04 | Melarikan Diri

1405 Words
AKU suka melupakan keberadaan ponsel. Jika tidak benar-benar penting, aku nyaris tidak membawanya ke manapun saat aku pergi. Seperti kali ini. Aku baru ingat ponsel, ketika janjiku pada Fisha tadi siang melintas di kepala. Aku berjanji akan menghubunginya setelah aku sampai rumah. Fisha memintaku melakukannya, karena mendadak dia harus pulang lebih dulu meninggalkanku—padahal biasanya dia akan menemaniku menunggui Rasya sampai laki-laki itu selesai dengan kuliahnya. Namun sampai malam, aku lupa memberinya pesan. Aku mendesah dan menyambungkan ponsel ke sumber daya. Aku menemukan ponselku dalam keadaan tewas dan itu sudah biasa. Bahkan hal ini kerap terjadi dan membuat Rasya atau Ayah marah-marah karena tak bisa menghubungiku dalam keadaan darurat. Aku keluar dari kamar dan berencana menemui Ayah di ruang kerjanya. Ruangan itu berada di ujung koridor yang jarang dilalui orang lain dan membuatnya seperti ruangan pribadi milik Ayah. Ayahku seorang pengusaha. Dia punya perusahaan cukup besar di dalam dan luar negeri, tetapi ia jarang mengunjungi perusahaannya sendiri. Semua masalah perusahaan ia serahkan kepada kaki tangannya yang jumlahnya sangat banyak di luar sana. Dia sendiri lebih sering berada di rumah dan menghabiskan waktunya bersama keluarga kecilnya. Itu yang kutahu. Aku melihat Ayah berada di pembatas ruang tamu. Ia sedang berbicara di telepon dengan seseorang yang tidak kutahu. Namun dari sini, aku bisa mendengar suaranya dengan cukup jelas. “Aku tidak bisa memberikan kepastian tentang perjodohan itu sebelum membicarakannya dengan anakku. Dia harus tahu semua masalahnya dari awal dan dia harus menentukan pilihannya. Aku sangat yakin dia akan menerima, tapi aku tidak bisa memastikannya.” Aku terdiam. Ada jeda cukup lama sebelum Ayah melanjutkan, “Semua janji itu harus ditepati. Cia pasti akan mengerti dan menerimanya dengan senang hati. Dia anak yang penurut.” Aku berdiri kaku sambil menatap punggung Ayah layaknya tengah menatap hantu. Horor ... mengerikan. Apa yang Ayah katakan tentangku memang benar. Aku anak penurut, karena aku merasa harus mematuhi kedua orang tuaku. Namun, perjodohan bukan salah satu keinginanku. Apa pun alasannya. Aku ingin memilih pasangan hidupku sendiri suatu hari nanti, bukannya dipilihkan seperti ini! “Apa maksudnya ini?” Aku tak bisa menahannya lagi. Ayah berbalik. Ia mematikan teleponnya tanpa mengatakan apa pun dan langsung memandangiku. Awalnya ia terkejut, tapi secepat kilat ia menepis rasa kagetnya dengan senyuman tipis. “Kamu mendengarnya?” Aku mengangguk dan ia mendesah panjang. “Kamu tidak salah dengar. Ayah berniat menjodohkanmu dengan seseorang.” ”Cia nggak mau dijodohkan, Yah!” tolakku mentah-mentah. “Dengar dulu,” ucapan Ayah langsung kubalas dengan gelengan tegas. “Enggak. Apa pun alasannya Cia nggak mau dijodohin! Ayah selama ini nggak pernah ngizinin Cia pacaran, apa karena ini alasannya?” Tanpa sadar nada bicaraku mulai meninggi. Ini pertama kalinya aku berani berteriak pada ayahku sendiri. “Bukan, jelas bukan itu alasannya.” Ia mendesah panjang. “Ada banyak hal yang lebih berharga daripada hubungan asmara.” “Lalu apa maksud dari ini semua, Ayah? Bukannya perjodohan ada kaitannya dengan asmara? Jika Ayah tahu ada hal lain yang lebih penting dari cinta, Ayah pasti mengerti kenapa Cia menolak perjodohan ini. Bukan hanya karena Cia masih muda, tapi Cia punya banyak mimpi yang lebih berharga daripada menghabiskan waktu muda dengan namanya rumah tangga yang tak ada habisnya!” “Cia, dengar dulu ... ada janji yang harus kamu—” Aku tak mau mendengarkan lanjutannya. Aku lebih memilih lari meninggalkan Ayah begitu saja. Mengabaikan panggilannya dengan cara menulikan telinga. *** Harusnya aku mendengarkannya dulu. Harusnya aku tetap di sana dan membiarkan Ayah menjelaskan semuanyaa padaku. Namun ego membawaku kemari, membuatku menangis kekanakan dan pengecut. Bukannya bertindak dewasa dengan mendengarkan penjelasan, aku malah melarikan diri begitu saja tanpa menyelesaikan masalah yang ada. Aku mengunci diri. Menutup diri dari dunia luar yang seperti sedang menghakimi. Menangis sendirian tanpa alasan jelas yang mendasari. “Cia, boleh Bunda masuk?” Aku mengangguk pelan tanpa beranjak sedikitpun dari tempat tidurku. Bunda membuka pintu dan melangkah mendekatiku. Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Menyimpan wajah berantakan penuh air mata. “Kamu pasti sudah mendengarnya, ya?” Aku mengangguk dan Bunda langsung menghela napas kasar. “Akan lebih baik jika kamu mendengar semuanya dengan pelan-pelan t apa boleh buat? Nasi sudah jadi bubur, kamu mendengarnya di saat tidak tepat dan membuat semua rencananya hancur.” Aku menatap Bunda yang tersenyum pilu melihat kondisiku. Rambut panjang, dengan kulit putih pucat, dan kantung mata tebal. Penampilan ibuku sangat mirip denganku. Kami nyaris serupa, jika dilihat dari samping atau belakang, terutama karena perbedaan tinggi badan kami tidak terlalu jauh. “Bunda tahu tentang perjodohan itu?” Ibuku mengangguk. “Tentu.” “Bunda setuju dengan perjodohan itu?” Ibuku mengangguk. “Tapi kenapa?” “Karena Bunda mengenal siapa laki-laki yang akan dijodohkan denganmu. Kamu pun mengenalnya dengan baik.” “Siapa?” tanyaku terkejut. “Alex, tetangga lama kita, anak Om Farhan. Dia yang pernah main sama kamu dulu. Kamu masih ingat dia, kan?” Reagan Alexando atau Kak Alex. Aku ingat siapa dia, karena sampai sekarang pun ingatanku tentangnya tidak pernah berubah ataupun hilang. Dia seorang laki-laki yang lebih tua tujuh tahun dariku. Aku sudah menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri, tapi beberapa tahun terakhir, dia pergi. Kak Alex menghilang tanpa kabar dan akhirnya Om Farhan pindah rumah. Dulu aku mengenalnya dengan sangat baik, tapi sekarang belum tentu hal itu masih berlaku. Dia bisa saja berubah. Bertahun-tahun waktu berlalu bisa mengikis sifat asli seseorang. Dia pergi jauh dan hal terakhir yang aku ingat tentang semua itu, Rasya yang dulu berteman baik dengannya, berakhir membencinya setengah mati. “Cia?” Aku menggeleng pelan. “Aku masih ingat tentang dia, tapi aku nggak tahu apa aku mau menikah dengannya atau tidak. Aku ragu, Bunda.” Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Harusnya ini mudah. Aku hanya tinggal mengatakan tidak dan semuanya takkan pernah terjadi. Namun, entah mengapa hati ikut andil menyuarakan pendapat, berperang melawan otak yang terus berusaha untuk menolak. “Apa yang membuatmu ragu?” “Dia bisa saja sudah berubah, Bunda. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya selama ia pergi. Apakah dia tetap sama seperti dulu ataukah sudah berubah menjadi seseorang yang tidak kukenali?” “Bunda mengerti, tapi kalian bisa bertemu dan menghabiskan waktu dulu, sebelum melangkah lebih jauh. Bunda berharap banyak pada perjodohan ini, Cia.” Aku mengalihkan tatapanku. “Cia nggak bisa memberikan jawabannya sekarang.” “Baiklah.” Ibuku berdiri dengan pelan, ia membelai kepalaku sebelum berkata lagi, “Tepis semua keraguanmu dan yakinlah pada kata hatimu. Tuhan akan menuntunmu ke jalan yang benar dan menghilangkan semua keraguanmu.” Ibu berjalan pergi, meninggalkanku seorang diri lagi. Aku tahu Bunda ... aku tahu.... Tuhan tidak pernah tidur. Dia akan selalu ada untuk menuntun manusia sebagaimana takdir yang telah digariskan oleh-Nya. Nada dering pelan pertanda baterai telah terisi penuh mengalihkan perhatianku. Aku mendekat dan segera menyalakan ponsel agar bisa memberi kabar pada Fisha dengan segera. Aku harus memberitahunya kalau aku baik-baik saja. “Aduh sori banget! Gue tadi lupa ngasih tahu lo waktu udah sampai rumah dan pas banget hp gue tadi mati,” kataku saat telepon terhubung. “Dasar! Jangan bikin orang khawatir bisa? Hilangin kebiasaan buruk lo yang satu ini!” Aku tersentak. Suara laki-laki. “Leo!” “Hm.” “Kok bisa elo yang ngangkat, Fisha-nya mana?” “Gue suruh tidur.” Ada jeda cukup lama sebelum ia kembali bersuara. “Lo juga tidur sana! Jangan tidur malam-malam, insomnia baru tahu rasa lo!” Aku mendengkus. Apa dia tidak tahu alasan insomniaku itu dia? Menyebalkan! “Gue nggak pernah insomnia kecuali abis ngelihat muka iblis lo!” seruku tanpa kusadari. “Suara lo serak, lo abis nangis?” Eh... kenapa dia bisa menyadarinya? “Sok tahu lo! Udahlah, gue mau tidur, bye!” Aku segera menutup telepon, karena aku tak mau dia mencecarku dengan pertanyaan lainnya. Dan saat itulah aku tersadar .... Aku merasa tenang. Hanya berbicara dengannya sebentar, aku bisa melupakan masalah yang menimpaku sekarang. Apa ini hanya kebetulan atau memang takdir yang telah digariskan oleh Tuhan? Aku berjalan menuju jendela. Melirik rumah Rasya yang letaknya tepat di samping rumahku. Rumah itu gelap, kamar Rasya hanya disinari lampu remang-remang. Sahabatku sedang tidur ... atau memang semua orang tengah memejamkan matanya? Tiba-tiba ide untuk lari dari masalah kembali melintas. Aku bisa melarikan diri. Meminta jeda sejenak sebelum menghadapi semua masalahku ini. Lalu aku akan kembali setelah semua keraguan ini pergi dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Apalagi aku ingin hidup mandiri. Bukankah ini waktu yang tepat untuk melakukannya? Walau itu berarti, aku baru saja melarikan diri dari masalahku lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD