PERGI dari rumah bukan perkara mudah. Aku perlu menyiapkan semuanya dengan susah payah. Di waktu yang sangat singkat, aku harus; mengumpulkan tabungan, menulis pesan singkat kepada orang tua, juga mengirimi Rasya pesan tentang permintaan maafku padanya, lalu melemparkan koperku ke pekarangan rumah Rasya yang pagarnya tidak terkunci.
Aku berencana melarikan diri menggunakan pohon besar yang tumbuh di samping rumah Rasya. Pohon dengan daun lebat dan ranting panjang menjulur sampai ke samping beranda kamarku. Pohon kuat yang selalu digunakan Rasya sebagai pijakan ketika menyelinap masuk ke kamarku malam-malam. Lalu pergi dari rumah Rasya secara diam-diam.
Perjuanganku belum berakhir sampai di sana. Aku masih harus luntang-lantung di pinggir jalan dengan koper di tangan kanan. Ingin menghentikan taksi, tapi tak ada satu pun yang lewat sedari tadi.
“Masa iya gue tidur di jalanan malam ini?” tanyaku pelan pada diriku sendiri.
Aku merasa sebuah bayangan bergerak mengikutiku dari belakang. Aku berhenti dan membalik badan. Namun, tak ada apa pun kulihat di sana.
Tengah malam. Saatnya para hantu untuk keluar.
“Cih!”
Aku berdeceh lalu berlari sambil menyeret koper di tangan kananku dengan sekuat tenaga. Kalau hantu itu berniat menggangguku, dia pasti akan langsung muncul di hadapanku. Kalau bukan hantu ... mereka pasti akan langsung mengejarku.
Dan benar saja. Ada sekitar empat orang pria berbadan besar tengah mengejarku sekarang. Aku melihat tikungan jalan raya tempat tinggalku yang sunyi. Kenapa di sekitar kompleks tempat tinggalku sepi sekali!
“Woi, berhenti lo!”
“Emangnya gue b**o,” gumamku pelan masih sambil berlari.
Aku tidak mau mati di tangan orang-orang jelek itu. Lebih baik mati ketabrak mobil, daripada harus mati sama orang-orang jelek itu!
Aku berniat menyeberangi jalan, saat mobil mewah berwarna putih tiba-tiba saja mengerem mendadak tepat di depan mukaku. “Kalau mau berhenti lihat kanan-kiri dulu, dong! Lo punya mata nggak, sih!” semprotku tanpa bisa kutahan lagi.
Napasku memburu. Adrenalin terpacu. Kekesalan atas aksinya beberapa saat lalu membuat langkahku terhenti untuk sementara waktu. Pintu di bagian penumpang mobil putih itu terbuka. “Masuk!”
“Ha?” Aku terbengong-bengong mendengarnya, sebelum menurut setelah mengenali wajah pemilik mobil yang menatap lurus ke arah mataku.
Aku memasukkan koperku lebih dulu dengan cepat, sebelum menyusul masuk ke dalam. Leo segera memacu mobilnya meninggalkan lokasi. Bertepatan dengan empat orang yang kini berlari mengejar mobil ini seperti orang gila tidak punya otak.
Aku mendesah lega sembari menyenderkan punggung ke sandaran jok. “Syukurlah, akhirnya gue lolos dari mereka.”
“Mereka siapa?”
Aku mengangkat bahu seraya menatapnya. “Gue nggak tahu. Tiba-tiba aja mereka ngikutin gue.”
“Lo nggak kenal satu pun di antara mereka?”
Aku mendesah panjang. “Kalau gue kenal, ngapain gue lari coba?”
Leo ikut mendesah kasar. Kepalanya menatap kaca spion yang mengarah ke belakang. Tepatnya ke arah koperku yang beberapa saat lalu kumasukkan lebih dulu.
“Lo mau ke mana sampai bawa-bawa koper segala?”
“Kabur.”
Laki-laki itu menatapku sekilas. “Ke mana?”
“Nggak tahu.”
“Woi!” Aku hanya diam hingga Leo kembali menghela napas kasar. “Lo nggak punya rencana apa pun setelah ninggalin rumah?”
“Ada, sih.” Aku mendesah panjang. “Gue berencana nginep di hotel terus nyari kamar kos-kosan murah buat tempat tinggal gue yang baru. Menurut lo gimana?”
“Ide yang bagus. Terus kenapa lo bisa kejar-kejaran sama mereka bukannya langsung ke hotel aja?”
Aku mendengkus. “Nggak ada taksi lewat, terpaksa gue harus jalan kaki sampai nemuin taksi yang bisa nganterin gue pergi. Oh ya ... kenapa lo bisa ada di sana? Bukannya beberapa saat lalu lo di rumah dan nyuruh-nyuruh orang buat tidur, ya?”
“Oh itu, gue ....” Tiba-tiba saja ia terdiam. Tak melanjutkan ucapannya dan malah menawariku sesuatu. “Gimana kalau lo tinggal sama gue untuk sementara waktu?”
“Maksud lo?”
Mobilnya berhenti di salah satu basement gedung tinggi. Aku hanya diam sembari menatapnya bingung. Beberapa saat lalu ia menawariku untuk tinggal bersamanya. Namun mengapa ia membawaku kemari? Bukannya tinggal yang ia maksud adalah tinggal di rumahnya bersama Fisha dan kedua orang tuanya?
“Kalau lo mau, lo bisa tinggal di sini sama gue untuk sementara waktu.”
Dahiku mengernyit. “Di sini?”
“Bukannya lo lagi kabur dari rumah? Gue bisa jamin semuanya bakal baik-baik aja, kalau lo tinggal di sini sama gue.” Aku memandangi Leo dengan tatapan curiga. “Lo tenang aja, gue nggak minta apa pun sebagai imbalannya.”
“Makin mencurigakan,” komentarku.
Untuk apa ia membantuku tanpa mengharapkan imbalan sedikit pun? Mencurigakan sekali. Pasti ada sesuatu di balik semua ini.
“Nggak usah mikir ada udang di balik batu. Gue serius sama tawaran gue ini.”
“Emangnya lo tinggal sama siapa di sini?”
“Sendiri. Yah, beberapa kali Mama bakal ke sini buat masakin gue atau gue yang pulang, biar Mama nggak kepikiran soal kesehatan gue.”
“Lo serius sama tawaran lo ini?” Leo mengangguk. “Lo yakin nggak akan macam-macam kayak kemarin-kemarin lagi?”
“Gue nggak bisa janji, gue juga nggak tahu gimana nanti. Tapi gue bersumpah nggak akan nyentuh lo dalam konteks negatif apa pun, selagi lo nggak ngundang gue buat ngapa-ngapain lo.”
Enak saja! Memangnya aku ini cewek apaan?
Akan tetapi, jujur saja tawarannya sangat menggiurkan. Aku tetap menaruh rasa curiga dan waspada, tapi kepalaku mengangguk menyetujui penawarannya. Leo tersenyum manis dan mulai mengajakku masuk ke dalam apartemennya yang ternyata luas sekali.
Apartemen dua kamar yang akan menjadi saksi selama aku melarikan diri.