendekati pria yang sedang duduk di kursi roda dan dia sangat mengenalnya. “Mas Arsen?” Zahwah masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “Jadi yang aku lihat kemarin itu memang benar Mas Arsen?” Kedua mata Zahwah berkaca-kaca. Betapa dia sangat merindukan pria yang ada di hadapannya saat ini. “Mas apa kabar?” Zahwah mendekati lalu memeluk tubuh pria itu dengan erat. Seperti sedang melepaskan rindunya pada pria itu. “Baik, Za. Kamu apa kabar?” Arsen tidak bereaksi saat Zahwah memeluknya. Dalam hatinya masih tersimpan perasaan cinta untuk perempuan itu. “Aku? Enggak baik-baik aja, Mas. Mas kok bisa ada di sini? Ada perlu apa?” “Dika bilang kamu butuh kontraktor dan arsitek. Dia minta Mas yang buat desain hotel kamu yang mau direnovasi. Jadi, Mas sengaja datang ke sini buat lihat hotel keluarga kamu.” Sejak tadi Zahwah selalu memperhatikan Arsen. Pria itu tidak berubah banyak. Selain wajahnya yang tampak lebih dewasa, sikapnya pada Zahwah berubah menjadi dingin. Zahwah pun penasaran dengan apa yang terjadi pada pria itu. “Mas ke mana ama selama ini? Aku masih setia nungguin Mas Arsen karena aku masih ingat sama janji Mas dulu sama aku.” Zahwah berkata jujur karena dia ingin melihat reaksi dari Arsen. “Maaf, Za .. karena Mas enggak bisa menepati janji Mas sama kamu. Kamu marah sama Mas, Za?” Zahwah mau marah pun dia tidak akan menunjukkan kemarahannya pada Arsen. “Aku engak marah sama Mas Arsen, tapi aku kangen aja sama Mas. Di saat aku sedang terpuruk dan butuh seseorang yang menemani, aku selalu berharap kalau orang itu adalah Mas. Tapi aku harus sadar kalau ternyata Mas tuh enggak ada di sampingku. Jadi aku cuma bisa sedih sendirian tanpa siapa pun di sampingku.” Arsen merasa tertampar oleh ucapan Zahwah. Dulu dia memang selalu ada untuk Zahwah. Dia sangat mencintai Zahwah apa adanya. Dia tidak mau melihat perempuan itu bersedih dan sekarang hatinya terasa sakit mendengar ucapan curahan hati Zahwah. Hatinya sakit mendengar Zahwah merasa sedih dan dia tidak ada di samping perempuan yang dia cintai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD