06 | Menaruh Kepercayaan

1078 Words
KEPUTUSAN mendadak dengan rencana mentah memiliki risiko kegagalan yang sangat tinggi. Aku harusnya menyadari hal itu lebih awal agar hasilnya tidak begini. Namun, semuanya telah terjadi. Aku takkan bisa kembali apalagi mengulangi waktu yang telah kulewati. Yang tersisa hanyalah masa yang akan segera berganti. Di masa itu, aku berharap takkan ada penyesalan apa pun untuk kedua kalinya karena pilihanku sendiri. Aku mendesah panjang. Untuk sementara waktu, mungkin aku akan aman di sini, tapi semua itu hanya sementara. Karena kenyataannya tidak demikian. Ada kemungkinan besar ayahku menyuruh orang-orangnya untuk mencariku dan menyeretku pulang jika mereka menemukanku. Skenario terburuk yang mungkin kuhadapi, aku takkan bisa meninggalkan tempat ini dengan senang hati, lantaran orang-orang suruhan Ayah sedang mengintai dan mencari keberadaanku di luar sana. “Apa tidur lo nyenyak?” Aku terhenyak. “Pagi!” sapanya. Leo berdiri tegak, satu tangannya memegangi pinggang, dan baru kusadari kalau wajahnya dipenuhi lebam. “Kenapa muka lo bisa bonyok gitu?” “Baru sadar?” Aku mengangguk. “Udah dari kemarin muka gue kayak gini.” Aku terkejut bukan main. Pasalnya, sewaktu bertemu denganku dia masih baik-baik saja. Itu berarti, dia mendapatkan lukanya setelah kami bertemu. “Udah diobati?” Leo mengangguk. “Udah kemarin.“ “Oh, mau kopi?” Aku mengangkat secangkir kopi yang kubuat beberapa saat lalu sebelum Leo datang menyapaku. Karena menyadari kesalahan fatal yang telah kuperbuat, aku tidak bisa tidur semalaman. Terlalu banyak berpikir membuatku tidak sadar jika waktu telah berlalu lebih cepat dari yang kuduga. Sekarang yang kubisa hanya menunggu keputusan Rasya. Dia harus mau membantuku atau semua pelarian ini akan berakhir sia-sia. Leo mengambil kopi yang kusodorkan padanya. “Ada banyak hal yang harus gue omongin ke lo soal apartemen ini,” ujarnya sebelum menyesap kopinya. Aku mengangguk mengerti. Pasti ada banyak sekali aturan yang harus kutepati agar bisa tinggal dengan aman dan nyaman bersamanya. “Gue juga mau ngomong sama lo,” balasku. “Ngomongin soal apa?” Aku menatapnya datar. “Lo punya banyak hutang penjelasan ke gue. Lo tahu maksud gue, kan?” Leo meneguk ludahnya susah payah. “Gue mau lo jelasin semuanya ke gue dari awal, tanpa terkecuali. Kenapa lo bisa ada di sana semalam?” tegasku. Leo menghela napas kasar dan mulai menjelaskan, “Setelah dengerin suara lo, pikiran gue nggak bisa tenang.” Matanya menatap lurus mataku. “Gue pikir lo dalam kesulitan sampai cewek yang kelihatan kuat kayak lo bisa nangis sampai serak gitu. Tapi gue nggak tahu harus gimana dan pikiran gue jadi ngelantur ke mana-mana. Ya udah, gue keluar buat nyari udara segar. Nggak tahunya gue ngelihat lo lagi lari dikejar-kejar orang. Sebenarnya, lo punya masalah apa?” “Bukan urusan lo.” Aku membuang muka. “Dan gue bukan wonderwoman, gue itu cewek lemah dan cengeng sama kayak cewek lain di luar sana.” Leo mengangguk. “Kalau lo butuh teman curhat atau lo mau nangis, bahu gue siap buat lo, kok.” Leo merentangkan tangannya. Memamerkan bahunya yang terlihat kokoh dan lebar. “Makasih, tapi gue nggak perlu dipeluk-peluk sama cowok m***m kayak lo.” Leo tersenyum tipis. Tangannya terjatuh kembali di kedua sisi tubuhnya. “Oke, gue di sini punya masalah.” Aku menatapnya tajam. Jangan sampai dia bilang mau memintaku menjadi kekasih bohongannya. Aku sedang tidak mau bermain sinetron di depan siapa pun sekarang! “Nggak ada yang tahu apartemen ini selain kedua orang tua gue. Gue nggak mau siapa pun tahu tempat tinggal gue, tapi sekarang lo tahu tempat ini.” Dia mendesah panjang. “Gue mau lo rahasiain tempat ini dari siapa pun. Termasuk Fisha dan temen lo yang lain. Gue mau tempat ini tetap jadi rahasia kita.” Aku mengangguk walau dahiku mengernyit. Aku tidak mungkin memberitahu di mana lokasiku pada siapa pun sekarang, karena aku butuh tempat persembunyian. Aku butuh tempat yang tak bisa ditemukan oleh orang-orang ayah yang mungkin saja tengah berkeliaran di luar sana. Dan aku tak mau menyeret teman-temanku ke dalam bahaya yang sama denganku, karena kepergianku dari rumah. “Oke,” kataku, tapi dalam hati aku bertanya-tanya, Kenapa ia tidak mau siapa pun tahu di mana tempat tinggalnya? Apakah dia seorang buronan? Atau dia mau sok misterius di depan semua orang? Leo menghela napas lega. “Syukurlah lo mau nurut, gue udah hopeless banget tadi.” “Asal lo nggak macam-macam, gue bakal nurut sama lo.” “Gue janji nggak akan macam-macam, Cia. Kalaupun kejadian, gue pasti tanggung jawab, kok. Mau nikahin elo juga gue siap.” Aku mendelik ke arahnya dan Leo langsung mengangkat kedua tangannya. “Bercanda, oke? Gue masih sayang nyawa buat nggak macam-macamin pacar orang.” Dan sekarang aku sadar darimana dia mendapat luka-luka lebam di wajahnya. “Rasya yang mukulin lo kemarin?” Leo meringis. Sepertinya memang Rasya pelakunya. “Dia bukan pacar gue. Hubungan gue sama Rasya nggak kayak gitu, tapi mendingan lo jaga jarak sama gue di kampus. Terutama di fakultas lo. Gue nggak mau lo pulang-pulang cuma tinggal tulang doang.” “Kenapa serem banget kedengarannya? Gue emang sering denger soal Rasya, tapi gue nggak nyangka kalau dia asli brutal dan gila.” Aku mengangkat bahu. “Dia nggak kayak gitu, kok, cuma rumornya aja serem, tapi aslinya baik.” Leo terlihat akan protes dan aku memotongnya dengan segera. “Hanya saja kebaikannya nggak berlaku buat cowok b******n sejenis lo.” Leo mendengkus. “It's okay, asal dia nggak mukulin gue lagi gara-gara lo.” Aku tersenyum mendengarnya. “By the way, lo keberatan nggak makan makanan cepat saji atau makanan dari restoran?” Aku mengernyit. “Nggak.” “Bagus, karena gue nggak tahu harus ngasih lo makan apaan.” Ngasih makan? Kenapa gue kedengaran kayak hewan peliharaan? “Gue bisa masak kali! Lo tenang aja. Serahin urusan dapur lo sama gue. Gue bakal jadi koki gratis buat lo. Itung-itung aja ini bayaran dari gue, karena lo udah ngizinin gue buat tinggal di sini.” Dia menatapku takjub sebelum menggelengkan kepalanya. “Gue nggak percaya cewek kayak lo bisa masak, tapi okelah. Gue serahin urusan dapur sama lo. Soal uang belanja dan yang lain-lainnya, biar gue yang urus.” Aku terkejut. “Serius? Lo nggak mau patungan gitu?” “Gue nggak punya masalah soal keuangan. Lo bisa minta berapa pun yang lo butuhin.” “Lo nggak mau mikir dulu? Ini masalah duit, lho! Lo nggak takut gue ngapa-ngapain duit lo gitu?” Leo menggeleng tegas. “Enggak. Gue percaya sama lo. Sama kayak lo percaya sama gue.” Dan aku tersenyum lega mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD